Alvon Kurnia Palma:
Nahkoda Baru Diponegoro 74
Profil

Alvon Kurnia Palma:
Nahkoda Baru Diponegoro 74

Dua periode memimpin LBH Padang, Alvon Kurnia Palma mendapat amanah memimpin YLBHI. Mewarisi sejumlah persoalan.

ady
Bacaan 2 Menit
Alvon Kurnia Palma. Foto: SGP
Alvon Kurnia Palma. Foto: SGP

Jum’at, 29 Januari 2012, adalah hari yang bersejarah bagi Alvon Kurnia Palma. Pria asal Sumatera Barat itu resmi dilantik menjadi Ketua Badan Pekerja Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2011-2015. Tanpa melalui proses pemungutan suara, Alvon didaulat menggantikan pendahulunya, Erna Ratnaningsih.

Alvon bukan orang baru di dunia advokasi dan bantuan hukum. Di era kepemimpinan Erna, ia sudah menduduki kursi wakil ketua. Sebelum berkiprah di Diponegoro 74 –alamat gedung YLBHI—Alvon telah mengguratkan pengalaman sebagai aktivis di LBH Padang. Bahkan ia memimpin kantor bantuan hukum itu selama dua periode, terhitung sejak 2003 hingga 2009. Pengalaman semacam itu penting buat Alvon saat menahkodai YLBHI lima tahun ke depan.

Sebagai nahkoda sebuah biduk yang punya nama besar, Alvon menghadapi tantangan yang terbilang berat. Berat bukan saja karena nama besar YLBHI dalam sejarah bantuan hukum, tetapi juga lantaran potret penegakan hukum yang masih carut marut. Tampaknya, Alvon sudah membayangkan beratnya medan yang akan dia lalui bersama seluruh awak YLBHI.

Sewaktu menyampaikan paparan di depan Dewan Pembina YLBHI, Abdul Rahman Saleh, Alvon menyoroti sistem hukum yang terkesan tak berpihak pada masyarakat marjinal.  Tantangan ke depan, kata Alvon, adalah ketidakadilan dalam proses penegakan hukum.

Sistem peradilan cenderung berpihak pada yang kuat, yakni pemegang kekuasaan negara dan pemilik modal. Hukum tak ubahnya sarang laba-laba, hanya mampu menjaring mereka yang lemah. Masyarakat marjinal, lapisan masyarakat yang paling banyak mendapat perhatian YLBHI selama ini, justru tetap menghadapi masalah aksesibilitas pada keadilan.

Tengok saja apa yang terjadi pada dua remaja di Sijunjung Sumatera Barat. Meskipun bukti-bukti medis tak mendukung, polisi tetap menyebut dua remaja tewas gantung diri di tahanan. Kasus ini terasa menyayat nilai dan rasa keadilan masyarakat. Alvon juga merasa terusik oleh kasus ini. “Sudah menjadi korban, malah mereka diviktimisasi”. “Kasus ini harusnya mendapat atensi pemerintah, tetapi malah nggak,” lanjut ayah dua anak itu.

Oleh karena itu, upaya yang dilakukan YLBHI mengarah pada pemberdayaan, pencerdasan dan pembangunan kesadaran kritis masyarakat. Sesuai core tugas dan fungsi YLBHI, yang dilakukan ke depan tetap bermuara pada bantuan hukum, pendampingan hukum berdimensi struktural. Tujuan akhirnya adalah perubahan potret penegakan hukum.

Perubahan itu bukan sesuatu yang mustahil dilakukan. Apalagi, YLBHI punya jaringan kuat di 15 kantor LBH yang tersebar di berbagai daerah. Menurut Alvon, perubahan struktural bisa dilakukan jika ada kombinasi kuat antara lembaga swadaya masyarakat sipil macam LBH dengan masyarakat sipil.

Dengan demikian, misi mulia YLBHI harus bersinergi dengan kesadaran masyarakat untuk terus menuntut hak dan melaksanakan kewajibannya. Salah satu ‘kelebihan’ YLBHI adalah tidak memosisikan lembaga sebagai pemberi bantuan hukum semata. Aktivis YLBHI bertugas membangun kesadaran masyarakat agar tumbuh sikap kritis terhadap setiap kebijakan, apatah lagi penyimpangan. Masyarakat tak hanya mendapat bantuan hukum dalam konteks penyelesaian kasus, tetapi juga mendapatkan ilmu lain.

Selain eksistensi kantor LBH di belasan kota, modal YLBHI adalah ‘pengakuan’. Sosio-historis, nama YLBHI sudah dikenal orang. Secara yuridis, UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum semakin memberi tempat kepada lembaga semacam YLBHI dan LBH untuk menjalankan fungsi pemberian bantuan hukum cuma-cuma.  Kepentingan masyarakat miskin pun diakomodir karena negara akan mengalokasikan anggaran bantuan hukum probono.

Namun, tetap ada celah yang sulit ditembus. Cakupan pencari keadilan yang miskin dalam Undang-Undang Bantuan Hukum masih terbatas pada ukuran-ukuran ekonomi. Padahal, selama ini YLBHI juga memberikan bantuan hukum kepada mereka yang miskin akses politik atau miskin karena praktik diskriminasi. Misalnya, bantuan hukum yang diberikan YLBHI kepada Nani Nuraini, eks penari Istana Cipanas yang dicap kiri tanpa proses persidangan, atau kepada Sri Bintang Pamungkas. Alvon memberi contoh lain, kaum urban di Jakarta yang tak memiliki KTP.

Tantangan dan Prioritas

Meskipun terbantu oleh Undang-Undang Bantuan Hukum, bukan berarti YLBHI gampang menjalankan misi mulianya. Lembaga yang didirikan advokat senior Adnan Buyung Nasution ini mencatat dinamika organisasi yang pasang surut. Salah satunya, mempertahankan loyalitas aktivis. Dalam beberapa kepengurusan terakhir, loyalitas aktivis menjadi persoalan yang membelit YLBHI terkait kaderisasi. Pengurus yang tak diakomodir acapkali langsung pindah ke kantor lain, atau membuka kantor pengacara baru.

Dana operasional lembaga adalah masalah lain yang tak kalah pelik. Malah nyaris membuat YLBHI dan satu dua LBH di bawahnya tinggal nama. Alvon mengakui butuh dana besar untuk membiayai operasional kantor. Donatur luar negeri yang selama ini mengawal kiprah YLBHI kita sudah memutus kontrak. Bantuan hukum dari pemerintah juga kontroversial. Maka, jalur fundrising kini ditempuh sebagai alternatif pembiayaan.

“Tetapi, (masalah dana) itu tidak lantas memudarkan perjuangan,” tegas alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang itu.

Tentu, tak sembarang dana bisa diterima. Alvon menegaskan anggaran dasar YLBHI sudah membuat demarkasi yang jelas. Boleh menerima dana dari individu atau lembaga sepanjang pendonor tidak melakukan pengrusakan lingkungan hidup, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dan, jangan pula lupa, YLBHI tidak akan menerima dana hasil korupsi atau dari pelaku tindak pidana korupsi. “Dengan aturan itu diharapkan YLBHI dan kantor cabang bebas dari tekanan atau intervensi pihak lain”.

Di masa kepemimpinannya, Alvon ingin lebih fokus pada kasus-kasus struktural seperti hubungan industrial, pertanahan, lingkungan hidup, dan kasus-kasus yang menjerat masyarakat miskin perkotaan. Selain itu, ada masalah kebebasan beragama. Lepas dari masalah apa yang paling banyak muncul, penguatan internal organisasi menjadi tantangan tersendiri. Jumlah dan kualitas pengabdi bantuan hukum harus ditingkatkan. Kalau sudah berhasil memperkuat internal organisasi, Alvon akan melangkah ke persoalan-persoalan ekternal.

Butuh Dukungan

Alvon tak mungkin jalan sendiri menahkodai biduk YLBHI. Kehadiran Dewan Pembina bukan semata bentuk dukungan moral. Loyalitas dan kekompakan pengurus di bawah Alvon pun sangat menentukan apakah biduk YLBHI akan oleng atau tidak. Yang bakal dihadapi bukan hanya riak kecil, tetapi mungkin juga ombak. Proses penegakan hukum tak bisa diprediksi dan disederhanakan seolah-olah bisa selesai dalam sekejap.

Beruntung, Alvon mengaku mendapat dukungan dari keluarganya. Ia sudah memboyong keluarga dari Padang agar lebih mudah berkomunikasi. Tentu ada yang berbeda dalam hal jam kerja. Setelah bertugas di Diponegoro 74, waktu kepulangan Alvon menjadi lebih larut dibanding ketika masih memimpin LBH Padang. Sebagai bentuk pembelajaran dan pengenalan lebih jauh tentang tugas-tugasnya selama ini di YLBHI, Alvon mengikutsertakan sang isteri dan kedua anaknya. Sebelum memutuskan menerima amanah jabatan, Alvon mengaku meminta ‘restu’ dari sang isteri terlebih dahulu.

Dukungan dari semua pihak akan sangat menentukan kiprah Alvon ke depan bersama biduk bernama YLBHI.

Tags: