MK Persilakan Kampanye Pilkada di Kampus, Asal...
Terbaru

MK Persilakan Kampanye Pilkada di Kampus, Asal...

Secara konstitusional konstruksi norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tak sekedar dibaca pemilu sebatas memilih anggota dewan di tingkat pusat dan daerah serta presiden dan wakil presiden. Tapi mesti dimaknai di dalamnya pemilihan kepala daerah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi
Gedung Mahkamah Konstitusi

Pengaturan soal larangan kampanye di tempat pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 69 huruf i UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU (UU Pilkada) dianulir Mahkamah Konstitusi (MK). Penganuliran  aturan larangan kampanye di tempat pendidikan dituangkan dalam Putusan MK No.69/PUU-XXII/2024 atas pengujian uji materi Pasal 69 huruf I UU 1/2015 terhadap Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

“Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (20/8/2024).

Dalam amar putusan, Suhartoyo menegaskan frasa ‘tempat pendidikan’ dalam norma Pasal 69 huruf I UU 1/2015 bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi perguruan tinggi yang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.

Sementara dalam pertimbangan hukum sebagaimana dibacakan hakim konstitusi Prof Muhammad Guntur Hamzah, secara konstitusional konstruksi norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tak sekedar dibaca pemilu sebatas memilih anggota dewan di tingkat pusat dan daerah serta presiden dan wakil presiden. Tapi mesti dimaknai di dalamnya pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Baca juga:

Bagi MK menurut Prof Guntur, pemaknaan demikian menghendaki harmonisasi atau sinkronisasi pengaturan atau hukum pemilu untuk hal-hal yang memiliki kesamaan antara pemilu dan Pilkada. Nah, salah satu tahapan pemilu dan Pilkada dapat dinilai memiliki kesamaan terkait penyelenggaraan kampanye.

Menurut Prof Guntur, bila dibaca secara utuh dan seksama, pengaturan larangan kampanye secara substansi memiliki kesamaan antara UU 1/2015 dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Khususnya, terkait ‘larangan menggunakan tempat pendidikan’ untuk kampanye. Kendati demikian soal ‘larangan menggunakan tempat pendidikan’ sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, MK telah mengecualikan larangan bagi tempat pendidikan.

Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023, kampanye di tempat pendidikan dapat dikecualikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Nah, pertimbangan mahkamah terkait pengecualian larangan kampanye di perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut ditegaskan pula dalam Putusan MK Nomor 128/PUU- XXI/2023 yang dibacakan pada 29 November 2023 lalu.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu  melanjutkan, soal pengecualian terhadap larangan kampanye di kampus selain memberikan kesempatan bagi sivitas akademika mendorong agar menjadi salah satu lokomotif penyelenggaraan kampanye pemilu. Tujuannya agar dapat mendalami visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan oleh masing-masing calon dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua calon.

Kampus sebagai tempat berkumpulnya sebagian pemilih pemilu dan pemilih kritis membuka kesempatan dilakukannya  dialogis secara lebih konstruktif. Ujungnya,  bakal bermuara pada kematangan berpolitik bagi masyarakat. Setelah mempelajari secara menyeluruh menurut Prof Guntur pengeculian larangan kampanye di kampus, mahkamah tak lagi membedakan  rezim pemilu dengan rezim Pilkada.

Pasalnya substansi yang dimohonkan para pemohon sama dengan substansi Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023. Karenanya tak ada keraguan bagi mahkamah memberlakukan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 secara mutatis mutandis terhadap permohonan a quo. Tak hanya itu, secara mutatis mutandis penerapannya tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan prinsip erga omnes.

Dua mahasiswa

Sebagaimana diketahui para pemohon merupakan dua mahasiswa yang mengajukan uji materil Pasal 69 huruf i UU Pilkada terhadap Pasal 22E ayat (1), 28D ayat (1), dan 28C ayat (1) UUD 1945. Pasa 69 huruf i UU Pilkada menyebutkan, “Dalam Kampanye dilarang: i. menggunakan tempat ibadah dan tempat Pendidikan”.

Sandy Yudha Pratama Hulu sebagai pemohon I merasa dirugikan Pasal 69 huruf i UU Pilkada yang membatasi Pemohon untuk menguji secara kritis gagasan calon pemimpin daerah di kampus tempat menimba ilmu. Samahal Sandy, Stefanie Gloria sebagai pemohon II merasa dirugikan dengan adanya Pasal 69  huruf i UU Pilkada. Sebab berpotensi tertutupnya  informasi mengenai gagasan calon pemimpin dalam  ruang dialog akademis yang berpengaruh terhadap pilihan Pemohon II sebagai pemilih pemula dalam Pilkada 2024.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Jumat (12/7/2024) lalu, Sandy menyampaikan dalam Pemilu 2024 lalu terdapat banyak pelaksanaan diskusi publik, forum akademis serta debat calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden serta antar caleg di perguruan tinggi.

“Bahkan penyelenggaraan kegiatan tersebut mendapat atensi besar dari pihak pengelola kampus serta animo dari para mahasiswa,” ujar Sandy sebagaimana dikutip dari laman MK.

Atas dasar itulah para pemohon kala itu meminta MK agar menyatakan Pasal 69 huruf i UU Pilkada sepanjang frasa ‘tempat pendidikan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘mengecualikan perguruan tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu’.

Tags:

Berita Terkait