MK Tegaskan Tak Bisa Kriminalisasi Delik Kesusilaan
Utama

MK Tegaskan Tak Bisa Kriminalisasi Delik Kesusilaan

Tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan Mahkamah menyebut istilah LGBT (termasuk kumpul kebo/sek bebas). Apalagi dikatakan melegalkan perilaku tersebut. Sebab, kriminalisasi sejatinya kewenangan pembentuk UU.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ahli di ruang sidang MK saat pengujian pasal perzinaan dalam KUHP beberapa waktu lalu. Foto: MK
Ahli di ruang sidang MK saat pengujian pasal perzinaan dalam KUHP beberapa waktu lalu. Foto: MK

Pasca Mahkamah Kontitusi (MK) memutuskan menolak pengujian perluasan pasal perzinaan (Pasal 284), pemerkosaan (Pasal 285), pencabulan sesama jenis (Pasal 292) dalam KUHP, Kamis (14/12) kemarin, tuduhan miring menerpa MK terutama di media sosial. Melalui putusan bernomor 46/PUU-XIV/2016, lembaga pengawal kontitusi ini dituding pro perilaku (menyimpang) seks bebas dan lesbian, gay, biseksual, transgender atau LGBT.        

 

Dalam keterangan pers yang diterima Hukumonline, MK mencoba meluruskan substansi putusan pengujian Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292 KUHP tersebut untuk menghindari kesimpangsiuran pemberitaan sejumlah media. Sebab, putusan yang diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) yang diajukan empat hakim konstitusi ini seolah mengaburkan substansi dan arah/maksud putusan.

 

“Seperti tercantum dalam rilis MK, putusan ini telah dipahami secara tidak tepat oleh sebagian elemen masyarakat. Bahkan, mengaburkan atau bertentangan dengan substansi dan arah putusan,” ujar Juru Bicara MK, Fajar Laksono Suroso saat dikonfimasi, Selasa (19/12/2017).

 

Baca Juga: Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Perzinaan

 

Fajar menerangkan pemahaman yang keliru atas putusan MK ini, salah satunya disebabkan penyajian pemberitaan sejumlah media yang kurang tepat. Efeknya, publik pembaca pun keliru memahami esensi dari putusan itu. Dia contohkan salah satu pemberitaan media berjudul “4 Hakim Konstitusi Setujui Zina dan LGBT Dipidana”.

 

“(Berita seperti itu) Apa yang terpikir di benak pembaca? (Berarti) 5 Hakim Konstitusi tidak setuju zina dan LGBT dipidana. Dari situ muncul kesimpulan: MK Tidak Setuju Zina dan LGBT Dipidana. Padahal, substansi putusan tidak demikian,” sanggahnya.

 

“Apalagi, tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan Mahkamah menyebut istilah LGBT (termasuk kumpul kebo/sek bebas, red). Apalagi dikatakan melegalkan perilaku tersebut.”  

 

Untuk itu, MK perlu memberikan pemahaman yang selurus-lurusnya agar masyarakat tidak terprovokasi isu dan pemahaman yang keliru terhadap putusan MK tersebut. Sebab, permohonan putusan yang meminta perluasaan delik kesusilaan ini sesungguhnya telah memasuki wilayah criminal policy yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (UU) yakni presiden dan DPR.  

 

“Padahal, putusan permohonan tersebut sesungguhnya seluruh hakim konstitusi mempunyai concern yang sama terhadap fenomena yang dipaparkan para pemohon (maraknya perilaku sek bebas dan LGBT, red),” kata dia.  

 

Hanya saja, lima hakim konstitusi berpendapat substansi permohonan Prof Euis Sunarti Dkk sudah menyangkut perumusan tindak pidana baru (delik). Yakni mengubah secara mendasar baik subjek yang dapat dipidana; perbuatan yang dapat dipidana; sifat melawan hukum perbuatan tersebut; maupun sanksi/ancaman pidananya.

 

Hal ini sejalan dengan beberapa putusan MK sebelumnya, seperti putusan MK No. 132/PUU-XIII/2015 yang menolak bulat pengujian Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP (mucikari/germo) yang diajukan Robby Abbas. Pemohon meminta MK memperluas agar tidak hanya orang yang mencarikan jasa prostitusi (mucikari) yang bisa dipidana, tetapi juga bisa mempidanakan pekerja seks komersil dan pengguna jasa prostitusi.

 

Alasannya, MK tidak berwenang merumuskan tindak pidana baru (delik), yang semula perbuatan itu bukan perbuatan pidana, tidak dapat dipidana menjadi perbuatan pidana yang diancam pidana. “Ini bentuk perampasan kemerdekaan orang harus mendapat persetujuan rakyat, dalam hal ini direpresentasikan oleh pembentuk UU (DPR dan Presiden),” tegasnya.

 

Baca Juga: F-PKS Kecewa MK Tolak Perluasan Pasal Perzinaan  

 

Dia mengakui beberapa putusan MK substansinya memberi pemaknaan terhadap norma UU baik memperluas atau mempersempit norma dimaksud. Akan tetapi, hal itu terbatas pada UU yang bukan mengubah sesuatu perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana (kriminalisasi) yang berakibat seseorang dapat dipidana berupa perampasan kemerdekaan seseorang.

 

Dia tegaskan Mahkamah sebenarnya concern terhadap fenomena sosial yang dikemukakan para pemohon. Karena itu, dalam putusannya, Mahkamah sudah menegaskan agar langkah perbaikan perlu dibawa ke pembentuk UU untuk melengkapi pasal-pasal tentang perluasan delik kesusilaan tersebut dalam Rancangan KUHP yang saat ini tengah dibahas.   

 

Seperti diketahui, pengujian pasal-pasal kesusilaan dimohonkan 12 warga negara yang diinisiasi oleh Guru Besar Ketahanan Keluarga dari IPB Euis Sunarti. Para pemohon memang meminta perluasan delik kesusilaan yang diatur dalam Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292 agar sesuai jiwa Pancasila, konsep HAM, nilai agama yang terkandung dalam UUD 1945.

 

Misalnya, memperluas makna perzinaan yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW) yang bisa dipidana, tetapi termasuk hubungan badan bagi pasangan yang tidak terikat pernikahan (free sex) seharusnya bisa dipidana. Sebab, penafsiran secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).

 

Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Artinya, korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi faktanya bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis yang seharusnya bisa dipidana.

 

Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya yang diduga belum dewasa atau tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Harunya, setiap jenis perbuatan cabul “sesama jenis” baik dewasa ataupun belum dewasa (LGBT) seharusnya dapat dipidana.

Tags:

Berita Terkait