MK Putus Sengketa Pilkada Perdana
Berita

MK Putus Sengketa Pilkada Perdana

Permohonan sengketa pilkada Bupati Lampung Utara dinyatakan tidak dapat diterima. Pasalnya, meski revisi UU Pemda telah mengatur sengketa pilkada menjadi kewenangan MK, sampai saat ini belum ada tindakan hukum pengalihan kewenangan itu dari MA ke MK.

Ali
Bacaan 2 Menit
MK Putus Sengketa Pilkada Perdana
Hukumonline

Abi Hasan Mu'an bingung. Advokat asal Lampung ini diserahkan kuasa oleh Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Lampung Utara, Bachtiar Basri dan Slamet Haryadi, untuk ‘menggugat' hasil perhitungan suara yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lampung Utara. Bersama keempat rekannya, Abi tergabung dalam Tim Advokasi Bachtiar-Slamet. Mereka menggugat terkait adanya dugaan penggelembungan suara.

 

Persoalannya, Abi Hasan masih ragu siapa sebenarnya yang berwenang memutus sengketa pemilihan kepala daerah. Bila mengacu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa pilkada merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA). Namun, UU No. 12 Tahun 2008 yang merevisi UU Pemda, menyatakan pengalihan kewenangan tersebut dari MA ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sayangnya, pengalihan kewenangan tersebut masih multitafsir.

 

Pasal 236 C revisi UU Pemda menyatakan Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada MK paling lama 18 bulan sejak UU ini diundangkan. Frase ‘paling lama' itu memang sempat menjadi persoalan. Pasalnya, ada beberapa kalangan yang menafsirkan bila disebut ‘paling lama' maka pengalihan kewenangan ke MK bisa lebih cepat dari itu.

 

Abi tak mau ambil resiko. Ia mendaftarkan sekaligus gugatan sengketa pilkada ini ke Pengadilan Tinggi Tanjung Karang (pengadilan di bawah MA) dan MK. Saat ini, perkara juga masih berjalan di PT Tanjung Karang. Mungkin karena keterbatasan informasi yang kita miliki, kami khawatir MA sudah mengalihkan ke MK, tuturnya memberi alasan pengajuan perkara ini ke MK, Rabu (24/9). Namun, bila MA belum mengalihkan maka ia akan mencabut permohonan ini.  

 

Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Mahfud MD mendengarka keterangan Abi secara seksama. Mahfud bahkan menskors sidang selama dua puluh menit agar majelis bisa menggelar rapat permusyawaratan hakim untuk membahas persoalan ini. Selang dua puluh menit, Majelis Hakim Konstitusi kembali melanjutkan sidang. Agendanya, langsung membacakan putusan. Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima, tegas Mahfud.

 

Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar menjelaskan pendapat mahkamah terkait frase paling lama 18 bulan yang menjadi persoalan tersebut. Menurut MK, lanjutnya, frase tersebut dimaksudkan bahwa peralihan tersebut dapat dilakukan sebelum berakhirnya tenggat waktu 18 bulan. Namun, hal ini perlu ada tindakan hukum pengalihan kewenangan dari MA ke MK secara nyata.

 

Konsekuensi yuridisnya, jika tidak ada tindakan hukum pengalihan, maka pengalihan kewenangan tersebut, terjadi dengan sendirinya (demi hukum) setelah habis tenggat waktu 18 bulan, tutur Mukhtie saat membacakan pertimbangan Mahkamah. Artinya, pengalihan tersebut otomatis akan terjadi pada Oktober 2009, delapan belas bulan sejak UU ini diterbitkan pada 24 April 2008.  

 

Mukthie menambahkan bila MK tetap menerima perkara sengketa pilkada Lampung Utara ini tanpa adanya pengalihan kewenangan dari MA maka akan timbul kekacauan. Dapat mengakibatkan terjadinya dualisme pemeriksaan dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih, ketidakpastian, dan nebis in idem, ujarnya.

 

Kekhawatiran dualisme pemeriksaan memang sempat menyeruak. Juru Bicara MA Djoko Sarwoko terlihat kaget ketika dikonfirmasi MK akan menggelar sidang sengketa pilkada. Saat ini MA masih menangani perkara sengketa pilkada, tuturnya, kemarin, Selasa (23/9). Saat ini, Djoko tercatat sebagai anggota majelis sengketa pilkada Sumatera Selatan yang baru saja didaftarkan.

 

Djoko menilai pengalihan kewenangan ke MK baru bisa dilakukan setelah 18 bulan sejak UU itu diundangkan. Ia menganggap pasal ini telah jelas. Sehingga, ia menilai tak perlu berkoordinasi dengan MK. Tak perlu koordinasi dengan MK. MK juga tak perlu koordinasi dengan MA, tambahnya.

 

Usai persidangan, Abi Hasan justru mengaku lega terhadap putusan MK ini. Kita hanya minta kepastian saja. Sebenarnya siapa yang berwenang, tuturnya. Dengan terbitnya putusan ini, maka Abi menilai yang berwenang mengadili sengketa pilkada Lampung Utara adalah MA melalui Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

 

Tidak boleh menolak

Putusan MK yang menyatakan tak dapat menerima permohonan tidak diambil secara bulat. Seorang Hakim Konstitusi, Akil Mochtar mengeluarkan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Menurut Akil sengketa pilkada sudah menjadi kewenangan MK sejak revisi UU Pemda itu diterbitkan. Jadi, lanjutnya, tak perlu menunggu pengalihan sengketa dari MA.

 

Akil menilai permohonan yang diajukan ke MK ini merupakan pilihan hukum pemohon. Dengan diajukannya permohonan a quo ke MK merupakan pilhan hukum, serta hak dari pemohon sebagai pencari keadilan yang tak dapat dikurangi hanya dikarenakan adanya keharusan tindakan hukum pengalihan dari MA ke MK, tegasnya.

 

Mantan Anggota Komisi III DPR dari Partai Golkar ini mengkritik koleganya yang seakan lupa pada Ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Akil pun mengutip bunyi Pasal 16 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 itu. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Tags: