MK Serap Pengalaman E-Voting di Negara Lain
Berita

MK Serap Pengalaman E-Voting di Negara Lain

Pemungutan suara dengan sistem komputer dinyatakan inkonstitusional oleh Federal Constitutional Court di Jerman, karena sistem ini dipandang mempersulit pemilih memantau suara yang telah mereka berikan.

Rzk
Bacaan 2 Menit
MK serap pengalaman E-Voting di negara lain-Foto: Sgp
MK serap pengalaman E-Voting di negara lain-Foto: Sgp

Di sebuah lapangan, tampak warga antri memasuki bilik suara. Mereka tampak tertib menunggu giliran dipanggil oleh petugas tempat pemungutan suara. Begitu giliran tiba, setiap warga langsung menentukan pilihannya dengan cara mencontreng –atau mencoblos jika merujuk pada praktek sebelumnya-. Inilah gambaran suasana hari pemungutan suara di Indonesia, baik itu pemilu tingkat nasional maupun daerah (pemilukada).

 

Kondisinya berbeda 180 derajat di Jerman. Negeri yang sebelumnya terbelah menjadi Jerman Barat dan Timur ini sempat menerapkan sistem pemungutan suara berbasis komputer atau lazim disebut e-voting. Dengan sistem ini, warga tidak perlu mengantri di tempat pemungutan suara. Mereka cukup duduk manis di rumah di depan komputer, lalu menggunakan hak pilihnya.

 

Namun, penerapan e-voting di Jerman tidak berjalan mulus. 3 Maret 2009, Federal Court Constitutional Jerman mengeluarkan putusan yang menyatakan e-voting inkonstitusional. Sistem ini dipandang bertentangan dengan prinsip pemilu yang bersifat publik (the public nature of elections). Prinsip ini, menurut putusan Federal Court Constitutional, merupakan nilai fundamental konstitusi dalam kerangka demokrasi dan penegakan hukum.

 

“Kita hidup di dunia yang telah didominasi oleh alat-alat elektronik. (Hal ini) juga berlaku untuk regulasi pemilu yang mustahil menafikkan perkembangan ini,” urai Rudolf Mellinghoff, Hakim Agung pada Federal Court Constitutional, ketika menyampaikan makalah dalam acara Konferensi Hakim Konstitusi se-Asia, Rabu (14/7).

 

Rudolf menyiratkan bahwa keterlibatan teknologi tidak bisa dihindari dalam proses pemilu. Namun, Federal Court Constitutional memandang, khusus untuk pemungutan suara, sistem komputer tidak bisa menjamin akurasi hasil pemilu. Padahal, kata Rudolf, dalam sistem demokrasi perwakilan, suara pemilih sangat menentukan legitimasi hasil pemilu.

 

“Suara warga negara dalam pemilihan legislatif adalah elemen esensial dari proses perwujudan aspirasi politik rakyat kepada lembaga negara, dan sekaligus sebagai fondasi bagi integrasi politik,” kata Rudolf.

 

Federal Court Constitutional sebenarnya masih membuka “pintu” bagi penerapan e-voting. Hanya saja syarat yang harus dipenuhi adalah e-voting harus menerapkan sistem pengecekan hasil pemilu yang sangat mudah bagi para pemilih, bahkan tanpa perlu bantuan ahli sekalipun. Setiap pemilih, jelas Rudolf, harus diberi akses untuk memastikan bahwa suara mereka benar-benar terdata.

 

Menariknya, Federal Court Constitutional tidak hanya menyatakan e-voting inkonstitusional. Sebuah solusi juga ditawarkan setelah Federal Court Constitutional meminta pendapat sejumlah ahli. Solusi itu yang juga telah diterapkan di sejumlah negara adalah penerapan sistem Voter Verified Paper Audit Trail (VVPAT).

 

Dengan sistem VVPAT, ­e-voting dilaksanakan dengan sebuah alat yang nantinya setelah pemilih menggunakan hak pilihnya akan mendapat bukti tertulis (print out). Teknisnya, pemilih akan menggunakan semacam pensil elektronik untuk menentukan pilihan, lalu akan keluar bukti tertulis yang di dalamnya tertera pilihan si pemilih.

 

Dalam makalahnya, Rudolf juga mengutip laporan seorang petugas Central Intelligence Agency (CIA) ketika memberi keterangan di hadapan US Election Assistance Commission di Florida terkait pelaksanaan pemilu Amerika Serikat pada tahun 2000. Petugas CIA itu mengatakan “Ketika pemilihan melibatkan elektronik dan komputer, maka akan ada peluang penjahat melakukan kejahatan”.

 

Petugas CIA itu juga membeberkan sejumlah keanehan yang ditemukan CIA dalam penyelenggara pemilu di sejumlah negara. Dalam proses referendum pemberhentian Presiden Hugo Chavez di Venezuela, misalnya, ditemukan keanehan karena Chavez menang di wilayah yang sebenarnya bukan wilayah pendukungnya. Kejadian serupa juga muncul di Makedonia dan Ukraina.

 

Dalam siaran pers yang diterbitkan MK, terungkap bahwa sejumlah negara mencanangkan penerapan e-voting dalam pemilu mereka masing-masing. Contohnya, Malaysia dan Filipina yang berencana meniru praktek di Venezuela dan India. “Penggunaan teknologi memang dimungkinkan tentu dengan syarat tidak mengorbankan esensi dan asas-asas pemilu,” tulis MK dalam siaran pers.

 

Setelah mendengar pengalaman negara-negara lain, lalu apakah mungkin e-voting diterapkan di Indonesia? Sebelum menjawab ini, sebaiknya kita sodorkan terlebih dahulu pertanyaan, apakah warga di daerah pelosok seperti Papua dan lain-lain mengenal komputer atau bahkan teknologi?     

 

 

 

Tags: