Multibar Lebih Cocok bagi Organisasi Advokat Indonesia
Berita

Multibar Lebih Cocok bagi Organisasi Advokat Indonesia

Intervensi negara melalui Menkopolhukam dan Menkumham yang cenderung pada sistem wadah tunggal advokat (single bar) dan bukan multibar harus dilawan dan ditolak secara tegas.

CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), TM. Luthfi Yazid. Foto: istimewa.
Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), TM. Luthfi Yazid. Foto: istimewa.

Menanggapi pernyataan tertulis tentang wacana islah atau rujuk oleh tiga organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia, yakni Rumah Bersama Advokat (PERADI-RBA), Suara Advokat Indonesia (PERADI-SAI), dan PERADI Slipi, salah satu pendiri sekaligus Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), TM. Luthfi Yazid mengatakan bahwa sebenarnya hal tersebut merupakan peristiwa biasa. Hanya saja, karena ide ‘rujuk’ tersebut diajukan oleh Menkopolhukam, Mahfud MD—kesepakatan yang sifatnya tidak mengikat ini dapat berdampak pada hiruk-pikuknya dunia advokat dalam waktu yang lama. Sebelumnya, pertemuan yang diramu dengan ‘undangan makan malam’ tersebut difasilitasi dan diinisiasi oleh Menkopolhukam Mahfud MD, dan dihadiri pula oleh Menkumham Yasonna H. Laoly.

 

Terkait pertemuan tersebut, ada satu hal yang menjadi pertanyaan Luthfi. Jika Menkopolhukam dan Menkumham hendak menyatukan organisasi advokat (OA), mengapa organisasi seperti KAI dan lainnya tidak diundang? Selain itu, ia juga mempertanyakan kapasitas Menkopolhukam dan Menkumham sebagai lembaga eksekutif menginisiasi pertemuan OA yang seharusnya independen dan parsial. “Mengapa ada diskriminasi? Apakah Menkopolhukam dan Menkumham tersebut memiliki legal standing, mempunyai kewenangan, dan mendapat  mandat konstitusional untuk menginisiasi bersatunya tiga OA tersebut?” Katanya.

 

Apalagi, salah satu advokat yang hadir dalam acara itu, Otto Hasibuan kemudian menyampaikan harapannya kepada media, agar Mahkamah Agung mencabut Surat Ketua MA No. 73/KMA/HK.01/IX/2015, yang menyatakan bahwa ketua Pengadilan Tinggi (PT) memiliki kewenangan untuk melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi syarat dari OA mana pun. Luthfi sendiri berpendapat, intervensi negara melalui Menkopolhukam dan Menkumham yang cenderung pada sistem wadah tunggal advokat (single bar) dan bukan multibar harus dilawan dan ditolak secara tegas. Berikut adalah empat alasan yang mendasarinya.

 

1. Kebebasan Berserikat dan Berorganisasi Dijamin oleh Konstitusi, UUD 1945 sebagai Meta-norm, Kesepakatan Luhur, dan Rujukan Utama

Kebebasan berserikat dan berorganisasi dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 sebagai salah satu hak fundamental (fundamental rights) warga negara. Dalam hal ini, konstitusi menjadi semacam ‘pemberian kuasa’ dari rakyat kepada negara dan karenanya merupakan amanah yang harus dijalankan.

 

“Ini artinya pengekangan terhadap organisasi advokat agar berbentuk single bar, bukan saja bertentangan dengan realitas objektif dunia advokat saat ini, tetapi juga melanggar konstitusi. Jika hal ini dipaksakan, jangan disalahkan bila ada yang beranggapan bahwa upaya Menkopolhukam dan Menkumham menginisiasi beberapa OA agar homogen bertujuan agar kebijakan pemerintah dapat dukungan dari OA. Pasalnya, ada banyak kebijakan pemerintah yang jauh dari rasionalitas hukum, kebenaran, dan keadilan (the truth and justice),” tutur Luthfi.

 

2. Berpotensi Memblokir Akses Belajar Masyarakat

Upaya menjadikan OA homogen, uniformitas, atau penyeragaman dianggap telah mengancam Pasal 31 UUD 1945, karena berpotensi memblokir akses belajar masyarakat. Bagaimanapun, OA menjadi media pembelajaran bagi warga masyarakat hukum dan ‘pembuka jalan’ untuk mendapatkan access to justice. Dengan tegas, Luthfi menilai: ruang pembelajaran kepada publik mestinya diperluas, bukan diciutkan.

 

3. Tidak Boleh Amnesia Sejarah

Sebagai masyarakat hukum, tidak seharusnya kita menderita historical amnesia (amnesia sejarah), bahwa upaya untuk membuat wadah tunggal atau menyeragamkan OA, sebenarnya sudah ada sejak lama. Bahkan, Orde Baru yang terkenal dengan ‘penyeragaman’ tidak sanggup mempersatukan dan menyeragamkan organisasi advokat. Fakta sejarah menunjukkan, upaya penyeragaman gagal dan OA selalu terpecah. Di tengah jumlah OA yang mencapai 28 di Tanah Air, yang seharusnya diterapkan adalah threshold system of lawyers association, seperti parliamentary threshold bagi partai politik.

 

“Misalnya, harus ada verifikasi dan validasi, apakah sebuah organisasi advokat telah memiliki kantor dan pengurus di tingkat daerah, setidaknya perwakilan di 20 provinsi? Jika tidak, OA yang belum memiliki perwakilan di 20 provinsi harus dianggap tidak lolos verifikasi. Siapa yang akan melakukan verifikasi? Itu persoalan berikutnya,” Luthfi menambahkan.

 

4. Penurunan Kualitas Advokat Tidak Semata Kesalahan OA

Ada banyak faktor yang memengaruhi kualitas advokat saat ini. Kesalahan tidak hanya terletak pada OA, melainkan juga fakultas hukum di perguruan tinggi. Pada praktiknya, keberadaan OA justru telah membantu pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran di kalangan alumni fakultas hukum. Sebab, dalam meningkatkan kualitas advokat, OA perlu memberikan pendidikan lanjutan profesi advokat, pendidikan karakter, serta memberikan bekal kompetensi agar memiliki skill dan kemampuan yang memadai menghadapi era disrupsi dalam industri hukum (disruption in legal industry).  

 

5. Pernyataan Ketua MA Hatta Ali dalam Refleksi Akhir Tahun Mahkamah Agung

Dalam Refleksi Akhir Tahun Mahkamah Agung, Ketua MA Hatta Ali menyatakan, MA tidak akan terlibat dan tidak akan berpihak kepada OA yang ada. Ia tak akan mengintervensi kisruhnya wadah tunggal OA. Hatta Ali bahkan mengatakan, biar pasar dan masyarakat pencari keadilan yang menentukan. Itu sebabnya, hanya dengan multibar-lah seleksi alamiah akan berlangsung.  

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Tags:

Berita Terkait