MUI: Zakat Mal Boleh untuk Bantuan Hukum
Berita

MUI: Zakat Mal Boleh untuk Bantuan Hukum

Bantuan hukum yang bisa dibiayai dari dana zakat mal tidak sekadar untuk menangani sebuah perkara di persidangan, melainkan bisa lebih luas.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan zakat mal atau harta boleh digunakan untuk membiayai jasa pendampingan hukum bagi masyarakat yang lemah secara ekonomi. Hal ini disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam, Sholeh di Jakarta, Senin (11/6) seperti dilansir Antara.

 

"Ini masuk penyaluran zakat untuk asnaf atau golongan fakir, miskin, dan atau terlilit utang (gharimin) yang kasusnya tengah diproses," kata Niam.

 

Namun, lanjut Niam, pemanfaatan dana zakat mal untuk kepentingan layanan bantuan hukum itu hanya dibolehkan bila penerima bantuan hukum tersebut beragama Islam, merupakan orang yang terzalimi, dan tidak diberikan atas kasus yang bertentangan dengan agama.

 

Bahkan, kata Niam, bantuan hukum yang bisa dibiayai dari dana zakat mal tidak sekadar untuk menangani sebuah perkara di persidangan, melainkan bisa lebih luas.

 

"Bisa mengarah pada upaya perubahan sistem hukum, sosial, ekonomi dan budaya, serta upaya penyadaran masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya dalam memperoleh keadilan, baik melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi," katanya.

 

Dengan upaya itu diharapkan ada perbaikan sistem hukum yang lebih berkeadilan, menjamin tegaknya aturan yang sesuai dengan ajaran Islam, menjamin kemaslahatan umum, menjamin perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, serta mengoreksi kebijakan yang bertentangan dengan agama.

 

"Dalam hal pembelaan kasus hukum yang terkait dengan kepentingan Islam dan umat Islam penyaluran zakat dapat dimasukkan ke golongan fi sabilillah," katanya.

 

Lebih lanjut dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan, MUI juga menetapkan fatwa kebolehan pendayagunaan harta zakat untuk penyediaan air bersih dan sanitasi bagi masyarakat, khususnya fakir miskin.

 

(Baca Juga: Kemenag Wacanakan Aturan Penghimpunan Zakat Profesi Bagi ASN)

 

Pendayagunaan harta zakat untuk pembangunan sarana air bersih dan sanitasi dibolehkan dengan ketentuan menjadi kebutuhan mendesak bagi para penerima yang bersifat langsung.

 

"Manfaat dari sarana air bersih dan sanitasi tersebut diperuntukkan bagi kepentingan kemaslahatan umum dan kebajikan," kata Niam.

 

Komponen Penghasilan Wajib Zakat

Niam menambahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, telah menyepakati sejumlah komponen penghasilan yang wajib dizakati.

 

"Komponen penghasilan yang dikenakan zakat meliputi setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lainnya yang diperoleh secara halal," ujar Niam.

 

Penetapan tersebut juga berlaku pada penghasilan yang diperoleh secara rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.

 

(Baca Juga: Penyimpangan Distribusi Zakat, Pahami Aspek Hukumnya)

 

Dengan demikian, objek zakat bagi pejabat dan aparatur negara termasuk -- tetapi tidak terbatas pada-- gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji pokok, tunjangan kinerja, dan penghasilan bulanan lainnya yang bersifat tetap.

 

"Penghasilan yang wajib dizakati dalam zakat penghasilan adalah penghasilan bersih, sebagaimana yang diatur dalam fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003," tutur Niam.

 

Sedangkan untuk penghasilan bersih yang dimaksud ialah penghasilan setelah dikeluarkan kebutuhan pokok atau "al-haajah al-ashliyah".

 

Niam memaparkan, kebutuhan tersebut antara lain kebutuhan diri seperti sandang, pangan, papan, kebutuhan orang yang jadi tanggungannya seperti kesehatan dan pendidikan.

 

Kebutuhan pokok pun diatur dengan berdasarkan pada standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Sedangkan kebutuhan pokok sebagaimana yang tercantum pada petikan di atas ialah Penghasilan Tidak Kena Zakat (PTKZ).

 

"Pemerintah sudah menetapkan besaran kebutuhan pokok sebagaimana dimaksud di atas, yang jadi dasar dalam menetapkan apakah seseorang itu wajib zakat atau tidak," kata Niam.

 

Bendung Radikalisme

Sementara itu, Imam Besar Masjid Istiqlal Profesor Dr KH Nasaruddin Umar mengatakan zakat bisa menjadi solusi untuk mewujudkan keadilan sosial, terutama untuk membendung virus radikalisme dan terorisme.

 

"Zakat sangat penting dalam mengurangi kesenjangan sosial yang menjadi incaran penyebaran radikalisme dan terorisme," ujar Nasaruddin dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (9/6) seperti dilansir Antara.

 

Menurut Nasaruddin, radikalisme dan terorisme tidak hanya dipicu faktor ideologi, tetapi juga faktor ekonomi, sosial, dan politik. Sayangnya, lanjut Nasaruddin, jumlah penduduk miskin terlalu besar dibandingkan nilai zakat umat Islam di Indonesia sehingga kontribusinya masih sangat kecil.

 

(Baca juga: MK: Amil Tradisional Tak Perlu Izin Baznas)

 

Selain itu, sejauh ini belum dirancang pengeluaran zakat untuk berkontribusi dalam pencegahan terorisme, terutama untuk mendukung program deradikalisasi.

 

Mestinya lembaga atau badan penyalur zakat, seperti Baznas dan Dompet Dhuafa, bisa duduk bareng dengan pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk mengarahkan zakat guna memperkecil ketimpangan antara si kaya dan si miskin, serta para mantan kombatan dan napi terorisme yang telah insyaf dan butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya.

 

Itu penting agar mereka tidak berpikir lagi untuk kembali menjadi teroris," kata Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta itu.

 

Oleh karena itu, ia mengimbau umat Islam agar lebih giat mengeluarkan zakat, infak, hibah, jariyah, dan wasiyah untuk membantu umat Islam yang kekurangan.

 

"Mestinya itu harus dikeluarkan satu paket dengan 27 pundi ekonomi Islam. Terlalu pelit kita sebagai umat Islam manakala pengeluarannya hanya zakat. Hanya 2,5 persen," katanya.

 

Sebenarnya, kata Nasaruddin, hal itu bisa diatasi dengan kebijakan pemerintah. Namun, itu juga berat karena pajak yang diterima pemerintah saat ini peruntukannya masih belum memihak kepada rakyat kecil.

 

"Namun, dalam hal ini pemerintah tidak bisa disalahkan karena pendapatan pajak itu digunakan untuk membangun visi jangka panjang, membangun infrastruktur yang jumlahnya triliunan," katanya. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait