MK Tegaskan Pasal Makar dalam KUHP Tetap Konstitusional
Berita

MK Tegaskan Pasal Makar dalam KUHP Tetap Konstitusional

Hanya saja, penegak hukum harus berhati-hati menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan makar dan tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 139 a, Pasal 139 b, dan Pasal 140 KUHP terkait definisi “makar” yang dimohonkan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (Institute for Criminal Justice Reform(ICJR) dengan nomor perkara 7/PUU-XV/2017.

 

Sekaligus menyatakan tidak menerima dan menolak pengujian Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP yang dimohonkan warga Papua yakni Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay yang merupakan korban yang pernah dipidana dengan pasal-pasal makar dengan nomor perkara 28/PUU-IV/2017.

 

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor 7/PUU-XV/2017 di Gedung MK Jakarta, Rabu (31/1/2018).

 

Dalam permohonannya, ICJR menilai pengertian makar sendiri sebenarnya diartikan sifat suatu perbuatan, bukan serangan (aanslag). Seperti, makar menggulingkan pemerintahan yang sah, makar untuk memisahkan diri dari wilayah Indonesia, makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden. Dengan begitu, apabila makar diartikan sebagai serangan mesti memenuhi unsur adanya serangan nyata dalam konteks tindakan kekerasan, seperti mempersiapkan adanya senjata, mobilisasi massa.

 

Atas dasar itu, ICJR meminta agar kata “makar” dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sama seperti aanslag atau serangan nyata. Hal ini diharapkan, aparat penegak hukum memiliki indikator yang jelas untuk membedakan mana yang benar-benar makar dan tidak. Kalau masyarakat atau mahasiswa demo meneriakan orasi ‘turunkan presiden’ nanti bisa disebut makar. Jadi, harus dibedakan mana ekspresi atau makar.

 

Dalam pertimbangannya, menurut Mahkamah tidak ditemukan konsep rumusan definisi makar yang didalilkan Pemohon (ICJR). Argumentasi pemohon yang memaknai kata “makar” dalam pasal-pasal KUHP sebagai “serangan” tanpa disertai formulasi yang jelas tentang unsur-unsur tidak pidananya sulit diterima Mahkamah.

 

Bagi Mahkamah bila definisi “makar” dimaknai sebagai serangan tanpa dikaitkan dengan rumusan norma lain yang dimohonkan pengujian terutama Pasal 87 KUHP justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Akibatnya, penegak hukum hanya dapat bertindak terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana makar setelah ada serangan dan menimbulkan adanya korban.

 

Menurut Mahkamah delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku (makar) telah dapat dilakukan tindakan oleh penegak hukum. “Cukup bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku makar, tidak perlu adanya perbuatan yang nyata-nyata terdapat serangan,” tutur Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan.

 

Tak hanya itu, tidak terdapat koherensi dan penalaran yang wajar bahwa norma pasal-pasal makar dalam KUHP bertentangan dengan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaan seseorang, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. “Karena itu, pengaturan pasal-pasal a quo telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.”

 

Hanya saja, Mahkamah mengingatkan penegak hukum harus bertindak hati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar atau kejahatan terhadap negara ini. “Sehingga, tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat (berekspresi) dalam negara demokratis. Atas dasar seluruh pertimbangan ini, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegasnya. (Baca Juga: Pakar Pidana Ini Minta Delik Makar Perlu Ditinjau Ulang)

 

Sementara pertimbangan putusan No. 28/PUU-IV/2017 disebutkan dalil para Pemohon mengenai norma yang diuji dapat digunakan mengkriminalisasi warga negara yang menyuarakan demokrasi sama sekali tidak beralasan menurut hukum. “Kekhawatiran para Pemohon ada penyalahgunaan penerapan pasal-pasal a quo dalam kasus konkrit, itu sepenuhnya kewenangan hakim yang mengadili perkara kasus konkrit,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman.  

 

Atas dasar itu, dalil Pemohon sepanjang berkenaan norma Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 KUHP telah dipertimbangkan dan diputus melalui Putusan MK No. 7/PUU-XV/2017. Sedangkan, dalil para Pemohon tentang pemberontakan dan permufakatan jahat untuk melakukan makar dan pemberontakan yang diatur Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak beralasan menurut hukum.

 

Tidak memberi batasan   

Usai persidangan, Kuasa Hukum warga Papua, Iwan Niode menilai putusan MK ini sangat terlihat perbedaan pemahaman dan pendapat antara Mahkamah dan Pemohon mengenai persoalan kasus yang dialami dikaitkan kewenangan aparat penegak hukum dalam hal menafsirkan pasal-pasal makar. “Kekhawatiran putusan MK ini membuat para aparat penegak hukum dapat sewenang-wenang dan memberangus teman-teman kita yang dianggap melakukan tindak pidana makar,” kata dia di Gedung MK.

 

Kuasa Hukum ICJR, Erasmus Napitupulu menilai Mahkamah tidak memberikan batasan yang jelas dalam putusannya mengenai definisi apa itu makar. Mulai dari indikator, persiapan makar, dan pelaksanaan makar itu sendiri. Mahkamah hanya memberi kewenangan pada hakim pengadilan yang memerika perkara makar untuk menafsirkan persiapan makar tersebut.

 

“Ini yang menjadi kekhawatiran ICJR sejak lama. Karena banyak hakim yang tidak konsisten menafsirkan pasal makar itu,” kata Eras.

 

Menurutnya, apabila definisi makar sebagaimana didalilkan ICJR, perlu dibatasi apa itu makar. Sebab, tidak semua tindakan yang bermakna serangan dan harus dipidana. Dia mencontohkan bila seseorang hanya berdoa, menyiapkan makanan, dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di Papua yang berniat untuk merdeka, seharusnya belum dianggap makar.

 

“Penegak hukum harus membuktikan ada persiapan, permulaan perbuatan terhadap apa yang dilakukan. Kecuali memang bila niat, permulaan perbuatan, dan sudah ada korban baru bisa dikenakan pasal makar.”

 

“Yang jelas, putusan MK ini (masih) membuat kebebasan berekspresi masyarakat menjadi tertekan dan (potensi) kesewenang-wenangan akan terus terjadi dan tidak ada perubahan.” 

Tags:

Berita Terkait