MK Pastikan Hak Pekerja dalam Kepailitan
Kolom

MK Pastikan Hak Pekerja dalam Kepailitan

Dari sisi kepentingan kurator, putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 mempermudah kurator dalam menjalankan tugasnya. Kurator tidak perlu berdebat lagi dengan pekerja, kreditur separatis maupun petugas pajak.

Bacaan 2 Menit
Juanda Pangaribuan. Foto: Facebook
Juanda Pangaribuan. Foto: Facebook

Hak Pekerja Akibat Pailit
Memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), pemohon uji materi (judicial review) dari kalangan pekerja terdiri dari tiga kelompok.

Pertama, pengurus serikat pekerja/serikat buruh tingkat nasional dan tingkat perusahaan. Kedua, pekerja yang mengalami PHK, yang kasusnya telah memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap dari pengadilan hubungan industrial (PHI). Ketiga, pekerja yang tidak mengalami kasus konkrit sesuai objek permohonannya.

Pekerja PT. Pertamina dua kali menguji UU Ketenagakerjaan. Permohonan pertama terkait Pasal 155 ayat (2), sedangkan permohonan kedua terkait Pasal 95 ayat (4). MK mengabulkan permohonan pertama dan kedua, masing-masing dalam putusan No. 37/PUU-IX/2011, tanggal 19 September 2011, dan putusan No. 67/PUU-XI/2013, tanggal 11 September 2014. Pada saat permohonan uji materi pertama dan kedua diajukan, pekerja PT. Pertamina sedang tidak berselisih dengan pihak perusahaan.    

Putusan MK yang berhasil mengubah kaidah UU Ketenagakerjaan, sejauh ini  jumlahnya delapan. Putusan paling anyar No. 67/PUU-XI/2013, tanggal 11 September 2014.  Pekerja PT. Pertamina di dalam uji materi itu memohon supaya MK memberi penafsiran terhadap frasa ‘didahukukan pembayarannya.’ Frasa dimaksud terdapat dalam Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.

MK mengabulkan permohonan itu dengan membuat dua norma baru. Kalau perusahaan diputus pailit, MK mengatakan: (a) Upah pekerja didahulukan pembayarannya dari segala jenis tagihan dan kreditur-kreditur lainnya, termasuk dari kreditur separatis dan tagihan pajak negara. (b) Hak-hak pekerja lainnya dibayar lebih dahulu dari segala macam tagihan dan kreditur-kreditur lainnya, kecuali jika debitor memiliki kreditur separatis. MK memberi kedudukan berbeda terhadap upah dan hak-hak pekerja lainnya. Upah ditempatkan pada posisi lebih utama dari pada hak-hak lainnya.    

Amar putusan MK No. 67/PUU-XI/2013, tanggal 11 September 2014, sebagai berikut:

  1. Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4179) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: ”pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;

  2. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4179) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: ”pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis;

Apa yang dimaksud dengan upah dan hak-hak lainnya? Definisi upah bisa ditemukan di dalam Pasal 1 butir 30 UU Ketenagakerjaan. Tetapi, UU Ketenagakerjaan tidak mengatur definisi dari hak-hak lainnya. Memperhatikan defenisi upah, kita dapat mengetahui bahwa upah adalah pemberian imbalan dari pengusaha kepada pekerja yang telah atau akan melakukan pekerjaan yang pembayarannya dilakukan secara rutin yang di dalamnya meliputi tunjangan bagi pekerja dan keluarganya.

Upah di dalam praktik hubungan kerja dikelompokkan ke dalam tiga komponen, yaitu upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap. Tunjangan tetap adalah tunjangan tambahan yang tidak terkait dengan gaji pokok yang dibayar perusahaan secara rutin kepada pekerja yang pembayarannya tidak dipengaruhi oleh syarat kehadiran bekerja. Sedangkan tunjangan tidak tetap merupakan penerimaan pekerja dari perusahaan yang nilai dan pembayarannya dipengaruhi oleh syarat tertentu, seperti kehadiran. Yang lazim ditetapkan sebagai tunjangan tidak tetap, misalnya tunjangan kehadiran, tunjangan makan, tunjangan transport.  

UU Ketenagakerjaan tidak mengenal definisi hak-hak lainnya. Untuk mengetahui apa saja yang disebut hak-hak lainnya dari pekerja, harus dikorelasikan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketika perusahaan diputus pailit, peristiwa yang lazim terjadi adalah PHK. Pekerja yang di PHK bukan karena melakukan kesalahan, sesuai UU Ketenagakerjaan, berhak memperoleh uang pesangon. Ketika pekerja di PHK, baik karena alasan pailit maupun alasan lainnya, uang pesangon dihitung secara normatif, berpedoman pada masa kerja, upah pokok, dan tunjangan tetap.

Kalau merujuk pada kasus tertentu, putusan kepailitan tidak serta merta menghentikan operasional perusahaan. Hal itu dialami oleh PT. Citra Televisi Pendidikan Indonesia, PT. Telkomsel, dan PT. Dirgantara Indonesia. Tetapi, pada kasus kepailitan yang lain, putusan kepailitan langsung menghentikan operasional perusahaan, seperti dialami perusahaan penerbangan, Batavia Air.

Ketika perusahaan dinyatakan pailit oleh pengadilan, masalah utama bagi pekerja adalah pembayaran uang pesangon. Ketika MK mengatakan pembayaran upah pekerja didahulukan dari tagihan pajak dan kreditur lainnya, MK memberi alasan bahwa upah pekerja yang belum dibayar debitur sebelum diputus pailit, merupakan hak dasar pekerja yang tidak boleh hapus maupun dikurangi.

Sebaliknya, kalau pekerja memiliki hak-hak lainnya, seperti uang pesangon, bertolak dari putusan MK di atas, kurator dapat membayar pesangon setelah melunasi tagihan kreditur separatis. Terkait pembayaran uang pesangon, MK tidak mengubah posisi pekerja. MK memposisikan pekerja tetap sebagai kreditur preferen. Sedangkan terkait pembayaran upah, MK memposisikan pekerja sebagai kreditur paling utama dari kreditur-kreditur lainnya.     

Pekerja yang mengalami PHK karena perusahaan tempatnya bekerja diputus pailit, berhak mendapat upah. Hak untuk mendapatkan upah timbul karena salah satu alasan berikut ini. Pertama, pada saat putusan pailit ditetapkan, operasional debitor tetap beroperasi. Dalam situasi seperti itu upah pekerja dibayar sampai putusan pailit ditetapkan.

Kedua, pada saat debitor diputus pailit, debitor sudah menunggak upah pekerja. Ketiga, upah yang timbul pasca putusan kepailitan. Memperhatikan ketiga alasan tersebut, putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 berposisi melindungi upah pekerja seperti disebutkan pada alasan  yang kedua.

Perusahaan yang operasionalnya berhenti setelah divonis pailit, otomatis berhenti membayar upah pekerja. Akibatnya, selama proses pemberesan kepailitan berlangsung, pekerja tidak mendapat upah. Memperhatikan alasan kedua dan ketiga di atas, timbul pertanyaan, upah yang mana yang harus dibayar oleh kurator, apakah upah yang tertunggak, atau upah selama proses (pemberesan) kepailitan, atau keduanya harus dibayar?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita mulai dengan satu pertanyaan, apakah upah yang tertunggak, status hukumnya sama dengan upah dalam proses (pemberesan) kepailitan? Sebelum pertanyaan itu dijawab, sebaiknya perhatikan Pasal 39 UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU:

  1. Pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputus dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya ;
  2. Sejak tanggal pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit ;

Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (2), upah yang belum dibayar sebelum dan sesudah kepailitan, dikualifikasi sebagai utang. Sumber dana untuk membayar utang upah berasal dari harta pailit. Kalau debitor menunggak upah pekerja sebelum diputus pailit, putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 memberi kaidah, kurator wajib membayar seluruh tunggakan upah. Kalau putusan kepailitan tidak mengakibatkan operasional perusahaan berhenti, seperti dialami oleh PT. Telkomsel, upah pekerja wajib dibayar. Kalau putusan kepailitan mengakibatkan operasional perusahaan berhenti, pertanyaannya, apakah pekerja berhak mendapat upah selama proses (pemberesan) kepailitan?

Berkaitan dengan pelaksanaan PHK, UU Ketenagakerjaan mengenal dua terminologi upah, yaitu upah yang biasa diterima dan upah skorsing. Upah yang biasa diterima di dalam praktiknya disebut upah proses PHK. Upah proses PHK adalah upah yang dibayar oleh pengusaha kepada pekerja selama proses PHK berlangsung. Kewajiban itu timbul ketika alasan PHK pekerja terbukti melanggar hukum. Sedangkan upah skorsing adalah upah yang timbul akibat pengusaha melakukan skorsing kepada pekerja.

Skorsing di dalam praktiknya bisa dilakukan untuk dua tujuan, yaitu skorsing menuju PHK, dan skorsing sebagai pembinaan. Di dalam konteks perselisihan hubungan industrial, sebagaimana disebutkan di atas, asas no work no pay tidak berlaku. Oleh karena itu, kalau upah pekerja harus dibayar sejak debitur diputus pailit, sedangkan operasional debitor berhenti akibat pailit, sulit memastikan, apakah kurator berani membayar upah pekerja selama proses kepailitan. Kendala mendapatkan upah selama proses pemberesan kepailitan semakin terbuka ketika harta pailit tidak sebanding dengan utang debitor.

Kurator bisa berdalih bahwa pekerja dan debitor tidak menjalankan kewajiban selama proses kepailitan bukan atas kehendak kedua belah pihak, tetapi karena vonis pailit pengadilan. Karena itu, kalau pekerja menuntut upah pasca putusan pailit – upah selama pemberesan kepailitan - akan terbentur dengan asas no work no pay. Pembayaran seluruh upah dalam proses pailit mungkin bisa dilaksanakan kalau harta pailit cukup untuk menalangi. Uraian ini memperlihatkan bahwa status hukum upah yang tertunggak tidak sama dengan upah selama proses (pemberesan) kepailitan.

Kalau membandingkan waktu timbulnya antara upah yang tertunggak dengan upah pasca putusan pailit, tuntutan pembayaran upah yang tertunggak tampak lebih realistis. Sebab tunggakan upah masuk dalam kualifikasi utang yang timbul sebelum kepailitan terjadi. Kalau pekerja mengajukan tuntutan upah pasca putusan pailit, sedangkan operasional perusahaan sudah berhenti, Pasal 29 UU Kepailitan dan PKPU menjadi tembok penghalang. Menurut ketentuan itu, tuntutan hukum kepada debitor tidak dapat diajukan setelah putusan pailit ditetapkan.

Pasal 29 mengatur sebagai berikut “Suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap debitor.”

Terkait dengan Pasal 29 dan akibat kepailitan, Imam Nasima mendiskripsikan sebagai berikut (Imam Nasima, Opini, Hukumonline, 14 Juli 2008):

“Bagi penggugat, nasibnya akan sangat tergantung pada kebijakan Hakim Pengawas dan/atau Majelis Hakim-nya saja. Sejauh mana hakim akan menggunakan diskresinya untuk memerintahkan penyelesaian perkara tersebut pada pengadilan yang bersangkutan, serta kekuatan hukum penggunaan diskresi seperti ini, sementara ketentuan UU Kepailitan telah menyatakan proses di pengadilan tersebut gugur demi hukum. Bukankah sebenarnya ketentuan UU tersebut tetap dianggap berlaku? Dan gugurnya perkara tersebut terjadi tanpa perlu ada tindakan hakim; gugatan gugur demi hukum. Jurang antara norma dan rasa keadilan yang nyata, akibat adanya ketentuan Pasal 29, tentu telah menghilangkan adanya kepastian hukum bagi khalayak pencari keadilan; dalam hal ini penggugat debitor (yang kemudian) pailit.”

Dampak Putusan MK
Apa dampak positif putusan MK terhadap pekerja, debitor pailit dan kurator? Sesuai putusan MK, pembayaran tagihan negara dan kreditur separatis tidak lagi yang utama ketika pekerja mengajukan tagihan pembayaran upah. MK memposisikan pembayaran upah pekerja lebih utama dari semua jenis tagihan. Posisi upah mengalahkan tagihan negara dan kreditur separatis. Masalah yang tersisah adalah kompensasi PHK. MK mengatakan pembayaran uang pesangon diutamakan dari tagihan lainnya, tetapi dibelakangkan dari tagihan kreditur separatis. Karena itu, kurator dapat membayar uang pesangon sebagai yang pertama, kalau debitor tidak mengikatkan diri dengan kreditur separatis.    

Kalau dilihat dari sisi kepentingan kurator, putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 mempermudah kurator dalam menjalankan tugasnya. Kurator tidak perlu berdebat lagi dengan pekerja, kreditur separatis maupun petugas pajak. Singkatnya, putusan MK tidak menimbulkan masalah bagi kurator maupun debitor pailit. Debitor pailit dan kurator pihak yang patut gembira menyambut putusan MK tersebut. Ketika kurator membayar uang pesangon dan upah pekerja lebihdahulu dari kreditur lainnya - bagi debitor - hal itu tidak masalah. Sebaliknya, bagi kreditur separatis - tentu saja - putusan MK itu bisa dinilai tidak menguntungkan.

*) Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.  

Tags:

Berita Terkait