MK Tolak Uji Konstitusionalitas Kewenangan Penyidikan Jaksa, Begini Respons Kejaksaan
Terbaru

MK Tolak Uji Konstitusionalitas Kewenangan Penyidikan Jaksa, Begini Respons Kejaksaan

Kejaksaan mengapresiasi terbitnya Putusan MK No.28/PUU-XXI/2023 yang menolak seluruh permohonan yang menguji konstitusionalitas kewenangan jaksa melakukan penyidikan perkara korupsi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

“Dalam sidang uji materil kewenangan jaksa melakukan penyidikan, khususnya penyidikan tindak pidana korupsi, tidak lepas dari peran penting Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja) sebagai Pihak Terkait dalam Uji Materiil yang selalu hadir dalam persidangan,” ujar Ketut Sumedana dalam keterangannya, Rabu (17/1/2024).

Sejumlah pihak yang mewakili Persaja yang hadir dalam pengujian perkara No.28/PUU-XXI/2023 ini antara lain Dr. Amir Yanto selaku Ketua Umum Persaja, Dr. Reda Manthovani (Jaksa Agung Muda Intelijen), dan Dr. Narendra Jatna (Kepala Kejaksaan Tinggi Bali).

Ketut menjelaskan sejumlah pihak itu telah memberikan masukan dan strategi dalam proses persidangan di MK, termasuk dalam menghadirkan beberapa ahli ketatanegaraan dan ahli pidana dari luar dan dalam negeri.

Sementara dalam pertimbangan putusan, Mahkamah menyebut sebagaimana telah diuraikan dan dijelaskan pada pertimbangan hukum Putusan Makamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 sebagaimana dikutip dalam Sub-paragraf [3.18.1], integrated criminal justice system yang dibentuk oleh KUHAP ditandai dengan adanya prinsip diferensiasi fungsional diantara lembaga penegak hukum yang salah satu tujuannya adalah menciptakan mekanisme saling mengawasi (checks and balances).

Menurut Mahkamah. hal tersebut meskipun secara universal berlaku dalam penanganan tindak pidana umum. Namun pembentuk UU memilih memberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan bagian dari jenis tindak pidana khusus dan/atau tertentu kepada Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

Mahkamah menilai hal tersebut dilakukan karena menurut pembentuk UU penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga/badan saja. Karena itu, dalam hal ini prinsip diferensiasi fungsional yang dianut oleh KUHAP secara faktual dan realita kebutuhan serta kemanfaatan belumlah dapat dilaksanakan secara utuh.

Belum dapat diberlakukannya prinsip diferensiasi fungsional secara utuh, menurut Mahkamah bukan berarti prinsip checks and balances tidak dapat diterapkan. Sebab, norma Pasal 39 UU Pemberantasan Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3) serta Pasal 50 ayat (4) UU KPK jika dibaca secara cermat merupakan norma yang mewajibkan adanya koordinasi antara Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi.

Lebih lanjut, Mahkamah berpendapat pemberian kewenangan kepada Kejaksaan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu selain memberi jaminan kepastian hukum yang adil juga memberi perlindungan hak asasi sekalipun terhadap tersangka.

Dalam kaitan ini, apabila ternyata dari hasil penyidikan tersangka tidak terdapat bukti dan fakta melakukan tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang disangkakan, maka Kejaksaan langsung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Sebaliknya, apabila ternyata terdapat alat bukti yang cukup, maka Kejaksaan melimpahkan perkara ke pengadilan. Artinya, adanya potensi yang dapat menghilangkan fungsi checks and balances sebagaimana yang dikhawatirkan oleh pemohon menjadi tidak relevan sebagai dalil yang dapat dibenarkan.

Tags:

Berita Terkait