Munculnya Kesadaran Konsumen untuk Menggugat Hak
Berita

Munculnya Kesadaran Konsumen untuk Menggugat Hak

Kesal karena penerbangan delay tak lagi diungkapkan lewat surat pembaca. Kini, penumpang yang dirugikan mulai menempuh upaya hukum menggugat perusahaan penerbangan.

KML
Bacaan 2 Menit

 

Persoalannya ialah perbedaan budaya hukum dan pemahaman mengenai hak. Mungkin kalangan kita terlalu lama didik untuk menyadari kewajiban daripada hak. Misalnya berkorban untuk kepentingan orang lain ujarnya. Sebaiknya menurut Tandyo, sekarang masyarakat harus juga terdidik untuk menyadari hak, hak asasi sendiri maupun orang lain.

 

Di sini orang gampang saja melanggar hak kemudian meminta maaf. Orang  yang dilanggar hak, kewajibannya memaafkan. Mungkin kolektivitas begini jelasnya. Kalau sampai orang tidak mau memaafkan, yang salah yang tidak mau memaafkan, tambah guru besar ilmu hukum itu. Gitu saja kok ngugat-gugat.

 

Mahal, lambat, dan berbelit

Selain budaya, faktor lain yang berpengaruh adalah sulitnya masyarakat mengakses keadilan. Ini senada dengan pandangan Husna Zahir. Alasan orang malas menggugat karena berperkara di pengadilan makan waktu. Paling yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu kata Ketua YLKI itu pesimis.

 

Apalagi sudah menjadi asumsi umum bahwa hukum lebih memihak pada yang kaya dari pada yang miskin. Hal itu terlihat dari biaya perkara yang relatif tinggi, dan harga pengacara yang cukup mahal. Belum lagi berapa banyak waktu dan dana habis untuk mencari bukti. Apabila memutuskan untuk menggugat, David Tobing menyarankan penggugat untuk realistis. Harus bisa dibuktikan secara terang dan mudah pembuktiannya. Karena pembuktian cukup sulit. ujarnya.

 

Bukti-bukti ini sebaiknya telah dipersiapkan sebelum menggugat. Jadi kalau ada bukti awal cukup, baru layak gugat tambahnya. Ia juga memberi catatan, penggugat harus merupakan korban, bukan hanya ingin memeras.

 

Diakuinya, menggugat bukan persoalan sederhana dan mudah. Otak kita harus jalan kemana-mana. Kita harus mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, jangan sampai jadi diserang balik oleh produsen yang merasa nama baiknya dicemari tuturnya memberi saran.

 

Kepada para hakim Prof Sutandyo menyarankan bahwa dalam memutus, pakaian budaya (seperti salah bila tidak memaafkan, menekankan pada kewajiban) yang dipakai hakim dan mungkin berpengaruh saat memutus, harus ditanggalkan.

 

Saat menghadapi gugatan yang mungkin terlihat sepele, menurut Sutandyo hakim harus melihat hukum yang berlaku dan mengesampingkan budaya (Hakim harus-red) merujuk pada dasar hukum yang mau dipakai ujarnya.

 

Tags: