MK Tegaskan Perkara PHI Tidak Bisa Diajukan PK
Berita

MK Tegaskan Perkara PHI Tidak Bisa Diajukan PK

Putusan No. 34/PUU-XVII/2019 secara otomatis berlaku sebagai pertimbangan dalam permohonan ini. Sebab, norma Pasal 57 dan Pasal 56 huruf c UU PPHI mempunyai tujuan yang sama yaitu berkaitan agar dapat diajukannya upaya hukum PK terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) dan Pasal 28 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) terkait permintaan upaya hukum peninjauan kembali (PK) dalam perkara perselisihan hubungan industrial (PHI). Permohonan ini diajukan Marion Kova sebagai mantan pegawai Perusahaan Umum Percetakan RI (Perum Peruri) yang telah mengalami PHK di Perum Peruri.

 

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan MK No. 46/PUU-XVII/2019 di ruang sidang MK Jakarta, Rabu (24/10/2019). Baca Juga: Aturan Sidang PHI Diminta Beri Peluang Ajukan PK

Pemohon yang pernah bekerja di Perum Peruri telah diberhentikan (PHK) karena dianggap telah menyebarkan fitnah terhadap para pengurus Perum Peruri sehubungan dengan pengaduan Pemohon kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 4 April 2014 terkait persoalan mesin di Perum Peruri. 

 

Tindakan Pemohon itu, menurut Perum Peruri merupakan tindakan yang dilarang dan harus secara serta-merta dinilai sebagai suatu “kesalahan berat” berdasarkan Pasal 108 ayat (45) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Peruri Periode 2014- 201. Akibatnya, pada 18 Maret 2015 Pemohon dikenakan skorsing dalam rangka pemutusan hubungan kerja oleh Perum Peruri. Selain itu, Pemohon dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan Pasal 310 ayat (2) dan Pasal  311 ayat (1) KUHP (pasal-pasal mengenai penghinaan).

 

Dalam permohonannya, Pemohon berdalih Pasal 57 UU PPHI tidak memberikan kejelasan atau pengaturan mengenai apakah terhadap putusan perkara PHI yang telah berkekuatan hukum tetap juga berlaku ketentuan peraturan induk (hukum acara perdata) mengenai PK sebagaimana diatur Pasal 28 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA dan Pasal 57 UU PPHI. Karena itu, kedua pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

 

Menurut Pemohon, ada ketidakjelasan/kekaburan norma dalam Pasal 57 UU PPHI yang mengakibatkan tertutupnya ruang upaya hukum PK terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara perselisihan hubungan industrial. Padahal, SEMA No. 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2018, telah menyatakan tidak ada satupun ketentuan maupun pembatasan terhadap upaya PK dalam perkara PHI.

 

Bagi Pemohon, pembatasan yang secara tegas diatur UU PPHI hanya perihal tidak dapat diajukannya upaya banding terhadap seluruh perkara PHI dan upaya kasasi untuk perkara perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh. Pemohon bermaksud mengajukan PK terhadap perkaranya, meskipun PHI pada PN Bandung menerima permohonan PK dan memori PK dari Pemohon.

 

Namun, MA menolak untuk memeriksa, memutus dan mengadili permohonan PK dengan alasan telah terbit SEMA No. 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu yang ditafsirkan MA adalah menutup upaya hukum PK yang ada dalam Pasal 57 UU PPHI.

 

Pasal 57 UU PPHI menyebutkan, “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU ini.”

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan No. 34/PUU-XVII/2019 secara mutatis mutandis (otomatis) berlaku sebagai pertimbangan dalam perkara ini. Sebab, dalam pengujian Pasal 56 UU PPHI, Mahkamah menyatakan pasal itu konstitusional. Mahkamah berpendapat norma Pasal 57 dan Pasal 56 huruf c UU PPHI mempunyai tujuan yang sama yaitu berkaitan agar dapat diajukannya upaya hukum PK terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial.

 

“Berlaku sifat mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukumnya. Dalam permohonan a quo dinyatakan Pasal 57 UU PPHI (juga) adalah konstitusional,” ujar Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.

 

Majelis MK pun mengutip alasan pertimbangan Mahkamah dalam Perkara No. 34/PUU-XVII/2019 yakni untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi.

 

Adapun putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, menurut Mahkamah merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat diajukan kasasi ke MA.

 

Menurut Mahkamah, Pasal 34 UU MA memang memungkinkan diajukannya PK terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun, tidak boleh diartikan bahwa setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum dapat diajukan PK. Sebab, Pasal 34 UU MA bersifat umum (lex generalis) yang dimaknai PK, dikecualikan oleh ketentuan UU yang bersifat khusus (lex specialis) baik perkaranya maupun karena syarat-syarat yang ditentukan untuk dapat diajukan PK.

Tags:

Berita Terkait