Moratorium PKPU Dinilai untuk Selamatkan Ekonomi di Tengah Pandemi
Terbaru

Moratorium PKPU Dinilai untuk Selamatkan Ekonomi di Tengah Pandemi

Moratorium tidak menutup upaya kreditur untuk melakukan penagihan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Usulan penghentian sementara atau moratorium permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan terus bergulir bak bola panas. Para pihak yang memiliki kepentingan terhadap proses hukum ini mulai angkat bicara dan memberikan pandangannya terkait rencana ini.

Di satu sisi ada suara penolakan terkait usulan moratorium ini, namun di sisi lain muncul suara dukungan dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Salah satu dukungan datang dari Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI). Ketua Umum HKPI Soedeson Tandra menegaskan pihaknya mendukung upaya moratorium permohonan PKPU dan pailit.

“Saya bicara atas nama pribadi dan juga Ketum HKPI, menyatakan mendukung moratorium PKPU. Walaupun moratorium ini memukul organisasi dan anggota kami, tapi demi kepentingan negara saya mendukung moratorium. Kepentingan negara dan bangsa lebih penting daripada individu dan golongan,” tegas Soedeson kepada Hukumonline, Kamis (26/8).

Soedeson menegaskan bahwa moratorium PKPU perlu dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Pemberlakuan moratorium bukan semata-mata demi mengakomodir kepentingan dunia usaha, tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Pasalnya, krisis akibat pandemi memberikan multi efek. Tak hanya dunia usaha, tetapi para pekerja adalah pihak yang paling merasakan dampak Covid-19.

Memang, PKPU merupakan salah satu upaya hukum yang disediakan oleh negara untuk menyelesaikan urusan utang piutang lewat restrukturusasi dan diatur dalam UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Namun dalam prosesnya PKPU bisa berakhir dengan pailit, jika sebagian besar kreditur menolak proposal perdamaian yang diajukan oleh debitur. (Baca Juga: AKPI Respons Rencana Moratorium Permohonan PKPU dan Pailit)

Risiko ini yang menghantui dunia usaha di masa pandemi. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, dunia usaha membutuhkan dukungan pemerintah untuk memberikan kepastian berusaha. Pemberlakuan pembatasan kegiatan di berbagai sektor membuat dunia usaha mengalami penurunan likuiditas yang menyebabkan terjadinya gagal bayar.

“Bukan pelaku usaha tidak mau bayar, tapi mereka dipaksa tutup karena pandemi Covid-19. Akibatnya multi efek, termasuk ke karyawan. Kalau itu dibiarkan lama-lama, bukan hanya kepentingan bisnis, tapi mengancam kepentingan ekonomi nasional. Untuk mencegah hal-hal itu dan demi kepentingan yang lebih besar, saya mendukung moratorium,” jelas Soedeson.

Pun demikian, Soedeson menegaskan kreditur tak perlu khawatir terkait utang yang telah jatuh tempo. Moratorium PKPU dan pailit tidak menghapus kewajiban debitur untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Kreditur dapat mengambil upaya hukum lain seperti gugatan perdata, hak eksekusi tanggungan, arbitrase, mediasi, restrukturisasi bilateral dan lainnya diluar jalur PKPU dan pailit.

“Misalnya kita moratorium PKPU bukan berarti debitur atau pelaku usaha kebal terhadap hukum, PKPU dan pailit kan salah satu cara, tapi intinya debitur jangan dipailitkan atau PKPU, lindungi kepentingan usaha, keselamatan rakyat kecil, karyawan. Pemerintah wajib melindungi itu,” paparnya.

Soedeson menyebut dari 300 lebih perkara PKPU dan pailit yang masuk ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat di masa pandemi, hampir 50 persen berakhir pailit. Dia menilai PKPU menjadi sarana bagi kreditur untuk mempailitkan debitur. Situasi ini yang dimaksud sebagai moral hazard dan membahayakan ekonomi nasional.

Selain itu, tingginya angka permohonan PKPU dan pailit dapat mempengaruhi kepercayaan investor. Kebijakan moratorium ini juga banyak diterapkan di beberapa negara seperti Singapura, Australia, Malaysia dan diyakini tidak akan berpengaruh banyak terhadap EoDB.

Jika pada akhirnya Presiden memutuskan untuk memberlakukan moratorium PKPU dan pailit lewat Perppu, dia berharap Perpu hanya mengatur terkait moratorium dan berlaku sementara maksimal satu tahun atau sampai pemerintah mencabut status pandemi. Soedeson juga menilai beberapa poin kelemahan dalam UU Kepailitan tak bisa dituangkan dalam Perppu karena membutuhkan proses pembahasan yang panjang.

“Jadi kalau saya sekarang pemerintah mengganti UU Kepailitan yang lama saya tidak setuju, cukup moratorium karena bencana non alam. Apakah ini mengganggu EoDB? Tolong dipahami negara luar sudah lama memahami dalam keadaan pandemi yang penting adalah menyelematkan masyarakat dan dunia usaha, perekonomian dan usaha kita interconnect dengan dunia, saya yakin 100 persen didukung. Apindo minta moratorium berlaku hingga 2025, kalau itu saya tidak setuju. Maksimal satu tahun atau berlaku sampai status bencana non alam dicabut,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Jimmy Simanjuntak, mengungkapkan moratorium atas pengajuan PKPU dan Kepailitan akan menimbulkan hal-hal kontraproduktif bagi perekonomian nasional. Meski terlihat dapat memberikan relaksasi terhadap debitor, menurutnya, moratorium dapat memberikan dampak sistemik terhadap pemangku kepentingan dengan posisi kreditor, yang terdiri atas bank dan lembaga keuangan nonbank; pelaku usaha; pekerja; serta tagihan-tagihan negara seperti pajak dan Pendapatan Negara Bukan Pajak.

Menurut Jimmy, moratorium juga akan menimbulkan macetnya mekanisme penyelesaian utang-piutang yang selama ini telah berkontribusi pada sistem perekonomian, baik domestik maupun antarnegara. “Moratorium akan menurunkan derajat kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi para investor, bank/lembaga keuangan nonbank, termasuk pelaku usaha yang dikhawatirkan akan menimbulkan akibat berkepanjangan bagi perekonomian nasional nantinya. Oleh karena itu, perlu kiranya dipertimbangkan untuk membatalkan rencana pemberlakuan moratorium dimaksud sembari menemukan solusi lain yang tidak merugikan pemangku kepentingan,” kata Jimmy.

Lebih jauh, Jimmy berpandangan moratorium pengajuan permohonan PKPU dan Kepailitan menegaskan bahwa penegakan Hukum Kepailitan menjadi sumber dari permasalahan perekonomian nasional. Sebaliknya, penegakan UU Nomor 37 Tahun 2004 sejauh ini adalah bagian dari solusi dan merupakan indikator tentang tingkat kemudahan berusaha di Indonesia.

Sementara itu, anggapan bahwa PKPU dan Kepailitan adalah wujud ‘pintu kematian’ dari suatu entitas usaha masih perlu mendapatkan klarifikasi. PKPU dan Kepailitan sendiri masih menyandang asas kelanjutan usaha dengan memberikan kesempatan bagi debitor untuk mengajukan rencana perdamaian untuk didiskusikan dengan para kreditornya. Restrukturisasi utang sebagai hasil dari (PKPU) yang mengikat debitor dengan para kreditor secara massal perlu dipertahankan keberadaannya, karena telah melahirkan proses penyelesaian utang piutang secara tertib.

Tags:

Berita Terkait