Modus Baru Suap Bupati Labuhanbatu
Utama

Modus Baru Suap Bupati Labuhanbatu

KPK dibuat kesulitan dengan adanya pelaku yang melarikan uang suap.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kiri) dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) memberi keterangan pers penetapan tersangka Bupati Labuhanbatu, Rabu (18/7) malam. Foto: AJI
Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kiri) dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) memberi keterangan pers penetapan tersangka Bupati Labuhanbatu, Rabu (18/7) malam. Foto: AJI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap (PHH) sebagai tersangka kasus korupsi. Ia diduga menerima suap berkaitan dengan proyek-proyek di daerah tersebut. Uang suap diberikan oleh Effendy Sahputra (ES) yang merupakan pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi (BKA).

 

Tidak semua penangkapan yang dilakukan tim lembaga antirasuah ini berjalan mulus. Contohnya dalam kasus ini, KPK menemui berbagai hambatan mulai dari barang bukti dibawa kabur, hingga adanya modus baru berupa sandi atau kode-kode tertentu dan uang suap yang dititipkan.

 

"Dalam OTT kali ini, KPK telah mengungkap modus baru yang dilakukan oleh para pelaku, yaitu modus menitipkan uang dan kode proyek. Beberapa cara-cara baru dilakukan untuk mengelabui penegak hukum," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di kantornya, Rabu (19/7) malam.  

 

Menurut Saut, para pelaku membuat kode yang cukup rumit mengenai daftar proyek dan perusahaan mana saja yang memperoleh jatah dari proyek tersebut. Kode ini merupakan kombinasi angka dari huruf yang jika dilihat secara kasat mata tidak akan terbaca sebagai sebuah daftar "jatah dan fee proyek" di Labuhanbatu.

 

"Siapa (perusahaan) proyeknya apa, itu kita juga baru mengerti setelah kita minta jabarkan (kepada para pelaku)," ujarnya.

 

Selain itu, pihak penerima dan pemberi tidak berada di tempat saat uang berpindah. Dalam kasus ini, uang ditarik di jam kantor oleh pihak yang disuruh pemberi di sebuah bank. Namun uang di dalam plastik kresek hitam tersebut dititipkan pada petugas bank. Barulah selang berapa lama, pihak yang diutus penerima mengambil uang tersebut.

 

Namun modus baru ini tak membuat tim KPK tertipu begitu saja. "Berbagai modus baru telah kami ungkap dalam sejumlah OTT. Kami ingatkan, KPK tidak akan dapat dikelabui dengan modus-modus seperti ini. Sehingga, diharapkan para penyelenggara negara dan pihak swasta lebih baik menghentikan perilaku suap tersebut," pintanya.

 

Uang suap dibawa kabur

Tidak hanya modus baru, dalam penangkapan ini KPK juga dibuat kesulitan oleh ulah salah seorang pelaku bernama Umar (UMR) yang merupakan perantara suap. Dalam kronologis, Saut menceritakan hal kejadian tersebut bermula adanya kecurigaan pemberian uang dari Effendy kepada Pangonal melalui beberapa pihak perantara.

 

Effendy diduga mengeluarkan cek sebesar Rp576 juta, ia menghubungi salah satu pegawai BPD Sumatera Utara berinisial H untuk mencairkan sekaligus menitipkan uang yang nantinya diambil oleh Umar. Sebelum menuju ke kantor BPD, Umar menghubungi salah seorang kepercayaan Effendy berinisial AT.

 

Dari total Rp576 juta yang ditarik dari cek itu, ia mengambil Rp16 juta dan Rp61 juta ditransfer lagi kepada Effendy. Sisanya Rp500 juta dalam kantong kresek dititipkan kepada petugas bank yang kemudian diambil oleh Umar pada sore harinya.

 

"Di luar bank, tim menghadang mobil UMR dan memperlihatkan tanda pengenal KPK, tapi UMR melakukan perlawanan dan hampir menabrak Pegawai KPK yang sedang bertugas saat itu," terang Saut.

 

Terjadilah drama kejar-kejaran antara Umar dan tim KPK. "Saat itu kondisi hujan dan sempat terjadi kejar-kejaran antara mobil tim KPK dan UMR, hingga kemudian UMR diduga berpindah-pindah tempat, sempat pergi ke lokasi kebun sawit dan daerah rawa di sekitar lokasi," sambungnya.

 

Karena kondisi tidak memungkinkan, maka tim memutuskan untuk tidak mengejar Umar dan beralih kepada para pihak lain. Setelah itu, KPK mengamankan H. Thamrin Ritonga di kediamannya serta petugas BPD berinisial H yang dihubungi Effendy untuk pencairan dana itu. Kemudian, secara berturut-turut KPK mengamankam Bupati Pangonal dan ajudan di Bandar Soekarno-Hatta serta Effendy di kediamannya.

 

"Konstruksi perkara, diduga pemberian uang dari ES kepada PHH terkait proyek-proyek di lingkungan kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara TA 2018," lanjut Saut.

 

Meskipun KPK tak berhasil menangkap perantara yang membawa uang suap, namun tim menemukan bukti transaksi sebesar Rp576 juta dalam kegiatan ini yang diduga bagian dari pemenuhan permintaan Bupati sekitar Rp3 milyar. Sebelumnya sekitar bulan Juli 2018 diduga telah terjadi penyerahan cek sebesar Rp1,5 milyar, namun tidak berhasil dicairkan.

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, tidak tertangkapnya Umar yang membawa barang bukti suap bukan berarti penerimaan uang yang diduga dilakukan Bupati Pangonal tidak terjadi. KPK mempunyai bukti-bukti lain dan keterangan saksi yang memperkuat dugaan terjadinya korupsi (suap).  

 

"Uang masih di UMR, ketika tim mengendarai, pihak tersebut berupaya melarikan diri, uang dalam kresek hitam disana. Barang bukti yang diamankan bukti penarikan uang, pihak pegawai bank, dan bukti lain yang tidak meragukan. Modus seperti itu biasa terjadi di Labuhanbatu," jelas Febri.

 

Sebagai pihak yang diduga pemberi Effendy disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

 

Sementara sebagai pihak yang diduga penerima, Pangonal dan Umar disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tags:

Berita Terkait