MK Tawarkan Dua Model Outsourcing
Utama

MK Tawarkan Dua Model Outsourcing

Walaupun pesimis, Pemohon berharap putusan ini dapat diimplementasikan di lapangan.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Majelis MK kabulkan sebagian permohonan AP2ML tentang ketenagakerjaan. Foto: SGP
Majelis MK kabulkan sebagian permohonan AP2ML tentang ketenagakerjaan. Foto: SGP

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik (AP2ML) Didik Suprijadi yang menguji Pasal 59 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, Mahkamah justru menyatakan frasa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat.

“Frasa ‘…PKWT dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja,” kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD di ruang sidang MK, Selasa (17/1).

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi Konstitusi.

“Mahkamah harus memastikan hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja dan model penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan perusahaan,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

Menurut Mahkamah, jaminan dan perlindungan tidak dapat dilaksanakan dengan baik hanya melalui perjanjian kerja yang mengikat antara perusahaan dan pekerja berdasarkan PKWT. Sebab, posisi pekerja berada dalam posisi tawar yang lemah akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga kerja. Karena itu, untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja dengan mengabaikan hak-hak pekerja, Mahkamah perlu menentukan dua model bentuk perlindungan hak-hak pekerja.  

Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Karena itu, melalui model pertama, hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing dianggap konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT secara tertulis. Sementara, model kedua, dalam hal hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing berdasarkan PKWT, pekerja harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan.

“Prinsip ini dalam praktik telah diterapkan dalam hukum ketenagakerjaan, dalam hal perusahaan diambil alih oleh perusahaan lain. Hak-hak pekerja dari perusahaan yang diambil alih perusahaan lain tetap dilindungi,” tutur Sodiki.   

Mahkamah menjelaskan ketika perusahaan pemberi kerja mengalihkan pekerjaannya kepada perusahaan  outsourcing baru, selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan outsourcing yang baru itu harus melanjutkan kontrak kerja yang ada sebelumnya tanpa perubahan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.  

“Aturan ini tidak hanya memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan,  tetapi juga memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya. Hal ini untuk menghindari pekerja  outsourcing  tidak diperlakukan sebagai pekerja baru. Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tetap dianggap ada dan diperhitungkan.”

Apabila pekerja outsourcing diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial (PHI) sebagai sengketa hak. “Melalui prinsip pengalihan perlindungan itu, kehilangan atau terabaikannya hak-hak konstitusional pekerja outsourcing dapat dihindari,” kata Sodiki.

Selain itu, untuk menghindari perbedaan hak (yang mencolok) antara pekerja perusahaan pemberi kerja dan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis, maka perusahaan pemberi kerja harus mengatur agar pekerja outsourcing itu menerima fair benefits and welfare  tanpa diskriminasi dengan pekerja perusahaan pemberi kerja seperti ditentukan dalam Pasal 64 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan.   

Implementasi Sulit

Dimintai tanggapannya, Didik mengaku menerima dan menghargai putusan MK ini. Namun, ia memperkirakan putusan ini masih sulit dilaksanakan dalam praktik karena selama ini pengawasan (Disnakertrans, red) yang dilakukan pemerintah sangat lemah. “Tetapi, saya sangat berharap implementasi isi putusan ini sesuai praktiknya di lapangan,” harapnya. 

Untuk diketahui, pengujian Pasal 59 (1) UU Ketenagakerjaan ini dimohonkan oleh Ketua AP2ML Didik Suprijadi. Ia menilai setiap pelaksanaan item pekerjaan di PT PLN termasuk pekerja pembaca meteran merupakan pekerjaan yang bersifat tetap karena bersifat terus-menerus. Faktanya, seluruh petugas pembaca meteran berstatus tenaga kontrak yang sudah bekerja puluhan tahun.

Menurutnya, sistem kontrak yang diperbarui setiap satu tahun sekali mengakibatkan tidak dipertimbangannya masa kerja seseorang. Alhasil, masa kerja 20 tahun tidak ada bedanya dengan pekerja baru. Sebab, setiap memasuki kontrak baru, masa kerja seseorang dihitung nol tahun ketika perusahaan outsourcing berganti-ganti perusahaan. Karena itu, Pasal 59 ayat (1) dan ayat (8) UU Ketenagakerjaan dianggap bertentangan UUD 1945.

Tags: