Molornya Produksi Migas di Blok Cepu Ancam Pendapatan Negara
Berita

Molornya Produksi Migas di Blok Cepu Ancam Pendapatan Negara

Potensi kerugian Negara akibat mandeknya produksi migas di Blok Cepu sebesar AS$ 150 juta. DPR akan membentuk tim untuk mencari penyebab tertundanya produksi migas tersebut.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Molornya Produksi Migas di Blok Cepu Ancam Pendapatan Negara
Hukumonline

 

Singkat cerita, setelah Widya 'dilengserkan', dan Pertamina dinahkodai Ari Soemarno, pemerintah akhirnya memutuskan pengelolaan Blok Cepu dilakukan secara bersamaan antara Pertamina dan Exxon melalui Joint Operation Agreement (JOA), dengan Exxon sebagai operator. Namun proses Kontrak Kerja Sama JOA tidak serta merta berjalan mulus. Di tengah jalan sering terjadi perselisihan. Keputusan pemerintah itu seringkali digugat, baik oleh rakyat maupun mantan pejabat Negara. Pemerintah dianggap tunduk kepada Amerika Serikat.

 

Sayang, proses 'rebutan' yang terbilang seru itu belum sebanding dengan capaian yang berarti. Produksi pertama minyak Blok Cepu sebesar 20.000 barrel per hari berulang kali mundur dari target yang ditetapkan. Sebelumnya, pemerintah menargetkan produksi pertama Cepu pada akhir 2008, tetapi hingga kini belum berproduksi. Terakhir, produksi pertama Cepu ditargetkan mulai Agustus 2009. Dari produksi 20.000 barrel per hari tersebut, sebanyak 10.000 barrel per hari di antaranya direncanakan masuk ke fasilitas Pertamina dan 6.000 barrel per hari diproses di kilang mini PT Tri Wahana Universal (TWU). Blok Cepu sendiri baru akan berproduksi puncak sebesar 165.000 barrel per hari pada 2012-2013.

 

DPR jelas mempertanyakan molornya produksi Migas di Blok Cepu. Merasa penasaran, lembaga tertinggi Negara itu pun langsung memutuskan untuk membentuk tim untuk mencari penyebab tertundanya produksi migas sekaligus melakukan verifikasi langsung ke lapangan. "Keterlambatan produksi ini telah mempengaruhi pendapatan negara," kata kata Ketua Komisi VII Airlangga Hartarto. Rencananya, Tim yang diberi nama Tim Blok Cepu itu akan beranggotakan 52 orang dan akan diketuai salah satu unsur pimpinan Komisi VII DPR.

Malang nian nasib Blok Cepu. Ladang minyak mentah dan gas yang diprediksi dapat menghasilkan 150 - 160 ribu barel per hari (bph) ini, masih belum memberikan kontribusi yang berarti. Sebaliknya, Negara berpotensi rugi sekitar AS$ 150 juta akibat molornya operasional blok penghasil migas tersebut. Blok yang menjadi salah satu andalan pendapatan bagi Negara ini seharusnya sudah berproduksi sejak tahun 2008.

 

Sejatinya, 'ladang uang' yang terletak di perbatasan Kabupaten Bojonegoro (Jatim) dan Kabupaten Blora (Jateng) itu diyakini bakal mengalahkan produksi PT Caltex Pacific Indonesia yang menghasilkan 417 ribu bph atau 45 persen dari total produksi Indonesia, serta PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya sebesar 150 ribu bph (16,2 persen). Namun, masalah izin pembebasan lahan dengan Bupati Tuban, ditambah lagi pencabutan izin penggunaan lahan hutan dari Departemen Kehutanan, membuat pengelolaan blok tersebut mendek.

 

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR Kamis (14/5) pekan lalu, Kepala BP Migas, R Priyono mengemukakan ada tiga permasalahan dominan yang menghambat produksi migas di Blok Cepu. Hambatan tersebut adalah sdoal pembebasan lahan, bencana alam yang terjadi di Houston, AS sehingga membuat penyelesaian fasilitas produksi menjadi mundur, dan kendala izin dari Bupati Tuban, Jatim. Untuk masalah lahan, sudah kami sampaikan ke Menteri ESDM, katanya. Jadi, tertundanya produksi Blok Cepu bukan hanya kesalahan ExxonMobil, tapi faktor di luar Exxon turut menyumbang masalah ini, tambahnya.

 

Sekedar mengingatkan, Blok Cepu merupakan salah satu ladang yang dulunya 'diributkan' oleh PT Pertamina (Persero) dengan ExxonMobil Oil Indonesia. Pemerintah sempat bingung untuk memilih keduanya. Saat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih dijabat Sugiharto, kedua perusahaan 'ngotot' untuk mengelola blok tersebut. Apalagi saat itu Pertamina dikomandoi Widya Purnama, sosok yang kental dengan rasa nasionalis. Tentunya dia tidak mau salah satu blok minyak tersubur di Nusantara itu dikelola oleh pihak asing.

 

Wajar bila saat itu Widya bersikeras untuk mempertahankan Blok Cepu. Soalnya, secara historis ladang minyak tersebut memang milik Pertamina. Keberadaan Exxon di Blok Cepu lantaran Presiden Soeharto yang ketika itu berkuasa 'menghadiahkan' blok tersebut kepada putra bungsunya, melalui PT Humpuss Patra yang kemudian menjalin kerjasama dengan Exxon.

Tags: