Muhtar Ependy dan Walikota Palembang Didakwa “Sumpah Palsu”
Berita

Muhtar Ependy dan Walikota Palembang Didakwa “Sumpah Palsu”

Muhtar Ependy ikhlas dianggap berbohong.

NOV
Bacaan 2 Menit
Penuntut umum KPK saat membacakan dakwaan terhadap Muhtar Ependy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/11). Foto: RES.
Penuntut umum KPK saat membacakan dakwaan terhadap Muhtar Ependy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/11). Foto: RES.

Muhtar Ependy, Walikota Palembang non aktif Romi Herton, dan Masyito didakwa memberikan keterangan bohong di bawah sumpah saat menjadi saksi dalam sidang perkara M Akil Mochtar. Selain itu, Muhtar didakwa menghalang-halangi proses pemeriksaan perkara Akil dengan mengarahkan saksi untuk berkata tidak benar.

Ketiganya didakwa secara terpisah oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/11). Dalam uraian dakwaan terhadap Muhtar, penuntut umum Rini Triningsih mengatakan Muhtar bersama-sama Romi dan Masyito dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar di pengadilan.

Kasus ini bermula saat Muhtar dipanggil ke Pengadilan Tipikor Jakarta untuk bersaksi dalam sidang perkara korupsi dan pencucian uang Akil pada 24 Maret 2014 dan 4 April 2014. Di persidangan, Muhtar menerangkan di bawah sumpah hanya sekali bertemu Akil di ruang kerja Akil di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010.

Namun, menurut Rini, berdasarkan keterangan saksi lainnya, Mico Fanji Tirtayasa dan Daryono, Muhtar di tahun 2013 juga pernah bertemu Akil. Selain itu, berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti tanggal 26 September 2014 diperoleh beberapa foto dalam waktu dan tempat yang berbeda.

“Diantaranya foto terdakwa bersama Akil Mochtar di ruang kerja hakim konstitusi pada MK dan foto terdakwa di ruang kerja Akil selaku Ketua MK tersimpan dalam satu buah handphone Apple Iphone 5 IMEI : 013410002567973 model A1429 IC : 579c-E2610A serial number F2MJQK37DTWH berlabel Muhtar Ependy,” kata Rini.

Kemudian, Muhtar di persidangan menerangkan tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Romi dan Masyito. Padahal, berdasarkan keterangan saksi Iwan Sutaryadi, Rika Fatmawati, Risna Hasrilianti, Masyito, dan Nur Affandi, Muhtar pada Mei 2013 pernah datang dan bertemu Masyito di kantor BPD Kalbar cabang Jakarta.

Rini mengungkapkan, berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti tanggal 26 September 2014, dalam handphone Muhtar ditemukan data SMS Muhtar kepada Iwan yang isinya, “Bos. Bisa bantu uang dolar diambil malam ini ngak. Dia mau uang itu. Kalau rupiah bolehlah mulai Senen dimasukan ke rek saya”.

Sesuai dokumen print out Laporan Cek Kendaraan kawasan Gedung Mangga Dua Mall tanggal 13 Mei 2013 dan 18 Mei 2013, mobil Honda Jazz putih bernomor B 1671 PFZ milik Muhtar diketahui memasuki kawasan parkir kendaraan Gedung Mangga Dua Mall, di mana kantor BPD Kalbar cabang Jakarta berada.

Selain itu, Rini menyatakan, Muhtar telah memberikan keterangan tidak benar mengenai pengiriman Rp3 miliar ke rekening CV Ratu Samagat milik istri Akil. Muhtar mengaku uang itu adalah uang tabungan yang berasal dari bisnisnya untuk pengembangan usaha ikan arwana di Silimbau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Muhtar juga mengaku memiliki kerja sama dengan CV Ratu Samagat dalam pembuatan kolam ikan arwana, di mana CV Ratu Samagat menyediakan alat berat untuk penggalian 10 kolam dan pemagaran untuk pembiakan ikan. Hasil panen ikan tersebut dibeli oleh eksportir dan Muhtar mendapat keuntungan Rp500 juta perbulan.

“Padahal, berdasarkan keterangan saksi Iwan Sutaryadi, Rika Fatmawati, dan Risna Hasrilianti pada 20 Mei 2013, terdakwa menyuruh Iwan menyetorkan uang Rp4 miliar ke rekeningnya di BPD Kalbar cabang Jakarta dan memindahbukukan Rp3,866 miliar kepada Akil melalui rekening giro CV Ratu Samagat,” ujar Rini.

Atas dasar itu, Rini meyakini uang tersebut bersumber dari sebagian uang yang berasal dari Romi yang diserahkan Masyito di BPD Kalbar cabang Jakarta. Tidak hanya berbohong soal pemberian uang dari Romi dan Masyito, Muhtar juga dianggap berbohong soal pemberian uang dari Bupati Empat Lawang Budi Antoni Al Jufri.

Rini mengungkapkan, di depan persidangan, Muhtar menerangkan tidak mengenal Budi dan istrinya, Suzanna Budi Antoni. Namun, berdasarkan keterangan Mico Fanji Tirtayasa, Dicki Mulia, dan Sri Dewi Koryani, Budi pernah bertemu Muhtar di kantor PT Promic Nirwana Estate dan Soto Senayan, Kelapa Gading sekitar Juli 2013.

Muhtar juga pernah berkomunikasi melalui handphone dengan Budi dan komunikasi tersebut didengar oleh Dicki. Kemudian, berdasarkan keterangan Iwan Sutaryadi, Rika Fatmawati, dan Risna Hasrilianti, Muhtar dan Suzanna pernah bertemu di kantor BPD Kalbar cabang Jakarta pada 8 Juli 2013.

Hal itu diperkuat pula dengan Bukti Berita Acara Pemeriksan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti tanggal 26 September 2014 yang diperoleh dari handphone milik Muhtar. Pasalnya, dari daftar buku telepon yang tersimpan di handphone Muhtar terdapat nama Bupati Empat Lawang dan SMS antara Muhtar dan Budi.

Berdasarkan itu, Rini berpendapat Muhtar telah berbohong soal perkenalannya dengan Budi dan Suzanna. Muhtar juga telah berbohong soal penerimaan uang Rp15 miliar dari Budi yang dahulu diakui Muhtar sebagai kumpulan hasil bisnis penjualan mobil, baju, atribut kampanye, dan bukan untuk pengurusan sengketa Pilkada Empat Lawang di MK.

Adapun kebohongan Muhtar lainnya, menurut Rini, adalah soal penyerahan uang Rp5 miliar dan AS$500 ribu kepada Akil. Sesuai keterangan saksi Iwan, Mico, Dwi Antoni, Daryono, dan Wahyu Endro Prayugo, Muhtar pernah mengambil uang Rp5 miliar dan AS$500 ribu yang sebelumnya dititipkan kepada Iwan untuk diberikan kepada Akil di rumahnya.

Dengan demikian, Rini menganggap perbuatan Muhtar telah melanggar ketentuan Pasal 22 jo Pasal 35 UU Tipikor. Namun, tidak sampai di situ, Rini juga menganggap Muhtar telah melanggar Pasal 21 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP karena telah mengarahkan sejumlah saksi untuk membuat keterangan tidak benar dalam sidang perkara Akil.

Menanggapi dakwaan penuntut umum, Muhtar tidak akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Ia lebih memilih untuk melanjutkan sidang dengan pemeriksaan saksi-saksi. Ketika ditanyakan mengenai materi yang didakwakan kepadanya, ia hanya berkomentar, “Ya ikhlas-in saja lah, nanti persidangan saja yang membuktikan”.

Tags:

Berita Terkait