MK Tolak Permohonan Eks Dirut PLN
Berita

MK Tolak Permohonan Eks Dirut PLN

Permohonan agar KPK tidak diperbolehkan berkoordonasi dengan BPKP adalah tidak tepat dan bertentangan dengan tujuan pembentukan KPK.

ASH
Bacaan 2 Menit
Eks Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho di pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp
Eks Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho di pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp

MK menolak permohonan pengujian undang-undang yang diajukan eks Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho. Permohonan ini diajukan karena Eddie keberatan atas berlakunya Pasal 6 huruf a UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, berikut penjelasannya. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD di ruang sidang MK, Selasa (23/10).

Mahkamah menilai kewenangan BPKP dan BPK masing-masing telah diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Lagipula, dalam rangka pembuktian tindak pidana korupsi, KPK tidak hanya bisa berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, tetapi juga dengan instansi lain yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam perhitungan keuangan negara guna membuktikan sebuah perkara korupsi.

Mahkamah menegaskan KPK sebagai lembaga peradilan korupsi memiliki kewenangan untuk meminta dan menggunakan informasi tentang kegiatan pemberantasan korupsi kepada instansi terkait untuk kepentingan penyidikan.

Menurutnya, mengenai sah atau tidaknya Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LPKKN) dari BPKP yang digunakan KPK sebagai dasar penyidikan kasus terkait pemohon, tidak berkaitan langsung dengan konstitusional norma pasal yang diuji. Sah atau tidaknya LPKKN merupakan kerugian yang dapat terjadi karena implementasi norma-norma dalam UU KPK.

“Sah atau tidaknya bukti kerugian negara yang disebutkan dalam LPKKN tetap merupakan wewenang mutlak dari hakim pengadilan,” tegas Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan Mahkamah.

Meski KPK memiliki kewenangan diskresioner dalam menggunakan informasi dari lembaga/ pihak lain, dalam perkara ini LPKKN dari BPKP guna menunjang proses penyidikan. Namun, yang berhak untuk menggunakan informasi itu atau tidak, tetap berada di tangan hakim pengadilan.

“Karena itu, ini merupakan ranah implementasi norma bukan masalah konstitusional norma,” tegasnya.

Mahkamah juga berpendapat permohonan agar KPK tidak diperbolehkan berkoordonasi dengan BPKP adalah tidak tepat dan bertentangan dengan tujuan pembentukan KPK. “Hal itu hanya akan memperlemah pelaksanaan fungsi dan kewenangan KPK,” katanya.

Permohonan ini bermula, ketika Mantan Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho yang berstatus terpidana korupsi merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 6 huruf a UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ia mempersoalkan kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara. 

Pasalnya, pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka dan dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek kerjasama outsourcing Roll Out Customer Information System - Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Disjaya dan Tangerang tahun 2004-2006 berdasarkan laporan BPKP. Di tingkat banding, Eddi tetap dinyatakan bersalah.

Pemohon menilai badan yang berwenang menilai/memeriksa adanya kerugian negara pada BUMN adalah BPK, bukan BPKP. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 10 ayat (2) UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK.

Menurutnya, KPK telah salah menafsirkan Pasal 6 huruf a UU KPK berikut penjelasannya.  Dalam permohonan provisinya, pemohon meminta MK memerintahkan pengadilan tinggi untuk menghentikan atau setidaknya menunda pemeriksaan terhadap pemohon sampai adanya putusan di MK.

Pemohon juga meminta MK membatalkan Pasal 6 huruf a berikut penjelasannya sepanjang frasa “Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara” karena bertentangan dengan UUD 1945. 

Tags: