MLA, Tumpuan Penegakan Hukum Pidana Lintas Negara
Berita

MLA, Tumpuan Penegakan Hukum Pidana Lintas Negara

Pada April ini Indonesia dan negara ASEAN lain akan menggelar pertemuan membahas masalah-masalah pidana.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Penandatanganan persetujuan MLA Indonesia-Swiss (31/8). Foto: Istimewa/KEMENKUMHAM
Penandatanganan persetujuan MLA Indonesia-Swiss (31/8). Foto: Istimewa/KEMENKUMHAM

Pada pertengahan Desember tahun lalu, Polda Bali diinformasikan mendeportasi tiga orang warga Negara asing yang diduga melakukan kejahatan penipuan. AN, warga negara Rusia; HD warga negara Korea Selatan, dan RLS warga negara Ceko, diduga masuk daftar pencarian internasional (red notice) dan masuk ke Bali. Beberapa bulan sebelumnya, aparat Polda Metro Jaya menangkap sejumlah Warga Negara Asing (WNA) pelaku kejahatan skimming di Indonesia. Para pelaku ini berasal dari Bulgaria, Chili, dan Taiwan.

Kini, kejahatan nyaris tak mengenal batas-batas negara lagi. Kejahatan narkotika, misalnya, melintasi wilayah yang luas dan pelaku dari beberapa negara. Kemajuan teknologi telah memungkinkan kejahatan terjadi tanpa harus ada kontak fisik antara pelaku dengan korban. Kejahatan dunia maya (cyber crime) kian marak terjadi dan modusnya pun kian kompleks, membuat aparat penegak hukum makin sulit menemukan pelakunya.

Pelaku dapat juga berpindah-pindah lokasi. Hasil kejahatan pun mungkin saja disimpan di negara berbeda. Untuk menjerat pelaku, suatu negara tak mungkin sendirian menghadapinya. Dengan kata lain dibutuhkan kerjasama lintas negara. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, juga menyinggung pentingnya kerjasama lintas negara saat membuka seminar ‘Arah Pembaruan Hukum Pidana’ di Jakarta, Rabu (28/3) lalu.

(Baca juga: Tindak Pidana Perpajakan Bisa Jadi Pintu Masuk Pengujian MLA).

“Arah kebijakan pembaharuan hukum pidana juga tidak bisa lagi hanya bertumpu pada perkembangan nasional, tetapi juga harus menyesuaikan dengan negara-negara lain dalam penegakan hukum pidana,” ujarnya.

Secara intensif, pemerintah Indonesia sudah lama membicarakan kerjasama dalam masalah pidana itu dengan negara-negara tetangga Asia Tenggara (ASEAN). Pada 23-25 April mendatang digelar pertemuan kesembilan pejabat tingkat tinggi negara-negara ASEAN dalam masalah-masalah pidana (9thMeeting of Senior Officials on the Treaty on Mutual Assistance Criminal Matters) di Yogyakarta.

Apa yang disampaikan Menteri Yasonna bukan tanpa pijakan hukum. UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana sudah menyinggung pentingnya kerjasama antar negara. Konsiderans UU ini tegas menyebutkan “penanganan tindak pidana transnasional harus dilakukan dengan bekerjasama antar negara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana”. Selanjutnya, Indonesia juga telah mengesahkan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters melalui UU No. 15 Tahun 2008.

Selain itu, Indonesia telah menjajaki dan menyepakati perjanjian timbal balik dalam masalah-masalah pidana dengan beberapa Negara. Australia dapat disebut sebagai yang pertama, melalui UU No. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty Between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters). Negara lain yang sudah punya perjanjian MLA dengan Indonesia adalah Swiss, Hong Kong, Tiongkok (China), Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, Iran, dan Negara-negara ASEAN.

Hukumonline.com

Negara-negara yang dipilih sebagai mitra kerjasama adalah negara yang ditengarai sebagai tempat bersembunyi, lokasi menempatkan asset hasil kejahatan, dan locus delicti terjadinya kejahatan siber.

(Baca juga: Dampak MLA-Swiss Terhadap Kejahatan Pencucian Uang Lintas Negara).

Berkaitan dengan itu, Menteri Yasonna mengingatkan bahwa pembaharuan hukum pidana di Indonesia (KUHP) tak bisa dilepaskan dari perkembangan hukum pidana di dunia. Hukum pidana telah berkembang dalam masyarakat internasional. Salah satu wujud nyata pengaruh perkembangan internasional itu adalah pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Pembaharuan KUHP sudah dilakukan sejak 1960-an, dan tim penyusunnya sudah berganti-ganti. Draft RUU KUHP yang terakhir sudah dibahas DPR bersama Pemerintah. Namun hingga kini RUU tersebut belum disetujui menjadi Undang-Undang. Banyak masukan dari masyarakat untuk mengkaji ulang bagian-bagian tertentu dari RUU KUHP, seperti masuknya tindak pidana korupsi dan pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pembaruan hukum pidana perlu dilakukan karena beragam alasan. Pertama, KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia saat ini. Kedua, perkembangan hukum pidana di luar KUHP, baik pidana khusus maupun pidana administrasi telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP. Ketiga, dalam beberapa hal terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam Undang-Undang di luar KUHP. Konsekuensinya, pembaruan hukum pidana harus mencakup tiga pilar: tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), serta pidana dan pemidanaan (punishment and treatment system).

Tags:

Berita Terkait