Napak Tilas 20 Tahun UU Perlindungan Konsumen
Fokus

Napak Tilas 20 Tahun UU Perlindungan Konsumen

BPKN dan BPHN sudah menyuarakan pentingnya revisi UU Perlindungan Konsumen. Ikatan Hakim Indonesia juga menyelenggarakan diskusi perlindungan konsumen di era digital.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Pernyataan pers bersama para pemangku kepentingan dalam Hari Konsumen Nasional Tahun 2019. Foto: MYS
Pernyataan pers bersama para pemangku kepentingan dalam Hari Konsumen Nasional Tahun 2019. Foto: MYS

Suara indah Joy Tobing, pemenang Indonesia Idol, bergelora di salah satu ruangan di toko buku Gramedia Matraman, Jakarta. Joy sama sekali tak canggung bersenandung di depan sejumlah pesohor bidang hukum yang memadati ruangan itu. Lagu ‘Karena Cinta’ yang dibawakan Joy saat memenangkan Indonesia Idol, disusul lagu mars perlindungan konsumen, kembali memeriahkan ruangan. Sesekali, advokat David Tobing mengikuti lagu. Banyak pengunjung mengabadikan kemeriahan siang itu.

 

Suasana meriah ini berlangsung pada Sabtu, 20 April lalu, bertepatan dengan Hari Perlindungan Konsumen Nasional. Tidak mengherankan jika perhelatan itu digunakan untuk memperingati semangat perlindungan konsumen. Sejumlah aktivis dan eks aktivis perlindungan konsumen, dosen yang menggeluti isu-isu konsumen, mantan hakim agung, anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), pejabat Direktorat Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, advokat, dan aktivis lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat hadir.

 

Bersamaan dengan Hari Perlindungan Konsumen itu, David meluncurkan bukunya ‘Klausula Baku: Paradoks dalam Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen’. Gramedia, tuan rumah acara ini, menerbitkan buku hasil disertasi David. Momentum itu juga dimanfaatkan sejumlah pemerhati isu perlindungan konsumen untuk menyampaikan masukan dan pandangan. Usia 20 tahun adalah saat tepat untuk mengevaluasi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ini yang membuat perhelatan itu terasa istimewa.

 

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Ardiansyah Parman, menyinggung pentingnya mengevaluasi UU Perlindungan Konsumen setelah 20 tahun lamanya diundangkan. “Penting mendiskusikan bagaimana nasib UU Perlindungan Konsumen ke depan di era digital,” ujarnya. “Setiap tahun kita semua selalu memperbarui ingatan kita pada amanah UU Perlindungan Konsumen,” sambungnya.

 

Produk reformasi

UU Perlindungan Konsumen adalah salah satu produk hukum yang dihasilkan Pemerintah dan DPR pasca reformasi. Karena itu, semangat yang termuat dalam Undang-Undang ini seharusnya tidak lepas dari semangat reformasi. Misalnya dapat dilihat dari pengakuan negara atas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyharakat (LPKSM).

 

Baca juga: Jangan Sampai LPKSM ‘Dimanfaatkan’ untuk Persaingan Usaha)

 

Berisi 65 pasal, Undang-Undang ini diteken pada era pemerintahan BJ Habibie dan mulai berlaku satu tahun setelah diundangkan, tepatnya 20 April 2000. Peringatan 20 tahun dihitung dari waktu pengundangan, bukan mulai berlakunya UU Perlindungan Konsumen. 

 

Mengapa jumlah pasal dalam UU Perlindungan Konsumen relatif sedikit? Suasana reformasi masih terasa pada 1999, euforia politik di Senayan dan pemerintahan mendorong proses pembahasan yang cepat. Materi muatannya pun sengaja dibuat tidak komprehensif. Setidaknya, ada dua alasan yang dipertimbangkan pada saat itu. Pertama, ada kesadaran bahwa UU Perlindungan Konsumen bukan awal atau akhir dari hukum yang mengatur isu-isu perlindungan konsumen. Pada saat itu sudah banyak aturan yang relevan, ada 20 Undang-Undang yang masuk daftar DPR dan Pemerintah. Antara lain UU tentang Barang, UU tentang Hygiene, UU tentang Metrologi Legal, UU Wajib Daftar Perusahaan, UU Perindustrian, dan UU Perbankan.

 

Kedua, khusus untuk perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak kekayaan intelektual, sengaja tidak diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. Pemerintah dan DPR menyerahkan pengaturannya pada Undang-Undang khusus bidang kekayaan intelektual seperti UU Hak Cipta, UU Paten, dan UU Merek. Demikian pula perlindungan konsumen yang berkaitan dengan lingkungan hidup, diatur dalam Undang-Undang yang membidangi lingkungan hidup.

 

Kesadaran para penyusun UU Perlindungan Konsumen juga tercatat dalam dokumen historis. “Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, UU tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen”. Dan, perundang-undangan yang dimaksud, faktanya, terus berkembang di lapangan. Indonesia kini sudah memiliki aturan perdagangan baru, yakni UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Di bawah Kementerian Perdagangan pula, ada satu direktorat yang khusus mengurusi isu-isu konsumen.

 

Selama hampir 20 tahun diberlakukan, UU Perlindungan Konsumen termasuk yang terus disorot. Dua faktor penting yang mempengaruhinya adalah advokasi isu-isu konsumen yang diusung lembaga swadaya masyarakat seperti yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan munculnya kasus-kasus konsumen yang bermuara ke pengadilan. YLKI, misalnya, mengadvokasi dan membantu gugatan konsumen terhadap kecelakaan kereta api di Brebes, dan kenaikan harga elpiji di Jakarta. Tetapi yang terbilang fenomenal adalah gugatan-gugatan konsumen yang diajukan advokat David Tobing.

 

Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPKS) juga ikut disorot. Laporan Mahkamah Agung tahun 2018 memperlihatkan ada 100 perkara yang ditangani BPSK masuk ke Mahkamah Agung, ditambah 7 perkara sisa tahun sebelumnya, sehingga total ada 107 perkara yang harus ditangani. Perkara konsumen menempati urutan kedua perkara terbanyak di kamar perdata khusus setelah perkara Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).

 

(Baca juga: Palu Hakim Konsisten Koreksi Kewenangan BPSK)

 

Era Digital

Kesadaran konsumen terus tumbuh seiring perkembangan zaman. Salah satu perkembangan yang berpengaruh besar terhadap isu perlindungan konsumen adalah era digital. Ekonomi digital menimbulkan dinamika transaksi yang berbeda dibandingkan dengan saat UU Perlindungan disusun. Kini, ekonomi digital tumbuh pesat. Pemesanan barang lewat transaksi elektronik sudah lazim terjadi (akan diulas tersendiri). Konsumen dimanjakan, tetapi sekaligus berpeluang dikecewakan jika barang yang dipesan tak sesuai perkiraan. Peluang sengketa konsumen tentu saja terbuka. Kasus-kasus yang muncul dalam transaksi elektronik berdampak luas pada pengertian dan penggunaan uang, serta pada aspek-aspek hukum perjanjian.

 

Dalam suatu transaksi elektronik, konsumen dan pelaku usaha diberikan kemudahan melalui proses sederhana, cara dan alat pembayaran mudah, sekaligus pengiriman barang pesanan yang mungkin lebih cepat. Bahkan dapat dipesan lebih cepat asalkan bersedia membayar lebih mahal. Namun tak semua barang yang dipesan sesuai ekspektasi. Mungkin saja ada cacat tersembunyi pada barang pesanan, atau jasa layanan tidak memuaskan. Yang jelas, ada perbedaan antara transaksi perdagangan umum dan transaksi elektronik dalam hal bentuk perjanjian yang tunduk pada Buku III KUH Perdata, UU Perlindungan Konsumen, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Kesadaran konsumen pada hak-haknya menyebabkan perubahan pandangan pada perjanjian. Selama ini, perjanjian dalam bisnis perumahan, misalnya, berjalan secara sepihak. Developer membuat sendiri aturan-aturan yang kemudian ditandatangani oleh konsumen jika mereka setuju. Kini, perjanjian kredit bank, kredit motor, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) rumah atau apartemen sudah banyak dikritik. Pencantuman klausula baku adalah yang paling banyak dikritik. Itu sebabnya, bagian ini juga perlu mendapat ulasan tersendiri.

 

Ardiansyah Parman berpendapat sistem perlindungan konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 sudah tidak memadai jika dihadapkan pada perkembangan ekonomi digital. Beberapa peraturan sektoral juga cenderung gugup dan gagap saat menyikapi berbagai perlindungan konsumen di era digital. Tengok saja sengkarut pengaturan ojek daring. Peraturan yang dibuat menyikapi perkembangan malah dibatalkan Mahkamah Agung, dan kini diterbitkan lagi peraturan baru untuk menyiasati UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

 

(Baca juga: Atur Ojek Motor, DPR Ingin Revisi UU Lalu Lintas)

 

Kepercayaan konsumen dan produsen adalah keniscayaan dalam perkembangan dunia bisnis tersebut. Memperbarui aturan yang ada dinilai Ardiansyah sebagai salah satu jalan memperkuat trust konsumen dan produsen. “UU Perlindungan Konsumen harus direvisi agar mampu mengakomodasi sebesar-besarnya kebutuhan perlindungan konsumen di masa depan,” ujarnya.

 

Apa saja materi UU Perlindungan Konsumen yang perlu diubah, atau materi yang perlu dimasukkan? Pertanyaan ini juga mengemuka saat berlangsungnya Hari Konsumen Nasional. BPKN sudah lama mengusung materi muatan tentang ekonomi digital dan perlindungan data pribadi konsumen. Yang terakhir ini penting mengingat data pribadi konsumen acapkali disebar dalam lalu lintas bisnis.

 

(Baca juga: Menyoroti Perlindungan Konsumen di Era Bisnis Digital)

 

Sinyal pentingnya perubahan juga datang dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN telah melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan perdagangan lintas negara, termasuk UU Perlindungan Konsumen. Kesimpulnan hasil analisis BPHN, ada 10 pasal yang perlu diubah dari UU Perlindungan Konsumen. Misalnya, Pasal 1 mengenai definisi konsumen, pasal 4 huruf c mengenai ha katas informasi yang benar, pasal 18 mengenai klausula baku, Pasal 22 tentang pembuktian, Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 mengenai beban dan tanggung jawab pelaku usaha, Pasal 23 mengenai pelaku usaha yang menolak memberikan tanggapan atas keluhan konsumen.

 

Berkaitan dengan perubahan pasal-pasal tersebut BPHN merekomendasikan agar Kementerian Perdagangan menindaklanjuti perubahan yang berkaitan dengan Pasal 1, sedangkan BPKN diminta berperan dalam perubahan Pasal 18, Pasal 23 dan Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen.

 

Tidak kalah penting adalah suara dari Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Dalam rangka ulang tahunnya yang ke-66 pada Maret lalu, Ikahi menyoroti isu konsumen, termasuk ‘kelemahan’ UU Perlindungan Konsumen. Milad kalangan hakim itu membahas secara khusus perlindungan hukum terhadap konsumen dan pelaku usaha dalam transaksi elektronik di era teknologi digital.

 

Meskipun sudah banyak suara yang menginginkan perubahan UU No. 8 Tahun 1999, hingga kini tidak ada tanda-tanda bakal menjadi prioritas. Dalam daftar RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, RUU Perlindungan Konsumen tak masuk target. Apalagi dalam daftar 27 RUU Prolegnas Prioritas yang sudah masuk pembahasan tingkat pertama. Jika demikian halnya, maka aspek hukum perlindungan konsumen akan berkembang sesuai peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di masyarakat. Dalam proses legislasi, acapkali peristiwa nyatalah yang mendorong lahirnya suatu peraturan. Masyarakat dapat melihatnya pada transportasi ojek online saat ini, dan jual beli barang secara daring yang begitu pesat berkembang.

Tags:

Berita Terkait