Muatan UU Minerba Tuai Penolakan
Berita

Muatan UU Minerba Tuai Penolakan

Muatan UU Minerba kental dengan kepentingan pemilik perusahaan pertambangan. Kepentingan masyarakat wilayah pertambangan cenderung diabaikan.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES

DPR RI bersama pemerintah telah menyepakati untuk mengesahkan Revisi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pada Selasa (12/5). Pengesahan UU Minerba tersebut menuai kritik dari berbagai pihak khususnya lembaga swadaya masyarakat dan aktivis lingkungan yang menilai muatan pasal UU tersebut berpihak pada perusahaan-perusahaan tambang batubara. Selain itu, UU tersebut mengabaikan kepentingan masyarakat wilayah pertambangan dan kelestarian lingkungan.

 

Manajer Advokasi dan Jaringan Publish What Your Pay (PWYP), Aryanto Nugroho, menyatakan pembahasan RUU Minerba sudah tidak transparan sejak awal rancangannya berada di DPR. Kemudian, partisipasi masyarakat juga sangat minim sehingga muatan aturan tersebut lebih mengakomodir kepentingan pelaku usaha. Padahal, dalam sektor pertambangan, kepentingan masyarakat wilayah kerja sangat penting untuk diakomodasi seperti pencemaran dan kerusakan lingkungan dan kepastian lahan.    

 

“Selain tidak transparan dan tidak partisipastif. Terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses pembahasan RUU Minerba. Misalnya, beredarnya surat Ketua Komisi 7 yang ditujujan kepada Pimpinan DPR per-tanggal 20 Januari 2020, yang menyebut bahwa RUU Minerba ini tidak layak di-carry over. Tapi tiba-tiba tanggal 22 Januari, dalam paripurna, RUU Minerba langsung masuk dalam prolegnas 2020,” jelas Aryanto, Rabu (13/5).

 

Menurutnya, pandangan mini fraksi seolah hanya formalitas karena catatan setiap fraksi pada saat pembicaraan tingkat I (11/5/2020) tidak dibahas dalam rapat pengesahan tersebut. Misalnya, terdapat pandangan satu partai yang meminta pasal 165 UU Minerba untuk tidak dihapus namun pandangan tersebut tidak dibahas sama sekali. Belum lagi catatan terhadap pasal-pasal lainnya. “Artinya, sejumlah fraksi mengakui banyak pasal bermasalah, namun tidak dibahas, malah turut menyetujui," jelas Aryanto. (Baca: DPR Persilakan Masyarakat Uji UU Minerba Hasil Revisi ke MK)

 

Dia menjelaskan sejumlah pasal-pasal bermasalah yang akhirnya disahkan dalam UU Minerba ini berkaitan dengan memberikan keleluasaan bagi pemegang Perjanjian Karya Pengusahaaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan habis masa berlakunya, berupa perubahan menjadi IUPK tanpa lelang, jaminan perpanjangan dan luas wilayah tidak perlu diciutkan.

 

UU Minerba

Pasal 169A

  1. KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan:
  1. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali  perpanjangan dalam bentuk  IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing–masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
  2. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk  IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian  untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

 

Kemudian, pencabutan kewenangan perizinan dari provinsi ke pusat yang berpotensi menjadi resentralisasi dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Hal ini berisiko jadi potensi konflik hubungan daerah-pusat.

 

Kemudian, dia juga mengomentari klaim DPR yang menyebutkan soal naiknya denda bagi perusahaan yang tidak melakukan reklamasi dan pengaturan soal kewajiban pemberdayaan masyarakat. Menurutnya, denda itu bukan hal yang baru, karena sudah diatur dalam UU Minerba sebelumnya. Permasalahan sebenarnya justru di pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah saat ini.

 

“Puluhan korban lubang tambang di Kaltim (Kaltim) yang tidak ditangani dan fakta bahwa perusahaan yang menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang masih di kisaran 50 persen saja, menunjukkan problem tersebut,” kata Aryanto.

 

Kemudian, Ary juga menjelaskan persoalan lain dalam UU Minerba tersebut sebungan peningkatan nilai tambang (hilirisasi). Dalam UU tersebut menyatakan hilirisasi hanya diwajibkan pada mineral sedangkan tidak ada kewajiban bagi batubara.

 

Peneliti Auriga, Iqbal Damanik menyatakan terburu-burunya pengesahan UU Minerba ini diduga untuk mengakomodir pemegang PKP2B yang akan habis masa berlakunya dalam waktu dekat. Menurutnya, hal tersebut berdampak buruk terhadap kerusakan lingkungan karena perusahaan tambang tersebut belum menjalankan kewajibannya melaksanakan reklamasi lubang tambang.

 

“Perusahaan-perusahaan tambang tersebut masih menyisakan lubang tambang yang luas, UU Minerba ini juga megakomodir kepentingan oligarki pengusaha-pengusaha tambang,” papar Iqbal.

 

Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika menambahkan dengan kepastian perizinan wilayah pertambangan tersebut maka dapat meningkatkan nilai bisnis perusahaan tambang tersebut.

 

“Ada 7 perusahaan pertambangan akan jatuh tempo dalam waktu dekat. Di sini kami lihat UU Minerba hanya menjawab kebutuhan dan kepentingan perusahaan tambang dan tidak ada pembahasan fundamental apa ini dibutuhkan negara dan masyarakat,” jelas Hindun.

 

Tags:

Berita Terkait