MUI Diminta Merumuskan BPJS Kesehatan Sesuai Syariah
Berita

MUI Diminta Merumuskan BPJS Kesehatan Sesuai Syariah

Dengan demikian BPJS nantinya terbagi menjadi dua, yakni bersifat konvensional dan sistem syariah sebagaimana dalam dunia perbankan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati. Foto: http://okkyasokawati.com
Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati. Foto: http://okkyasokawati.com
Belakangan terakhir, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi sorotan publik. Fatwa yang dijadikan rekomendasi MUI kepada pemerintah menyatakan, dalam BPJS Kesehatan ada hal yang tidak sesuai dengan prinsip syariah karena terdapat unsur gharar, maisir dan riba. Menyikapi hal tersebut, anggota Komisi IX DPR, Okky Asokawati, meminta MUI merumuskan BPJS Kesehatan sesuai syariah.

“Hikmah dari polemik ini, ada baiknya MUI merumuskan BPJS Kesehatan yang sesuai dengan syariah,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (31/7).

Ia berpandangan tak ada salahnya BPJS Kesehatan terbagi menjadi dua, yakni BPJS bersifat konvensional dan menggunakan konsep syariah sebagaimana yang ada dalam  sistem perbankan. Meski pelaksanaan BPJS Kesehatan merujuk pada UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS, namun masih diakui praktiknya masih menemui kekurangan di berbagai lini. Dengan kata lain, pelaksanaan BPJS Kesehatan masih jauh dari sempurna.

“Ada kritik dalam pelaksanaan tersebut. Namun tidak sedikit juga cerita positif atas pelaksanaan BPJS Kesehatan ini. Banyak masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi terbantu dengan program ini. Cuci darah, kemoterapi dan tindakan medis lainnya tidak dipungut biaya sepeserpun,” ujarnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menilai fatwa MUI dalam rangka mengkritik untuk perbaikan pelaksaan BPJS Kesehatan. Sayangnya fatwa MUI tersebut dinilai meresahkan masyarakat.  Meski fatwa MUI tidak masuk dalam sistem hukum  positif dan peraturan perundangan, faktanya memiliki implikasi yang cukup besar ditengah masyarakat.

“Faktanya, dampak dari Fatwa MUI tersebut, ada yang mendukung, tidak mendukung serta bingung atas fatwa tersebut,” ujarnya.

Mantan pragawati papan atas itu lebih jauh berpendapat MUI perlu menjelaskan secara gamblang kepada masyarakat terkait fatwa tersebut. Tujuannya, agar tidak ada lagi keresahan di tengah masyarakat. “Selain itu, BPJS juga dapat melakukan klarifikasi (tabayyun) atas fatwa tersebut kepada MUI. Klarifikasi ini penting untuk mendudukkan masalah secara proporsional,” ujarnya.

Anggota Komisi IX lainnya Rieke Dyah Pitaloka mengatakan, Fatwa MUI berupa rekomendasi terhadap pemerintah terkait dengan BPJS. Pertama, kata Rieke, penyelenggaraan jaminan sosia BPJS Kesehatan terutama terkait dengan akad antar para pihak tidak sesuai dengan prinsip syari’ah. Pasalnya dinilai MUI terdapat unsur gharar, maisir dan riba.

Kedua, MUI mendorong pemerintah membentuk, menyelenggaran dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dengan melakukan pelayanan prima. Terhadap isi rekomendasi tersebut, Rieke mendukung fatwa MUI tersebut.

“Saya yakin tujuannya untuk kemaslahatan umat (rakyat) bukan untuk kepentingan bisnis berkedok  ‘kata syariah’,” ujarnya.

Mantan anggota Pansus RUU BPJS itu menilai fatwa MUI mesti disikapi pemerintah sebagai regulator. Sementara BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara jaminan kesehatan sebagai buah kritik membangun terhadap jaminan sosial kesehatan dan sistem kesehatan yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Menurutnya, kritik tersebut sebagai upaya agar pemerintah memberikan hak rakyat atas kesehatan  yang menjadi hak dasar sebagaimana amanat konstitusi. Bukan sebaliknya mempersulit akses masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan di lapangan.

Lebih lanjut, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berpendapat fatwa MUI sebagai dukungan agar dana jaminan kesehatan milik peserta digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dengan kata lain, dana tersebut tidak diperbolehkan menjadi jaminan komersial pelayanan kesehatan negara.

“Artinya, dana tersebut haram hukumnya jika mengubah watak jaminan sosial menjadi jaminan komersial yang berujung pada komersialisasi pelayanan kesehatan negara,” katanya.

Sebelumnya, Kepala Tim Komunikasi BPJS Ikhsan mengatakan, dalam sidang ijtima MUI tidak menyatakan BPJS haram. Hanya saja terdapat rekomendasi MUI  terhadap pemerintah. Pertama, pemerintah menerapkan standar minimum atau taraf hidup layak kesehatan bagi masyarakat. Kedua, aturan sistem dan format BPJS Kesehatan agar sesuai prinsip syariah.

“Jadi secara tekstual belum ada fatwa MUI  (BPJS) haram,” ujarnya.

Menurutnya, BPJS hanya menjalankan aturan dan ketentuan sesuai dengan amanat UU. Sementara MUI hanya menerbitkan rekomendasi. Sistem program BPJS yang berjalan prinsipnya mengedepankan gotong royong antara satu dengan lainnya. Nah, prinsip gotong royong itulah dinilai Ikhsan prinsipnya sudah sesuai dengan rekomendasi MUI kepada pemerintah.

“Rekomendasi kepada pemerintah, ya pemerintah jawab, kita sudah berjalan dengan regulasi yang ada. UU SJSN, BPJS, PP dan Perpresnya. Sembilan prinsip gotong royong tolong menolong sudah kita jalankan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait