Motif Utama Kasus Penyiksaan untuk Mendapat Pengakuan
Berita

Motif Utama Kasus Penyiksaan untuk Mendapat Pengakuan

Praktik penyiksaan yang tidak manusiawi masih digunakan aparat dengan dalih penegakan hukum untuk mempermudah pembuktian dan mendapat pengakuan atau informasi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Korban pelanggaran HAM berat masa lalu datangi Komnas HAM. Foto: ilustrasi (Sgp)
Korban pelanggaran HAM berat masa lalu datangi Komnas HAM. Foto: ilustrasi (Sgp)

Kasus kekerasan masih terjadi di Indonesia. KontraS mencatat sedikitnya ada 72 kasus penyiksaan Periode Juni 2018-Mei 2019. Data itu merupakan hasil pemantauan terhadap 16 negara di Asia termasuk Indonesia yang kemudian ditemukan beberapa pola penyiksaan yang sering terjadi.

 

Koordinator KontraS Jakarta Yati Andriyani menyebutkan ada 5 pola penyiksaan yang sering terjadi. Pertama, mengendalikan massa. Kedua, memperoleh informasi pada proses penyidikan tindak kriminal. Ketiga, menertibkan para narapidana di Lapas.

 

Keempat, sebagai bagian integral dari konflik bersenjata dan strategi kontra-pemberontakan. Kelima, sebagai bentuk diskriminasi bagi para kelompok minoritas. Terkait situasi penyiksaan di Indonesia, KontraS menghitung dari 72 kasus penyiksaan itu menyebabkan 16 orang tewas dan 114 luka-luka. Aparat kepolisian menjadi aktor paling banyak yang diduga melakukan kekerasan yakni 57 kasus, tentara 7 kasus dan 8 kasus oleh sipir.

 

“Hal ini selaras dengan temuan kami bahwa motif utama dalam kasus-kasus penyiksaan yang ada untuk mendapat pengakuan dengan total 49 kasus dibandingkan sebagai bentuk penghukuman dengan total 23 kasus,” kata Yati dalam keterangannya, Kamis (27/6/2019). Baca Juga: Perdamaian dalam Kasus Talangsari Tak Gugurkan Pidana, Ini Alasannya

 

Dari puluhan kasus penyiksaan dan penghukuman tidak manusiawi, Yati mengatakan 51 peristiwa terjadi pada korban salah tangkap yang ditandai dengan korban dilepaskan oleh polisi setelah mengalami penyiksaan. Fakta itu, kata Yati, sangat ironis. Padahal ada Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM.

 

“Karena itu, penting bagi negara untuk mengevaluasi keabsahan keterangan atau pengakuan yang diperoleh dari praktik penyiksaan sebagai alat bukti di pengadilan,” lanjutnya.

 

Yati menyoroti praktik penyiksaan di sel tahanan atau lapas/rutan yang terus berulang setiap tahun. Ini menunjukan tidak ada kendali, evaluasi, dan koreksi atas tata kelola tempat penahanan, sehingga masih membuka celah praktik penyiksaan. Bagi Yati hal ini mempertegas pentingnya mekanisme pencegahan nasional untuk mencegah penyiksaan di tempat penahanan sebagaimana mandat protokol opsional konvensi anti penyiksaan (OPCAT) yang sampai sekarang belum diratifikasi pemerintah.

 

Praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi yang terjadi di Aceh melalui penerapan hukum cambuk bagi Yati menunjukan pemerintah tidak punya itikad menghapus praktik penyiksaan secara utuh. Padahal ini mandat Pasal 2 konvensi anti penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi melalui UU No.5 Tahun 1998. Dia menegaskan hak untuk tidak disiksa merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right).

 

Yati menjelaskan dari 6 kasus penyiksaan yang didampingi KontraS, pola penyiksaan dilakukan untuk mendapat pengakuan yakni menggunakan senjata api. Kemudian anggota dari instansi pelaku mendatangi keluarga korban dan meminta pihak keluarga menandatangani pernyataan tidak akan menempuh jalur hukum terhadap pelaku.

 

Dalam menangani demonstrasi seperti May Day dan kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta, Yati melihat aparat kepolisian tidak menggunakan kekuatannya secara proporsional dan masuk akal sebagaimana diatur Perkap No.1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pendekatan yang dilakukan pemerintah dengan memasukan rumusan penyiksaan dalam RKUHP dinilai belum menjawab masalah penyiksaan secara menyeluruh.

 

Perlu UU khusus

Yati mengusullkan perlu UU khusus untuk mengatur penghapusan penghukuman yang tidak manusiawi, termasuk keterangan yang didapat dari praktik penyiksaan harus dikategorikan sebagai alat bukti tidak sah. Instansi yang anggotanya kerap menjadi pelaku penyiksaan wajib dievaluasi dengan melibatkan pihak eksternal. Selain itu, pemerintah harus meratifikasi OPCAT dan merumuskan UU khusus mengenai penghapusan praktik penyiksaan dan tindakan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan manusia.

 

Terpisah, LBH Jakarta melihat praktik penyiksaan masih digunakan aparat dengan dalih penegakan hukum untuk mempermudah pembuktian, mendapat pengakuan atau informasi. Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menegaskan padahal pengakuan bukan alat bukti. Ironisnya, penyiksaan ini tidak hanya dialami orang dewasa, tapi juga anak yang berkonflik dengan hukum. Anak semestinya mendapat pendekatan restorative dalam proses hukum demi kepentingan terbaik anak.

 

Survei LBH Jakarta terhadap anak di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) di Jakarta yang dilakukan setahun terakhir menemukan 20 anak menjadi korban penyiksaan dalam proses penyidikan di kepolisian. Ini menunjukan belum ada perubahan perilaku aparat penegak hukum dalam praktik penyiksaan. Larangan praktik penyiksaan ini secara tegas diatur UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.35 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

“Hal ini juga menunjukkan masih buruknya perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak sebagaimana diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya oleh aparat kepolisian,” kata Arif.

 

Berdasarkan survei tersebut ditemukan berbagai bentuk penyiksaan pada anak seperti dipukul, diludahi, dan disetrum. Penyiksaan dalam proses penyidikan oleh kepolisian merupakan bentuk pelanggaran atas konvensi CAT. Penyiksaan ini diduga terjadi karena lemahnya pengawasan dan pencegahan baik oleh institusi pengawas penegak hukum dan masyarakat.

 

Sayangnya pelaku penyiksaan tidak mendapat hukuman dalam mekanisme pidana, tapi hanya dicatat atau dikenakan sanksi etik. Padahal penyiksaan masuk kategori tindak pidana dan pelanggaran HAM. LBH Jakarta mendesak pemerintah membuat regulasi khusus tindak penyiksaan sebagai tindak pidana dalam RKUHP.

 

“Sekaligus merevisi KUHAP yang mengatur keberadaan hakim komisaris sebagai pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan. Ini penting guna mencegah berulangnya praktik penyiksaan dalam proses itu,” usulnya.

 

Selaras dengan itu, pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang mengatur pemulihan hak-hak korban penyiksaan. Regulasi yang ada saat ini masih mengabaikan hak-hak korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya yang secara jelas telah diatur berbagai instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi.

 

Selain itu, Polri perlu mengedepankan prinsip HAM dalam proses investigasi dan penyidikan tanpa penyiksaan. Kemudian melakukan penegakan hukum yang transparan dan akuntabel terhadap pelaku penyiksaan. “LBH Jakarta juga menuntut pemerintah untuk meratifikasi OPCAT.”

Tags:

Berita Terkait