MK Tolak Judicial Review UU BPHTB
Utama

MK Tolak Judicial Review UU BPHTB

Mahkamah Konstitusi menilai pengenaan pajak dalam hak pengelolaan adalah hal yang wajar. Seandainya pemohon judicial review keberatan dengan pajak yang harus dibayarkan, seharusnya diajukan ke pengadilan pajak.

Gie
Bacaan 2 Menit
MK Tolak <i>Judicial Review</i> UU BPHTB
Hukumonline

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan judicial review yang diajukan Marto Sumartono, Direktur Utama PT Mustika Lodan. Marto mengajukan judicial review terhadap pasal 1 ayat(3), pasal 2 ayat(3), pasal 24 ayat(3) dan pasal 24 ayat(2a) Undang-undang No.20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB).

 

Marto mendalilkan, ketentuan-ketentuan dalam UU BPHTB tersebut tidak adil, tidak efisien, dan bertentangan dengan prinsip perekonomian nasional. Selain itu, hak pengelolaan yang terkena pajak tersebut, menurut Marto, bukan menjadi bagian dari hak-hak atas tanah sebagaimana tertera dalam pasal 16 Undang-Undang No.5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

 

Namun, dalam putusannya majelis MK berpendapat lain. Dalam putusan yang dibacakan kemarin (17/12), majelis berpendapat pemberian bea perolehan terhadap hak pengelolaan bertujuan untuk lebih memberi kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat sebagai pelaku ekonomi untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kewajibannya. Sehingga hal tersebut tidak bertentangan dalam UUD 1945.

 

Argumentasi Marto bahwa hak tersebut bertentangan dengan UUPA, juga dipatahkan. Majelis MK mengacu pada pernyataan Kepala Badan Pertanahan Nasional bahwa hak pengelolaan bukan merupakan hak atas tanah yang murni, namun merupakan gempilan hak menguasai dari negara. Pengaturan tentang hak pengelolaan itu sendiri jelas tertuang dalam Penjelasan Umum II UUPA. Pengenaan hak pengelolaan menjadi objek pajak dinilai merupakan hal yang wajar.

 

Selain itu, pemberian hak baru atas tanah  merupakan  kelanjutan dari pelepasan hak yang selanjutnya diterbitkan dalam Surat Keputusan (SK) pemberian hak. SK tersebut kemudian dituangkan dalam Surat Setoran Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

 

Majelis MK berpendapat penerbitan SK tersebut dibenarkan dan sesuai dengan hukum administrasi negara. Sehingga, tidak terlihat adanya pertentangan yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Apabila, Marto keberatan dengan ketentuan pajak yang harus dibayar maka seharusnya ia mengajukan hal tersebut ke pengadilan pajak.

Tags: