Kalau dibuat suatu instropeksi dan membuat proyeksi ke depan, berbagai aksi demo petani itu tidak lepas dari kondisi pertanahan di negara kita yang belum kunjung beres. Pertanda dari ketidakberesan itu dapat dilihat adanya kondisi ketimpangan penguasaan tanah yang ironisnya justru dialami kaum tani. Telah banyak terjadi "Land has gone out from the thriller", bukan seperti cita-cita ideal dalam konsep agraria "Land for the Thriller".
Lalu bagaimana fungsi instrumen hukum yang ada? Untuk menjawab tantangan mendasar dalam ideologi penguasaan tanah, tentunya UUPA sejak awal berlakunya sudah memuat visi dan membawa misi yang memberikan arahan awal dan mendasar, yaitu mewujudkan hubungan ideal tanah sejalan dengan prinsip "Land for the Thriller".
Namun, hal itu tidak berumur lama karena kerumitan masalah ketimpangan struktur pemilikan tanah yang telah terjadi berabad-abad lalu belum sempat terselesaikan. Hal itu dapat dilihat adanya deviasi kebijakan pertanahan yang kemudian ditempuh rejim orde baru sejak tahun 1967 ditandai berlakunya UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga akhir 1998.
Fenomena yang sudah terjadi sejak tahun 1960 tersebut harus dilihat secara utuh dari bagian politik agraria nasional yang dijalankan rejim-rejim yang berkuasa. Fokus kajian yang dianggap sebagai alternatif jawaban terhadap permasalahan ini adalah adanya pelanggaran moral dan hukum dalam pelaksanaan politik pertanahan nasional.
Landasan moral dan hukum pelaksanaan politik pertanahan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan ini memberikan perintah kepada negara sebagai badan penguasa atas tanah yang dimiliki bangsa Indonesia untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perintah itu yang hingga tulisan ini dibuat, kiranya masih jauh dari harapan petani maupun sebagian besar bangsa Indonesia.
Bad governance
Pada tahun 1984, Indonesia pernah memperoleh penghargaan dari FAO atas kemampuan swasembada pangan sebagai sektor primer agraris. Tetapi apa daya, ternyata menjelang milenium ketiga, negara kita tiba-tiba menjadi negara pengimpor beras nomor satu di dunia. Hal itu terjadi akibat kondisi rawan pangan, kebakaran hutan, banjir, tumbuhnya kaum tuna kisma akibat mis-management karena penerapan bad-governance yang mengabaikan aspek moral dan hukum
Dua fakta yang kontradiktif itu seyogyanya dapat menjadi bahan pemikiran. Apakah dampak penerapan kebijakan yang keliru terhadap pertanahan dan sektor pertanian yang hebat, sehingga dampaknya demikian kontras? Untuk mengukur tingkat kebijakan yang diterapkan dalam bad governance itu, tentunya siginifikan ditujukan pada moralitas penyelenggara negara level nasional sebagai pembuat dan pengendali kebijakan tertinggi di republik ini.