Munir Fuady: RUPS Harus Setara dengan Direksi dan Komisaris
Terbaru

Munir Fuady: RUPS Harus Setara dengan Direksi dan Komisaris

Pemerintah berencana untuk melakukan revisi terhadap UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Bahkan, draf rancangan revisi UU PT pun telah dibuat oleh tim perumus. Tidak kurang dari nama-nama praktisi hukum kondang seperti Kartini Muljadi dan Fred Tumbuan turut bergabung dalam tim perumus.

Bacaan 2 Menit
Munir Fuady: RUPS Harus Setara dengan Direksi dan Komisaris
Hukumonline

Rancangan revisi UU PT tersebut secara umum memang mengatur secara lebih jelas dan terperinci hal-hal yang diatur dalam UU PT. Namun, apakah memang revisi terhadap UU PT tersebut merupakan sesuatu yang urgent untuk harus segera dilakukan.

Munir Fuady, praktisi hukum yang telah berkiprah cukup lama di dunia hukum bisnis menyatakan bahwa revisi terhadap UU PT bukanlah suatu hal yang urgent untuk dilakukan sekarang. Karena ada atau tidak revisi terhadap UU PT, tidak akan membawa banyak perubahan dalam praktek hukum bisnis.

Hal tersebut lebih disebabkan karena Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta ini menilai, dalam draf rancangan revisi UU PT tersebut, tidak terdapat hal-hal yang berubah secara prinsip. Bahkan menurut pria yang produktif menulis buku-buku tentang hukum bisnis ini, draf rancangan revisi UU PT hanya membakukan praktek-praktek yang selama ini telah berjalan ke dalam bentuk tertulis, yaitu sebuah UU.

Menurut lawyer yang memulai karirnya di kantor hukum Gani Djemat and Partners dan Law Firm Lubis Ganie Surowidjojo ini, masih banyak hal yang perlu dibenahi oleh tim perumus sebelum RUU PT disampaikan ke DPR pada awal Januari 2002 mendatang. Utamanya, terkait dengan belum diakomodasinya pasal-pasal mengenai optimalisasi daerah dalam proses pendirian perseroan terbatas.

Bagaimana komentar Munir lebih jauh tentang draf rancangan revisi UU PT? Berikut petikan wawancara dengan hukumonline dengan Munir di ruang kerjanya:

Bagaimana Anda melihat urgensi disusunnya RUU tentang Perseroan Terbatas?

Saya sendiri tidak tahu persis apa latar belakang dari mereka (tim perumus-red) ini yang mengubah UU PT. Memang selama ini, UU PT itu kita terapkan, ada masalah di sana-sini ya, tapi bukan masalah yang begitu prinsipil.

Kami nggak pernah dengar ada masalah yang begitu prinsipil dalam masalah UUPT, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Umumnya, apapun bisa dilakukan. Kita bisa buat merger, akuisisi, segala macam, bisa kita lakukan selama ini. Itu semuanya di bawah UU PT.

Jadi maksudnya, kalau saya lihat, itu UU PT prinsipnya sudah oke. Justru sebenarnya suatu revolusi atau pergerakan yang besar itu dilakukan oleh UU PT yang bergerak dari KUHD. Itu suatu lompatan paling besar di situ sebenarnya. Dan sebagian besar prinsip modern dari hukum perseroan terbatas sudah masuk dalam UU PT.

Kemudian dibuat rancangan UU PT yang baru. Kalau dilihat rancangan yang baru itu, sekarang hampir tidak ada menambah yang baru, hampir tidak menambah satu prinsip baru.

Hal apa saja yang paling menonjol dalam RUU?

Pada prinsipnya yang dilakukan sekarang itu, saya lihat ada beberapa prinsip. Pertama, yang paling menonjol dalam RUU yang baru sekarang ini adalah merupakan perincian, membuat ketentuan lebih terperinci. Itu saya kira sampai 60-70 persen dari RUU itu.

Jadi apa yang dilakukan UU PT misalnya, menentukan secara umum. Kemudian dalam praktek, kita melakukan berbagai kreasi-kreasi yang berdasarkan pada UU. Tapi perinciannya itu kan ada dalam AD (anggaran dasar-red), ada dalam kebiasaan kita selama ini. Nah kebiasaan-kebiasaan kita itu, dituangkan dalam RUU itu.

Jadi kita tidak melihat diperkenalkannya suatu prinsip baru yang sama sekali baru dari UU yang sudah ada itu. Jadi saya bilang, sebagian besar itu adalah merupakan penjabaran, konkretisasi, operasionalisasi dari ketentuan yang ada dalam UU PT yang lama. Itu yang ada yang sebagian besar.

Kedua, yang lebih terperinci adalah tentang masalah prosedural dalam RUU yang baru itu. Seperti merger, akuisisi, konsollidasi perusahaan. Itu di sini diatur lebih terperinci. Apakah sebelumnya kita tidak punya ketentuan yang demikian? Sudah, cuma nggak ditulis dalam UU.

Artinya dengan merger-merger yang selama ini telah berjalan sekian banyak itu, apa yang ditulis dalam RUU sudah kita lakukan. Tetapi memang dalam UU yang lama belum ditulis, maka ditulis sekarang. Jadi masih dalam rangka perincian atau opersionalisasi dari ketentuan-ketentuan dalam UU PT.

Berdasarkan penilaian Anda, di mana titik lemah dari RUU?

Nah, ini saya belum memberikan penilaian, kita baru melihat apa adanya. Dalam RUU ini, saya tidak sepaham dengan pencampuradukan likuidasi dengan kepailitan. Di situ (RUU PT) sudah dicampur-aduk itu.

Jadi, yang ini juga titik lemah saya kira yaa& dari RUU yang baru ini. Dia (RUU-red) itu mencampuradukkan antara likuidasi denngan kepailitan. Bahkan, ada kewajiban bagi likuidator dalam hal tertentu untuk mempailitkan perusahaan itu. Itu ada ketentuan yang sebelumnya nggak ada.

Artinya yang selama ini likuidasi dilakukan oleh likuidator, sekarang dalam hal tertentu nanti mau dialihkan kepada kurator lewat pengadilan niaga. Ada proses pengadilan, ada hakim pengawas.

Mengapa Anda tidak sepakat dengan hal itu?

Saya tidak sepakat dengan ketentuan ini karena yang pertama, technicality pengadilan akan membuat susah acara likuidasi nantinya. Likuidasi itu kan sebenarnya lewat RUPS. Kalau kita likuidasi, sudah pakai RUPS, kemudian mengajukan lagi ke pengadilan (dalam hal tertentu), nah itu& dia harus penuhi aturan main pengadilan itu. Selama hukum kepailitan kita masih seperti ini, itu repot.

Yang kedua, mungkin filosofi dari pembuat RUU itu maksudnya adalah untuk mengawasi likuidator ini. Mestinya yang namanya likuidator itu kan juga profesional, bisa juga berbentuk tim. (Contohnya-red) likuidator Bank Summa dulu itu yang jauh-jauh hari sebelum adanya UU Kepailitan, itu berjalan baik, sesuai dengan aturan yang ada.

Jadi kita jangan mentang-mentang tidak ada hakim yang mengawasi lantas tidak bisa berbuat apa-apa. Di sana kan ada akuntan, di sana ada lawyer dalam tim itu. Kemarin itu berapa puluh bank yang mengalami likuidasi tanpa ada hakim pengawas, dapat berjalan baik asal mengikuti peraturan yang ada.

Jadi tidak ada manfaatnya kita ngangkut likuidator ini ke pengadilan. Itu dilakukan oleh RUU itu. Jadi RUU itu bilang bahwa kalau likuidator melihat utangnya melebihi dari aset perusahaan, dia wajib minta ke pengadilan untuk dipailitkan perusahaan itu, kecuali kalau semua kreditur menyetujui agar tidak dipailitkan. Itu bunyinya begitu.

Jadi apakah bisa dikatakan bahwa draf ini baik, tetapi secara prinsip tanpa ada perubahan pun, yang lama masih bisa diterapkan?

Saya yakin, ada atau tidak adanya draf ini, prakteknya tetap akan seperti itu. Artinya, ini tidak akan mengubah praktek. Karena sebagian besar dari yang ada di sini sudah dipraktekkan, cuma belum ditulis secara detil.

Dan saya kira juga tidak ada keharusan kita menulis semua detil dalam suatu UU, sampai teknis sekali. Karena sebagian besar dari yang ada di sini sudah dipraktekkan. Jadi, tidak akan ada pengaruhnya.

Atau barangkali draf RUU dibuat seterperinci ini karena dalam prakteknya UU PT sering menemui kendala. Mereka melihat bahwa UU PT terlalu umum pengaturannya. Bagaimana Anda melihatnya?

Ya, itu bisa kita lihat, bisa negatif, bisa positif. Anda melihatnya negatif bahwa itu tidak diatur. Tetapi di lain pihak nanti kalau kita butuh suatu fleksibilitas, kita akan terjebak dengan UU ini.

Contohnya, pembuat draf ini rasa-rasanya terjebak dengan suatu prinsip yang namanya ultra vires. Artinya, ultra vires itu adalah di mana suatu PT tidak boleh melakukan suatu kegiatan diluar kegiatan yang sudah diatur dalam maksud dan tujuan AD (anggaran dasar).

Maksudnya untuk melakukan ini-itu, ekspor impor dan lain-lain. Tahu-tahu ada kegiatan di luar itu. Nah, itu namanya kegiatan yang bersifat ultra vires. Itu tidak diperinci dalam UU lama. Di situ bahkan dikatakan perbuatan-perbuatan yang di luar itu batal demi hukum segala macam seperti itu, direksi bertanggung jawab secara pribadi segala macam.

Dan satu hal lagi, di manapun di dunia ini, di negara-negara yang hukumnya modern, sudah mencoba membuat fleksibel ketentuan-ketentuan ultra vires. Ultra vires itu sejarahnya ratusan tahun yang lalu memang seperti yang kita buat ini. Tetapi semakin ke sini, semakin fleksibel.

Berdasarkan pengalaman Anda, pernahkah Anda mengalami kendala dalam melaksanakan UU PT, sehingga kadang-kadang Anda juga merasa perlu ada revisi?

Ada, beberapa pasal yang memang perlu penegasan. Itu kita akui, ada beberapa pasal yang selama ini tidak begitu jelas. Kita selama ini terus terang, tidak begitu jelas tentang akuisisi. Kalau dibaca, UU PT tidak begitu jelas tentang akuisisi. Karena, ada ketentuan-ketentuan akuisisi sedemikian panjang.

Tetapi kemudian, ada ketentuan yang mengatakan bahwa ketentuan yang sedemikian panjang itu nggak berlaku kalau akuisisi, misalnya, langsung kepada pemegang saham. Itu membingungkan memang. Nah, itu dijelaskan secara baik di sini.

Ada akuisisi lewat pemegang saham dan ada akuisisi lewat direksi. Maksudnya, akuisisi lewat direksi ini paling tidak dilakukan melalui pengambilan saham - paling tidak saham dalam portepel, bukan dari saham yang sudah beredar di masyarakat. Jadi memang itu dipertegas, walaupun tidak jelas sekali. Tetapi itu semakin jelas dengan masuknya ketentuan yang mengatakan ada akuisisi lewat direksi.

Ada lagi ketentuan-ketentuan lain yang tidak jelas. Misalnya, kalau ada yang tidak setuju untuk akuisisi itu bagaimana. Itu kan dulu nggak jelas bagaimana. Sekarang kan diperjelas dengan munculnya appraisal rights itu.

Selain itu, apa hal-hal yang menurut Anda harus diubah dari UU PT, mungkin benchmark-nya dari praktek Anda selama ini?

Kalau itu misalnya ketidakjelasan tanggung jawab direksi, itu suatu masalah. Direksi itu kan ada tiga atau empat orang. (Apabila) si A salah, C dan D kena atau tidak? Apakah semuanya harus tanggung jawab? Itu memang ada ketidakjelasan dalam UU PT. Tetapi menurut saya hal itu dijawab bukan hanya oleh UU PT itu sendiri, walaupun itu juga harus dicoba diperjelas dalam RUU baru.

Namun kita tidak bisa berbuat total dengan RUU yang baru ini. Itu juga harus terkait dengan hukum-hukum yang lain. Hukum tentang tanggung jawab, hukum tentang perbuatan melawan hukum, yang namanya onrechtmatigedaad.

Itu harus dikembangkan, yang namanya tanggung jawab, strict liability, tanggung jawab atasan, tanggung jawab kolegial. Nah, itu kan tentang tanggung jawab. Tanggung jawab itu kan larinya ke hukum perdata, bukan di UU PT ini tempatnya.

Tentang perbuatan melawan hukum itu dalam pasal 1365 KUHPerdata. Yang namanya 1365 KUHPerdata itu seharusnya bukan hanya satu pasal di situ. Bisa ada 50 pasal di situ yang menjelaskan 1365 itu. Itu yang kita nggak punya.

Jadi kalau kita mau cakup semua dalam UU PT ini, memang tidak bisa. Tanggung jawab direksi A, B, dan C, bagaimana. Teori di sana nggak berkembang dan bergerak. Karena, mereka sudah melanggar hukum kan. Aturan yang ada itu cuma satu, Pasal 1365 itu. Itu yang menyebabkan UU PT juga nggak bisa berbuat banyak.

Jadi apa yang mesti dilakukan?

Pasal 1365 KUHPerdata jelas perlu direvisi. Masa sih cuma satu pasal. Yang namanya perbuatan melanggar hukum, kalau Anda kuliah di luar negeri, untuk itu saja kuliahnya satu semester.

Sekarang kita melihat tanggung jawab direksi perusahaan terkait ke situ juga. Apakah tanggung jawabnya harus ada kesalahan. Kesalahannya apakah dalam bentuk kelalaian. Kelalaiannya, (apakah) kelalaian berat atau kelalaian ringan, sehingga direksi harus bertanggung-jawab.

Dalam UU PT ini, paling kita kembalikan pada fiduciary duty. Nah, fiduciary duty kalau kita lihat, coba bandingkan antara UU PT dan RUU. Tentang fiduciary duty ini juga ada sesuatu yang kontroversial yang coba dibuat oleh RUU PT.

Kontroversialnya itu mungkin juga set back, ya. UU PT secara prinsip, filosofinya adalah direksi itu berbuat dengan sebaik-baiknya untuk perusahaan, bukan untuk pemegang saham atau komisaris. Sehingga kalau dilihat ketentuannya, konsekuensinya antara lain adalah bahwa seorang direksi hanya boleh diberhentikan dengan sebab tertentu. Ada sebab, ada alasan.

Coba lihat RUU, di situ dibilang seorang direksi dapat diberhentikan for cause and no cause. Bisa dengan sebab atau tanpa sebab sama sekali. Jadi kalau mayoritas sudah nggak senang kepada si A, ya sudah lempar saja, ganti dengan yang lain tanpa dicari sebabnya apa.

Tetapi bukankah dalam draf RUU ini RUPS bukan lagi sebagai organ tertinggi seperti dalam UU PT?

Ya, ada ketentuan yang mengarah ke situ. Tetapi di dalam draf itu, juga ada ketentuan yang mengatakan seperti ini bahwa kalau dulu ketentuannya direksi itu hanya bisa diturunkan kalau ada alasan, diganti oleh pemegang saham.

Dalam draf ini sekarang, tidak ada lagi, kata-kata "jika ada alasan" itu sekarang dibuang. Jadi dalam draf, yang berlaku for cause or no cause itu tadi. Nah, ini berbahaya bagi direksi.

Apa hal yang paling prinsip dalam menelaah perubahan UU PT?

Sebenarnya yang paling prinsip itu bagi saya adalah kita harus melihat dulu kekuasaan-kekuasaan dari pemegang saham. Antara RUPS, Direksi, dan Komisaris harus seimbang. Ini harus dijaga.

Seperti tadi saya bilang, jangan sampai pemegang saham mayoritas semena-mena. Jangan sampai pemegang saham minoritas dirugikan. Tetapi juga jangan sampai pemegang saham minoritas ini menjadi tirani minoritas. Nah, ini lebih celaka lagi.

Jangan sampai direksi diganti semena-mena oleh pemegang saham. Artinya, direksinya harus profesional. Sehingga kalau dia profesional, dia nggak bisa diganti oleh pemegang saham.

Jadi saya melihat harus ada keseimbangan. Di satu sisi, dia diminta profesional. Tapi di sisi lain, dia begitu gampang dilempar oleh pemegang saham. Ini justru UU PT lebih bagus dari RUU. Di RUU ini posisinya lebih riskan dari UU PT.

Anda setuju dengan penghapusan ketentuan bahwa PT didirikan atas dasar perjanjian?

Kalau saya bilang, KUHD untuk masalah pemegang saham ini lebih bagus. KUHD bilang bahwa memang waktu didirikan itu harus dua orang. Tetapi ketika telah menjadi badan hukum, satu orang nggak ada masalah. Nggak ada larangan. Tapi dalam UU PT, satu orang dikasih waktu enam bulan. Dia harus cari orang lain kan.

Di mana-mana, teori perjanjian sudah mulai ditinggalkan. Yang banyak sekarang ini adalah teori yag namanya teori institusionalitas. PT itu kan bukan perjanjian, PT itu institusi. Berapapun orang di dalamnya, ya terserah dialah. Bukan perjanjiannya yang dilihat, tetapi institusinya. Jadi sebagai PT, dia punya kekayaan terpisah, dia punya pengurus.

Mengenai komisaris, ada sebagian orang yang merekomendasi untuk menempatkan adanya komisaris independen. Apakah menurut Anda, pasal mengenai komisaris independen harus ada dalam UU PT?

Ya, itu memang suatu ide bagus. Cuma belum tentu praktis. Saya kira praktek yang dilakukan selama ini sudah baik. Artinya kita butuh komisaris independen, idealnya begitu. Tetapi kita juga harus realistislah. Sama halnya juga dengan halnya kita butuh auditor independen. Tapi kita harus realistis apakah semua PT harus pakai itu?

Apakah semua PT harus punya komisaris independen? Kalau PT-PT yang telah mencapai tingkat tertentu, mungkin memang harus. PT publik, PT dengan syarat-syarat tertentu, mungkin harus pakai komisaris independen.

Tapi kalau masih PT-PT keluarga, itu akan terlalu ideal dan tidak praktis. Jadi bisa kita ikuti saja pemakaian komisaris independen hanya untuk PT-PT yang kita anggap relevan, PT-PT yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, PT-PT yang menyangkut kepentingan umum, PT-PT go public yang mengelola keuangan rakyat banyak seperti bank.

Makanya, itu tidak tepat kalau masuk ke UU PT. Kalaupun masuk, harus dibatasi. Hanya untuk PT-PT tertentu saja dengan syarat-syarat. Karena tidak semua PT bisa menjangkau kebutuhan itu. Idealnya memang bagus, tapi nggak praktis.

Masukan apa yang ingin Anda  sampaikan pada tim perumus RUU?

Yang belum diantisipasi oleh pembentuk RUU ini adalah RUU ini belum disesuaikan dengan otonomi daerah.

Konsep dan bentuknya seperti apa?

Artinya jangan semuanya ke Jakarta lah. Jangan semuanya ke Depkeh (Departemen Kehakiman dan HAM-red) sana. Jangan semua daftar perusahaan di Jakarta.

Memangnya selama ini semua harus ke Jakarta, tidak bisa diurus melalui kanwil Depkeh di daerah?

Pengesahannya di sini, bisa lewat kanwil, bisa segala macam. Tetapi yang mengesahkan kan harus menteri. Pengesahannya oleh menteri, perubahan AD sedikit saja laporannya ke menteri, semuanya menteri.

Kalau mengenai pendaftarannya, KUHD lebih bagus karena pendaftaran dilakukan di panitera pengadilan negeri masing-masing. Kalau PT-nya di Irian sana, ya daftarnya ke Irian sana. Nah, sekarang pendaftaran perusahaan yang ada di departemen perdagangan.

Mestinya, kita harus lepas ini. Kita berdayakan kanwil. Jadi cukup misalnya dengan sistem online yang ada, pengesahannya cukup di kanwil sana. Emangnya menteri ini nggak ada pekerjaan lain selain mengesahkan PT.

Jadi pengesahan, pendaftaran, bahkan juga mestinya pengumuman, itu berita daerah apa nggak cukup? Apa memang harus dalam berita negara. Ini saya yakin akan jadi masalah kalau tidak segera diakomodasi.

(Amr/Ari/APr) 

Tags: