Muchtar Pakpahan Wafat, Yasonna: Semoga Semangatnya Berlanjut ke Generasi Muda
Berita

Muchtar Pakpahan Wafat, Yasonna: Semoga Semangatnya Berlanjut ke Generasi Muda

Muchtar Pakpahan adalah tokoh buruh Indonesia yang mendirikan serikat buruh independen pertama di Indonesia. Dia juga aktif sebagai pengacara.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit

Setelah Muchtar Pakpahan tamat SMA, ia melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Namun menurut Muchtar Pakpahan, ia memutuskan pindah ke Fakultas Hukum menyusul insiden Malari. Ia menyatakan bahwa dirinya terinspirasi oleh aktivis yang sangat terlibat dalam gerakan seperti Hariman Siregar, Muslim Tampubolon, Nelson Parapat, dan Sufri Helmi Tanjung. Ia menjadi anggota senat mahasiswa di universitasnya dan menjadi pengurus Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia cabang Medan. Dia lulus dari universitas pada tahun 1978.  

Setelah lulus dari universitas, Muchtar Pakpahan membuka kantor pengacara di Medan. Sebagian besar kliennya adalah orang-orang kecil dan miskin, seperti buruh dan petani. Ia jarang memenangkan kasus saat membela mereka, karena diintimidasi dan tuduhan komunis.  Beberapa kasus menonjol yang ia tangani antara lain Proyek Inalum Asahan (1978-1982), Pabrik Korek Api Deli di Medan, Hutan Nasional Gunung Balak di Lampung, penembakan 2.800 sopir Angkutan Penumpang Jakarta, larangan jual beli PKL di Jakarta, Kasus Kedung Ombo, dan pembakaran Kampung Sawah.

Setelah bekerja sebagai pengacara selama beberapa dekade, Muchtar Pakpahan kemudian membentuk Serikat Kesejahteraan Pekerja Indonesia (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, SBSI) pada Mei 1992. Sebelum berdirinya SBSI, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang didukung pemerintah adalah satu-satunya serikat pekerja yang sah pada saat itu. Namun, SPSI kerap dikritik karena sikapnya yang acuh tak acuh menghadapi penganiayaan terhadap buruh. Muchtar kemudian terpilih sebagai ketua SBSI.

Sejak didirikan, organisasi ini telah dua kali berupaya untuk mendaftarkan dirinya sebagai serikat pekerja yang sah: pertama pada 28 Oktober 1992 dan kedua pada 10 Agustus 1993. Pertama, tidak ada tindakan yang diambil atas permohonan serikat tersebut dan yang kedua, seorang pejabat. dari Departemen Dalam Negeri menolak untuk menerima dokumentasi SBSI.

Pada awal berdirinya, fokus organisasi ini terutama mengkritisi sistem organisasi SPSI dan menuntut serikat pekerja yang bebas. Pada Desember 1992, SBSI dan delapan LSM lainnya membentuk Forum Solidaritas Buruh. Di bulan yang sama, forum tersebut mengadakan diskusi terkait SPSI yang juga dihadiri oleh Muchtar. Dalam diskusi tersebut, Muchtar mengkritik monopoli pemerintah atas SPSI. Pada 11 Desember di bulan yang sama, Muchtar memimpin delegasi SBSI ke MPR dan mengusulkan beberapa perubahan terkait kesejahteraan pekerja dan kondisi kerja. Rombongan diterima anggota MPR dari Partai Demokrat Indonesia.

Pada 3 Februari 1994, Muchtar menyampaikan surat publik kepada Menteri Tenaga Kerja saat itu, Abdul Latief, dan mengajukan empat tuntutan terkait kesejahteraan buruh. Tuntutannya adalah menghapus batasan serikat pekerja dengan mencabut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 1 tahun 1994, yang menegaskan pendapatan dasar pekerja menjadi Rp 173.500/bulan atau 7.000 rupiah/hari, menyetujui keberadaan SBSI sebagai serikat pekerja yang sah, dan semua tuntutan itu harus dipenuhi sebelum 1 April 1994. Ia juga mendorong para pekerja di seluruh Indonesia untuk melakukan mogok pada 11 Februari dari pukul 08.00 sampai 09.00.

Menanggapi suratnya, para komandan militer daerah di seluruh Indonesia melakukan pencegahan agar tidak terjadi serangan. Panglima TNI Diponegoro (Jawa Tengah) Mayjen Soeyono mendatangi pabrik industri untuk berdialog dengan buruh dan buruh. Komandan militer Jaya (Jakarta), Mayjen Abdullah Mahmud Hendropriyono, melakukan pendataan dan intelijen terhadap pekerja, dan menyimpulkan bahwa pemogokan tersebut tidak akan mengancam produktivitas pabrik. Ia juga meragukan apakah buruh akan memenuhi ajakan Muchtar untuk melakukan aksi mogok kerja. Abdul Latief sendiri menanggapi surat tersebut, menyatakan bahwa SBSI bukan serikat pekerja dan bahwa metode pemogokan pekerja sudah ketinggalan zaman.

Beberapa hari setelah surat itu terbit, Muchtar Pakpahan dan rekannya dari SBSI ditangkap oleh Polres Semarang dengan alasan subversi dan ujaran kebencian. Dia ditangkap setelah menghadiri acara SBSI, di mana polisi menemukan map berisi poster yang berkaitan dengan pemogokan. Penangkapannya dikritik oleh Amnesty International, Yayasan Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia, Perselisihan, dan Solidaritas Perempuan. Penangkapannya akhirnya dibatalkan setelah sebulan penyelidikan pada 12 Februari 1994.

Menurut Kompas, dorongan Muchtar terhadap aksi mogok buruh tidak banyak diminati. Meskipun SBSI mengklaim bahwa sekitar tiga per empat juta pekerja ikut serta dalam pemogokan, pemogokan pekerja selama periode tersebut hanya terjadi di Pabrik Tyfountex di Solo, dengan 7000 pekerja yang berpartisipasi. Para buruh menuntut kenaikan upah minimum dari Rp2.500 menjadi Rp3.800.

Karena aktivitasnya, dia dituduh mengorganisir pemogokan. Dia dipenjara pada 1994, dan dibebaskan pada 20 Mei 1995. Selama di penjara, dia mengaku diseret oleh penjaga, ditelanjangi, dan diancam akan dibunuh. Ia juga mendoakan tobat Soeharto.

Tags:

Berita Terkait