Napi Asimilasi Kembali Berulah, Bukti Pidana Pemenjaraan Tidak Efektif
Berita

Napi Asimilasi Kembali Berulah, Bukti Pidana Pemenjaraan Tidak Efektif

Untuk menghindari perkembangan wabah Covid-19 di lapas, lebih dari 36 ribu narapidana dikeluarkan. Namun disayangkan, 12 orang napi berulah kembali.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: CUP
Ilustrasi: CUP

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengeluarkan keputusan untuk merumahkan narapidana di tengah pandemi Covid-19. Karena itu, tidak kurang dari 36 ribuan narapidana mulai menjalani masa asimilasi dan integrasi di tengah-tengah masyarakat. Sayangnya, terdapat sejumlah narapidana yang kembali berulah dengan melakukan dugaan tindak pidana.

 

Hal ini tentu menjadi catatan dari kebijakan Kemenkumham yang merumahkan narapidana di tengah pandemi Covid-19. Di satu sisi langkah ini dipandang perlu mengingat kondisi lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan yang menurut pemerintah rawan menjadi tempat penyebaran dan penularan penyakit, tidak terkecuali Covid-19.

 

Dalam sejumlah kesempatannya, Menkumham Yasonna Laoly mengungkapkan langkah pembebasan narapidana ini menjadi pilihan terakhir yang harus dipahami oleh publik untuk meminimalisir terjadinya penyebaran virus dan sejumlah penyakit lainnya di dalam Lapas/Rutan.

 

Tidak dipungkiri, problem utama Lapas/Rutan saat ini adalah kelebihan jumlah penghuni sehingga kapasitas Lapas/Rutan menjadi overcrowded. Selain itu, sarana sanitasi yang kurang memadai menjadi salah satu alasan lain langkah pemerintah mengambil keputusan pembebasan. 

 

Pakar Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, menatakan selama ini persoalan di Lapas maupun Rutan memang tidak sederhana. Problem yang dihadapi oleh Lapas/Rutan saat ini adalah dampak sistemik dari perundang-undangan dan sistem hukum pidana di Indonesia.  

 

Menurut Bivitri, tidak semua tindak pidana efektif dihukum dengan cara pemenjaraan. Pendekatan restoratif justice perlu diterapkan sabagai salah satu jalan keluar. Karena itu, ia menilai situasi pandemi saat ini bisa menjadi momentum untuk mendorong perubahan sistem penegakan hukum pidana dari hulu.

 

“Adanya residivis justru membuktikan bahwa untuk tindak pidana tertentu, pemidanaan atau penjara itu tidak efektif, melainkan perlu diterapkan restoratf justice,” ujar Bivitri dalam diskusi online, Selasa (14/4).

 

Menurut Bivitri, problem over kapasitas penghuni Lapas maupun rutan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemasyarakatan, tapi juga menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum lainnya yang terlibat dalam proses penanganan perkara pidana sejak awal.

 

(Baca: Straft Cell Menanti Napi Asimilasi yang Berulah Lagi)

 

Senada, Direktur Hukum dan Regulasi Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Prahesti Pandanwangi menilai pendekatan restoratif justice sangat diperlukan dalam penegakan hukum pidana saat ini. Ia mengatakan bahwa untuk mendorong hal tersebut, dibutuhkan koordinasi antar sesama aparat penegak hukum. 

 

Menurut Prahesti, program Ditjen Pemasyarakatan seperti Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas) merupakan program yang baik. Melalui program ini, diharapkan dapat terjalin koordinasi yang baik dalam rangka menghadapi persoalan bekas warga binaan yang kembali mengulang tindak pidana. 

 

“Program-program yang sudah dilakukan Ditjen PAS sendiri sudah sangat baik, salah satunya Pokmas yang menjadi program prioritas nasional. Selebihnya mesti ditingkatkan koordinasi dan peran APH terkait lainnya untuk sama-sama bisa mengawasi dan mengatasi persoalan ini,” imbuh Hesti.

 

Kriminolog Leopold Sudaryono mengatakan, fenomena residivis merupakan hal yang umum terjadi di seluruh dunia. Leopold memaparkan data selama tahun 2020 angka kejahatan residivis sebesar 0.05%, di mana angka ini justru turun dari tahun sebelumnya.

 

“Kalau bicara ancaman di masyarakat, angka ini kecil sekali. Kecenderungan untuk mengulangi kesalahan (residivis) itu tinggi dan kondisinya di Indonesia masih sesuai dengan kondisi global,” terangnya.

 

Sementara, Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pemasyarakatan Nugroho mengatakan sampai saat ini, dari 36 ribuan narapidana yang telah dikeluarkan terdapat 12 orang napi yang berulah kembali. Nugroho menegaskan bagi narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan setelah bebas akan diberi sanksi berat.

 

Menurut Nugroho, sesuai dengan peraturan dan prosedur pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi, di tahun 2020 ini telah dipetakan 40.329 warga binaan yang secara berangsur-angsur sudah harus dikeluarkan. “Tanpa adanya Permenkumham 10 ini sebenarnya memang 40 ribu narapidana sudah harus keluar secara bertahap, termasuk yang 36 ribu,” ujar Nugroho.

 

Sementara, Direktur Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi, Yuspahruddin, meyakinkan bahwa seluruh langkah yang diterapkan Ditjen PAS sudah berpedoman dengan apa yang dikeluarkan oleh ICRC dan WHO dalam menanggulangi Covid-19.

 

Tags:

Berita Terkait