MK Putuskan Seluruh Partai Politik Harus Verifikasi Faktual
Berita

MK Putuskan Seluruh Partai Politik Harus Verifikasi Faktual

Perludem menilai MK tidak yakin dengan putusannya sendiri terkait pengujian norma ambang batas presiden. MK seolah-olah bukan sebagai penguji UU berdasarkan konstitusi, tetapi sebagai pengamat politik yang berbicara “presidensial rasa parlementer”. Lalu bicara penyederhanan parpol.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Salah satu tahapan Pemilu. Foto: SGP
Salah satu tahapan Pemilu. Foto: SGP

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 173 ayat (1) dan (3), Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan Partai Idaman. Dalam putusannya, MK hanya mengabulkan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menghapus frasa “telah ditetapkan” dalam pasal itu bertentangan dengan UUD 1945.

 

Artinya, pasca putusan MK ini, seluruh partai politik harus diverifikasi termasuk parpol lama yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai peserta pemilu 2014 (parpol yang ada di DPR saat ini) untuk menjalani verifikasi faktual agar lolos sebagai peserta Pemilu 2019.

 

“Menyatakan frasa ‘telah ditetapkan’ dalam Pasal 173 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat serta menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan Perkara No. 53/PUU-XI/2017 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (11/1/2018).

 

Sebelumnya, Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.” Sementara, Pasal 173 ayat (3) berbunyi, "Partai politik yang telah lulus verilikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu".

 

Dan, bunyi Pasal 222 menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

 

Permohonan lain menguji norma yang sama, dalam putusan MK mengacu pada putusan MK  No. 53/PUU-XV/2017. Yakni, perkara No. 59/PUU-XV/2017 yang diajukan Effendi Gazali yang mempersoalkan Pasal 222; perkara No. 60/PUU-XV/2017 yang diajukan Sekjen Partai Solidaritas Indonesia yang mempersoalkan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (2) huruf e dan ayat (3).

 

Selain itu, perkara No. 61/PUU-XV/2017 yang diajukan Kautsar dan Samsul Bahri mempersoalkan Pasal 557; perkara No. 62/PUU-XV/2017 yang diajukan Partai Persatuan Indonesia (Hary Tanoesoedibjo) yang mempersoalkan Pasal 173 ayat (3); Perkara No. 44/PUU-XV/2017 yang diajukan Habiburokhman mempersoalkan Pasal 222.

 

Intinya, dalam permohonanya, para pemohon mengalami kerugian secara konstitusional dengan berlakunya Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah ditetapkan”, Pasal 173 ayat (3) dan Pasal 222. Menurutnya, para pemohon khawatir berpotensi tidak lolos dalam verifikasi faktual baik verifikasi parpol maupun verifikasi calon presiden tahun 2019 oleh KPU. Para pemohon memohon meminta kepada Mahkamah agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

 

Anggota Majelis MK Manahan Sitompul menuturkan MK pernah memutus perkara No. 52/PUU-X/2012. Menurut putusan ini, MK telah menyatakan verifikasi dilakukan kepada seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014. Tetapi, guna menghindari adanya perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta pemilu 2019, maka norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu.

 

“Sebab, perlakuan berbeda bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Pertimbangan ini relevan dan harus diberlakukan seluruh partai politik calon peserta pemilu 2019. Bahkan, tidak hanya pemilu 2019, melainkan untuk pemilu anggota DPR dan DPRD (legislative) dalam pemilu periode selanjutnya," kata dia saat membacakan pertimbangan putusan.

 

Bagi Mahkamah, perlakuan berbeda bukanlah sesuatu yang selalu dilarang atau bertentangan dengan UUD 1945. Namun, dalam ranah (konteks) kontestasi politik seperti pemilu, perlakuan berbeda sama sekali tidak dapat dibenarkan. Karena itu, Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu juga bertentangan UUD 1945 khususnya frasa “tidak diverifikasi ulang” yang dimohonkan pemohon yang memberi pengecualian kepada kepada partai politik peserta pemilu 2014.

 

“Adanya perlakuan berbeda ini menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan pemilu yang tidak memberi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sesuai Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) UUD 1945,” dalihnya.

 

Hilangnya frasa tersebut mengakibatkan seluruh norma dalam Pasal 173 ayat (3) kehilangan relevansinya untuk dipertahankan. Maka, rumusan norma Pasal 173 ayat (3) menjadi sama dengan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu. Mahkamah pun menghimbau agar Peraturan KPU terkait verifikasi parpol peserta pemilu harus mengatur secara lengkap mekanisme dan teknis pelaksanaan verifikasi faktual terhadap semua persyaratan yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu.

 

“Verifikasi menyeluruh, KPU bisa memastikan tidak ada celah masalah yang bisa jadi persoalan di kemudian hari. Artinya, Peraturan KPU tidak hanya mengatur verifikasi faktual menyangkut jumlah dan susunan pengurus partai politik tingkat pusat, tingkat provinsi, domisili kantor tetap tingkat provinsi, jumlah dan susunan pengurus partai politik di tingkat kebupaten/kota, domisili kantor tetap tingkat kabupaten/kota. Tetapi juga menyertakan pengaturan verifikasi kepengurusan partai politik di semua tingkatan dari tingkat pusat, provinsi, tingkat kabupaten/kota, hingga kecamatan harus melalui verfikasi faktual yang metode dan mekanismenya diatur dalam Peraturan KPU,” lanjut Hakim I Dewa Gede Palguna. (Baca juga: PBB Resmi Gugat Aturan Ambang Batas Calon Presiden)

 

Sementara terkait pengujian Pasal 222 terkait ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden atau presidential threshold (PT). Anggota Majelis, Maria Farida menyebut MK tetap mengacu pada putusan sebelumnya yakni putusan No. No. 51-52-53/PUU-VI/2008 yang tetap relevan.

 

Mahkamah beralasan ambang batas pengusulan calon presiden dan wakil presiden sama sekali tidak dikaitkan dengan keberadaan norma UU yang mengatur tentang dipisahkannya penyeleggaraan pemilu legislative dan pilpres. Disatukannya keduanya justru mewujudkan sistem pemerintahan yang ideal, sehingga mencegah praktik ciri-ciri presidensial. (Baca juga: Alasan Pemerintah Soal Ambang Batas dan Verifikasi Parpol)

 

Tidak hanya itu, kata Maria, adanya ambang batas pencalonan presiden mencerminkan legitimasi sosio-politik representasi masyarakat yang berbhineka. Dan Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD dan tidak bersifat diskriminasi. Sebab, disebut diskriminasi apabila melakukan pembedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik dll.

 

Dua Hakim Dissenting Opinion

Dua dari sembilan hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait Pasal 222 UU Pemilu ini yakni Saldi Isra dan Suhartoyo. Keduanya, menyoroti soal ambang batas yang memberi ketidakadilan pada partai politik (parpol) baru yang tak bisa mengajukan calon presiden-wakil presiden dan ada kerancuan sistem presidensial dan parlementer.

 

Suhartoyo menilai ketentuan PT 20 persen itu bertentangan dengan Pasal 22E, Pasal 27, dan 28 UUD 1945 yang semestinya menjamin hak yang sama kepada setiap partai politik peserta pemilu yang mengajukan capres dan cawapres. “Setiap parpol peserta pemilu semestinya memiliki hak untuk mengajukan atau mengusulkan pasangan capres-cawapres,” ujar hakim Suhartoyo.

 

Dia juga menganggap penggunaan hasil Pemilu Legislatif sebelumnya untuk menentukan ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres akan merusak logika sistem presidensial. Sebab, dalam sistem presidensial mandat rakyat diberikan secara terpisah, masing-masing kepada legislatif dan eksekutif. Sementara, jika menggunakan hasil pemilu legislatif untuk menentukan ambang batas di eksekutif bentuk pemerintahan yang memiliki sistem parlementer. 

 

“Artinya, mempertahankan ambang batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif jelas memaksakan logika dari sistem parlementer ke presidensial,” terang dia.

 

Hakim Kontitusi Saldi Isra melanjutkan penetapan ambang batas ini juga tak memberi kepastian bagi parpol peserta pemilu. Sebab, tak ada jaminan bagi parpol peserta pemilu 2019 yang berasal dari parpol peserta pemilu 2014 dapat memiliki jumlah kursi atau suara sah yang sama dengan hasil pada pemilu 2014.

 

“Argumentasi (soal PT 20 persen) sulit dipertahankan karena dinamika politik dari pemilu ke pemilu berikutnya sangat mungkin berubah secara drastis,” kata dia.

 

Menurutnya, ambang batas ini tidak adil karena membuat parpol baru peserta pemilu tidak bisa mengajukan pasangan capres-cawapres. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada referensi masyarakat terhadap calon pemimpinnya. “Dengan menghapus ambang batas ini, maka jumlah capres-cawapres pada pemilu 2019 akan lebih beragam daripada pemilu 2014,” katanya.

 

Di luar persidangan, Ketua Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie mengucapkan terima kasih karena MK telah mengabulkan permohonan verifikasi faktual partai politik. Saat ini seluruh partai politik baik yang telah memiliki kursi di DPR maupun partai baru seperti PSI diverifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu 2019.

 

“Ini menjadi terobosan, adanya perubahan demografi untuk meningkatkan standar demokrasi. Yang tidak hanya memverifikasi administrasi dan faktual oleh KPU di tingkat pusat, tetapi juga hingga tingkat kecamatan,” kata dia.

 

Berbeda, Direktur Perludem, Titi Anggraini menilai MK tidak yakin dengan putusannya sendiri. MK seolah-olah bukan sebagai penguji UU berdasarkan konstitusi, tetapi sebagai pengamat politik yang berbicara “presidensial rasa parlementer”. Lalu bicara penyederhanaan politik. “MK sama sekali tidak menyentuh rasionalitas dan relevansi ambang batas pencalonan presiden, MK terlihat gamang dan melompat-lompat logikanya dan keluar kemana-mana tafsiranya dalam pertimbangannya,” kritiknya.

 

Namun, mengenai dissenting opinion yang dilakukan dua hakim konstitusi, ia menilai pendapat ini justru memiliki logika yang objektif dan tidak melompat-lompat terkait presidensial threshold.

 

“Argumentasi Suhartoyo dan Saldi Isra sangat kuat dan meyakinkan fokus pada hak warga negara. Serta, berbicara pula open legal policy yang mengadung tiga elemen moralitas, rasionalitas, dan keadilan. Argumen ini tentu lebih berbobot dari sisi konstitusi,” katanya. (Baca juga: Aktivis Pemilu Turut Gugat Ambang Batas Pencalonan Presiden)

Tags:

Berita Terkait