MKI Turut Persoalkan Perppu MK
Berita

MKI Turut Persoalkan Perppu MK

Juga mempersoalkan bagian konsideran yang dinilai mendelegitimasi MK.

ASH
Bacaan 2 Menit
MKI Turut Persoalkan Perppu MK
Hukumonline

Setelah beberapa advokat mempersoalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Kini, giliran sejumlah warga negara yang mengatasnamakan Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) mendaftarkan uji materi Perppu itu ke MK. Tercatat sebagai pemohon diantaranya Muhammad Joni, Khairul Alwan Nasution, Mukhlis Ahmad, Fakhrurrozi.     

“Tidak ada urgensi keadaan memaksa Perppu MK itu diterbitkan,” ujar salah satu pemohon, Muhammad Joni dalam siaran persnya yang diterima hukumonline, Jumat (25/10).

Setidaknya, ada 13 pasal dalam Perppu MK yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 1 angka 4, 5, Pasal 15 ayat (2) huruf f, Pasal 18B, Pasal 18C ayat (2) huruf d, Pasal 18C ayat (5), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27A ayat (1), (2), (4), (13), (14) termasuk konsiderans menimbang huruf b khususnya frasa “kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi.”

“Konsiderans itu bukan keadaan yang sebenarnya karena MK masih efektif menjalankan tugas konstitusionalnya dan tidak ada delegitimasi kekuasaan MK. Jadi, aneh jika muncul frasa itu,” kata Joni.      

Joni menegaskan MK berwenang menguji Perppu jika mengacu Pasal 7 ayat (1) huruf c UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan. Soalnya, materi Perppu setara dengan undang-undang sesuai yurisprudensi putusan MK No. 138/PUU-VIII/2009.

Dia mengatakan Pasal 15 ayat (2) huruf i yang menyebut syarat hakim konstitusi tidak menjadi anggota parpol tidak menjawab keadaan memaksa dan tidak jelas rasionya. Padahal, selama ini justru eksekutif yang mengusulkan hakim konstitusi dari parpol. Hal ini tidak menjamin imunitas kekuasaan kehakiman.

“Dari sumber primer Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, tidak ada kekuasaan Komisi Yudisial mengusulkan calon hakim konstitusi, tetapi hanya mengusulkan hakim agung. Sehingga secara konsisten tidak ada ruang penafsiran lain,” dalihnya.           

Menurut dia ihwal pengawasan hakim konstitusi oleh KY dalam Perppu itu mengacu pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 harus dimaknai relasi antara KY dan hakim agung MA, bukan hakim konstitusi. Telaah ini sesuai putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan pengawasan hakim konstitusi tidak menjadi wewenang KY.    

Terkait adanya amanat membentuk Sekretariat di KY dengan membuat Peraturan Bersama antara KY dan MK dalam Pasal 27A ayat (13) Perppu itu sama sekali tidak dikenal dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 24A UUD 1945.

Kamis (17/10) pekan lalu, Presiden SBY mengeluarkan Perppu MK. Keluarnya Perppu ini sebagai respon atas ditangkapnya Ketua MK Nonaktif Akil Mochtar oleh KPK pada 2 Oktober malam di rumah dinasnya terkait kasus dugaan suap Pemilukada Gunung Mas Kalimantan Tengah dan Lebak Banten.

Ada tiga substansi isi Perppu tersebut. Pertama, menambah syarat untuk menjadi hakim konstitusi tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai hakim konstitusi. Kedua, Perppu memperjelas mekanisme pengajuan dan proses seleksi hakim konstitusi harus transparan dan partisipatif.

Sebelum ditetapkan presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli yang dibentuk KY. Panel ahli beranggotakan 7 orang yang masing-masing diusulkan oleh unsur MA, DPR, Presiden, dan 4 orang dipilih KY berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.

Ketiga, perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen dan kesekretariatan MKHK berkedudukan di KY. MKHK dibentuk bersama oleh KY dan MK dengan keanggotaan lima orang dari unsur mantan hakim konstitusi, praktisi hukum, dua orang akademisi, dan tokoh masyarakat. 

Tags: