MK Ubah Tiga Prosedur Pencoblosan dalam Pemilu 2019
Berita

MK Ubah Tiga Prosedur Pencoblosan dalam Pemilu 2019

Surat perekaman e-KTP (surat keterangan/suket) bisa untuk memilih di TPS/TPSLN; penyusunan DPTb bisa dilengkapi 7 hari sebelum pemungutan suara dalam kondisi tertentu; dan penghitungan suara di TPS/TPSLN bisa diperpanjang maksimal 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara (pukul 24.00).

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Tak sampai sebulan, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan uji materi Pasal 210 ayat (1); Pasal 348 ayat (4), ayat (9); Pasal 350 ayat (2); Pasal 383 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait prosedur administratif keikusertaan masyarakat dalam Pemilu pada 17 April 2019. Namun, MK hanya mengabulkan pengujian Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (9), Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu yang diputus inkonstitusional bersyarat.

 

Ada tiga norma yang termuat dalam amar putusan bernomor 20/PUU-XVII/2019 yang dibacakan, Rabu (28/3) di ruang sidang MK. Pertama, frasa “kartu tanda penduduk elektronik” dalam Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang dikeluarkan dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain. Artinya, selain e-KTP, surat keterangan (suket) perekaman e-KTP boleh jadi syarat ikut pemilu.   

 

Kedua, frasa “paling lambat 30 (tiga puluh) hari” dalam Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara, kecuali bagi pemilih karena kondisi tidak terduga di luar kemampuan dan kemauan pemilih karena sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara ditentukan paling lambat 7 hari sebelum hari pemungutan suara. Artinya, penyusunan DPT Tambahan (DPTb) bisa dilengkapi 7 hari sebelum pemungutan suara ketika pemilih dalam kondisi tertentu.     

 

Ketiga, frasa “hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara” dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara dan dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara”. Artinya, penghitungan suara di TPS/TPSLN bisa diperpanjang maksimal 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara.

 

  • Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu berbunyi, “Penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat memilih di TPS/TPSLN dengan menggunakan kartu tanda penduduk elektronik.”
  • Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, “Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) dapat dilengkapi daftar pemilih tambahan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.”
  • Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu berbunyi, “Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara.”

 

Mahkamah menilai penyelenggaraan urusan kependudukan oleh pemerintah daerah masih terus berlangsung dan belum semua penduduk Indonesia memiliki e-KTP. Kondisi ini dapat merugikan hak memilih warga negara yang bukan disebabkan kesalahan atau kelalaiannnya. Jika syarat memiliki e-KTP tetap diberlakukan bagi warga negara yang sedang menyelesaikan urusan data kependudukan, hak pilihnya tidak akan terlindungi. Baca Juga: Aturan yang Hambat Hak Memilih Resmi Diuji

 

“Agar hak memilih warga negara tetap dapat dilindung dalam pemilu dapat diberlakukan syarat dokumen berupa surat keterangan perekaman e-KTP. Suket ini diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil. Mahkamah tetap pada keyakinan syarat minimal bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya memiliki e-KTP sesuai UU Administrasi Kependudukan. Jika belum memilikinya, dapat memakai suket perekaman KTP e-KTP,” demikian bunyi pertimbangan MK.

 

Mahkamah tidak mengubah pendiriannya seperti putusan-putusan sebelumnya. Putusan MK sebelumnya memang memperbolehkan warga negara menggunakan sejumlah tanda pengenal diri untuk memilih jika tidak terdaftar dalam DPT. Namun mesti diingat, data kependudukan saat itu belum terintegrasi. Sementara sekarang situasinya berbeda. Integrasi data kependuukan telah dilakukan, sehingga alasan menggunakan identitas lain di luar e-KTP menjadi kehilangan pijakan dan bermuara pada legitimasi pemilu.  

 

Terkait batas waktu pindah dan menjadi Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), MK memutuskan adanya pengecualian bagi pemilih yang pindah memilih karena alasan tertentu seperti sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas saat pemungutan suara dengan batas waktu 7 hari sebelum pemungutan suara. Sebelumnya, pembatasan waktu paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara.

 

“Pemilih dapat melakukan pindah memilih dan didaftarkan dalam DPTb paling lambat 7 hari sebelum hari pemungutan suara. Adapun bagi pemilih yang tidak memiliki keadaan tertentu dimaksud, ketentuan paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara tetap berlaku.”

 

Sementara itu ihwal batas waktu penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara seperti diatur Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu berpotensi tidak terpenuhi penyelenggaraan pemilu serentak, sehingga dapat menimbulkan masalah dan komplikasi hukum yang dapat mengakibatkan dipersoalkannya keabsahan Pemilu 2019. Untuk mengatasi potensi masalah itu, maka ketentuan pembatasan waktu penghitungan suara harus dibuka dengan tetap memperhatikan potensi kecurangan yang mungkin terjadi. Potensi kecurangan akan terbuka jika proses penghitungan suara yang tidak selesai pada hari pemungutan suara, lalu dilanjutkan pada hari berikutnya dengan disertai jeda waktu.

 

Karena itu, menurut Mahkamah, perpanjangan jangka waktu penghitungan suara hanya dapat dilakukan sepanjang proses penghitungan dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN. Perpanjangan hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN yaitu pukul 24.00 waktu setempat, merupakan waktu yang masuk akal. Jika waktu tersebut diperpanjang lebih lama lagi justru akan dapat menimbulkan masalah lain di tingkat KPPS.

 

Mahkamah berpendapat sebagian dalil para Pemohon sepanjang menyangkut pembatasan waktu penghitungan suara di TPS/TPSLN cukup beralasan. Hanya saja, mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko kecurangan, lama perpanjangan waktu penghitungan suara cukup diberikan paling lama 12 jam. Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan potensi tidak selesainya proses penghitungan suara di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara.

 

Permohonan pengujian sejumlah pasal itu diajukan oleh Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini; Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay; Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Feri Amsari; dua orang warga binaan di Lapas Tangerang Augus Hendy dan A. Murogi bin Sabar; dan dua karyawan Muhamad Raziv Barokah dan Sutrisno.

 

Intinya, mereka mempersoalkan lokasi tempat pemungutan suara (TPS), proses penghitungan suara di TPS, pindah lokasi untuk memilih yang berhubungan dengan Daftar Pemilih Tetap Tambahan (DPTb), hingga syarat memilih harus memiliki e-KTP. Sebab, aturan itu secara prosedur administratif berpotensi menghambat, menghalangi, mempersulit hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu serta mengganggu keabsahan pemilu.   

 

Misalnya, ada jutaan pemilih yang potensi haknya hilang karena belum mempunyai e-KTP. Sebab, UU Pemilu mensyaratkan kepemilikan e-KTP untuk dapat terdaftar sebagai pemilih dan melakukan pemungutan suara di TPS/TPSLN. Atau pemilih yang akan pindah TPS berpotensi kehilangan haknya untuk pemilu legislatif di berbagai tingkatan, dan hanya dapat memilih untuk pemilu presiden dan wakil presiden.

Tags:

Berita Terkait