Mulai Keilmuan Hingga Keseriusan Pembahasan RKUHP Dipertanyakan
Utama

Mulai Keilmuan Hingga Keseriusan Pembahasan RKUHP Dipertanyakan

Salah anggota Panja berharap Panja DPR dan pemerintah meninjau ulang pembahasan RKUHP dengan menyerap aspirasi masyarakat terutama dari pegiat hukum pidana.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Dari kiri ke kanan: Bivitri Susanti, Margarito Kamis, Wakil Ketua Komisi VIII Sodik Mujahid, pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar, Muhammad Nasir Djamil. Foto: RFQ
Dari kiri ke kanan: Bivitri Susanti, Margarito Kamis, Wakil Ketua Komisi VIII Sodik Mujahid, pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar, Muhammad Nasir Djamil. Foto: RFQ

Jelang akhir pembahasan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus menuai penolakan dari sebagian kalangan. Selain sebagian substansinya masih bermasalah, keilmuan sebagian anggota Panitia Kerja (Panja) DPR juga dipertanyakan ketika membahas RKUHP yang materinya murni ilmu hukum pidana.

 

Belum lagi, keseriusan anggota Panja pun dipertanyakan ketika membahas RKUHP dengan pemerintah. Sebab, dalam beberapa kali pembahasan, anggota Panja DPR yang hadir dapat dihitung dengan jari. Karena itu, seyogyanya DPR mesti terus menyerap masukan dari masyarakat dan ahli sebelum mengesahkan RKUHP.   

 

Pengamat hukum tata negara Bivitri Susanti mengakui proses legislasi di DPR memang menyesuaikan dengan mekanisme pembuatan Undang-Undang (UU). Hanya saja, setiap pembahasan RKUHP semestinya dilakukan secara serius dan khusus. Sebab, pembahasan RKUHP membutuhkan kecermatan dan keseriusan oleh orang-orang yang berlatar berlakang keilmuan hukum, khususnya hukum pidana.

 

“Kekhususan RKUHP lantaran banyak materi berbagai tindak pidana termasuk pemahaman asas yang termuat dalam Buku I,” ujar Bivitri Susanti dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung DPR, Selasa (27/3/2018).  

 

Menurutnya, tidak semua anggota DPR terutama yang duduk di Panja RKUHP memiliki kualifikasi  di bidang hukum. Sebab, umumnya anggota DPR itu dipilih bukan karena keilmuannya, tetapi karena kemampuan dalam berpolitik. “Apalagi, ilmu hukum pidana itu sangat rumit,” kata dia.

 

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera itu menilai pembahasan RKUHP memang harus dibedakan dengan pembahasan UU lain yang materi terkadang sederhana. Meski terdapat tim khusus dari pemerintah dan tim proofreader, namun terkesan pembahasan RUHKP kurang serius. Disebabkan, minimnya anggota Panja DPR yang hadir dalam proses pembahasan RKUHP yang digelar secara terbuka.

 

“Kami punya pemantau, dan itu yang hadir teman-teman paling-paling 5 sampai 6 orang. Pernah salah satu profesor ahli yang diundang datang. Kemudian anggota Panja yang datang cuma dua orang. Kan jadi pertanyaan. Apakah ini proses legislasi yang baik atau tidak untuk sebuah UU yang jumlah pasalnya ratusan,” kritiknya.

 

Anggota Panja RKUHP Muhammad Nasir Djamil mengakui kualifikasi soal keilmuan hukum anggota dan kehadiran dalam rapat pembahasan RKUHP menjadi persoalan. Karena itu, secara pribadi Nasir meminta agar RKUHP tidak terburu-buru disahkan DPR. Alasannya, masih banyak pasal bermasalah yang mesti dikaji terlebih dahulu. Hal ini agar nantinya KUHP tidak dengan mudah dilakukan revisi setiap tahunnya.

 

“Maklum, jumlah pasal yang terdapat RKUHP sekitar 700-an. Ada yang bilang ini karya agung, tetapi pembahasannya tidak agung,” akunya.

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berharap Panja DPR dan pemerintah meninjau ulang pembahasan RKUHP dengan menyerap aspirasi masyarakat, terutama dari pegiat hukum pidana yang perlu ditelaah. Belum lagi, kerja-kerja Panja RKUHP belum optimal lantaran sebagian anggotanya tidak hadir dalam pembahasan dengan alasan memiliki tugas lain seperti kunjungan ke daerah, sehingga berdampak kualitas pembahasan RKUHP menurun.

 

“Karena itu, kita perlu keseriusan pembahasan, jangan sampai tiba-tiba hasilnya tidak seperti yang kita harapkan. Semoga DPR tidak diburu waktu bisa memperbaiki norma-norma dalam RKUHP,” katanya.

 

Penghinaan presiden bermasalah

Pakar  hukum tata negara dari Universitas Chaerun Ternate, Margarito Kamis menyoroti soal larangan mengkritik atau menghina presiden. Menurutnya, belakangan masyarakat diarahkan untuk melakukan feodalisasi oleh negara secara sistematik. Misalnya, dalam UU No. 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) mengatur larangan mengkritik DPR. Bahkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat melaporkan dan menuntut warga masyarakat.

 

“Dan ini di RKUHP sekarang presiden juga tidak boleh dihina. Kita sepertinya sudah mengundang (sistem) tirani. Ini nggak masuk akal,” ujarnya.

 

Munculnya pasal penghinaan presiden dalam RKUHP, kata Margarito, seperti mengundang monster besar secara sadar. Padahal, kebebasan berpendapat dan mengkritik sudah diupayakan dengan segala cara sejak di era Orde Baru. Bila kebebasan berpendapat dan mengkritik kepala pemerintahan sepanjang membangun dilarang, sama halnya mengabaikan atau membatasi kebebasan berpikir.

 

“Kita tidak berjalan ke belakang. Feodalisasi yang kasar kayak gini memalukan. Di sisi lain kita sedang menciptakan monster kita mengundang tirani datang,” kata dia.

 

Bivitri juga menyoroti pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP sebenarnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Namun dalam RKUHP, pasal tersebut kembali dihidupkan. Dari aspek tata negara, kata Bivitri, hal tersebut menjadi persoalan. “Ini sudah menjadi bermasalah sekali,” lanjutnya.

 

Menurut Bivitri, pasal tersebut dikenal sebagai lese majeste. Ia berpandangan penerapan pasal lese majeste sudah tidak laku di negara manapun di dunia. Meskipun pasal tersebut masih terdapat di beberapa negara di Eropa, tetapi tidak lagi digunakan dalam penerapannya di masyarakat. “Ini oleh MK sudah dicabut, dan sekarang mau dihidupkan lagi,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait