MK Nyatakan UU Terorisme Tidak Mempunyai Kekuatan Mengikat
Utama

MK Nyatakan UU Terorisme Tidak Mempunyai Kekuatan Mengikat

Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No.16/2003 yang memberlakukan Perpu Terorisme untuk peristiwa peledakan Bom Bali, tidak mempunyai kekuatan mengikat. Menurut majelis, untuk undang-undang tersebut tidak berlaku asas retroaktif.

Tri/Leo
Bacaan 2 Menit
MK Nyatakan UU Terorisme Tidak Mempunyai Kekuatan Mengikat
Hukumonline
Dalam putusan yang dibacakan hari ini (23/7), majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan mengabulkan permohonan Undang-undang No.16/2003 tentang

Lima orang anggota majelis yang mengabulkan permohonan judicial review terhadap UU No. 16/2003, menilai bahwa keberlakuan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini merujuk pada Pasal 28 i UUD 1945 yang menyebutkan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Menurut majelis suatu undang-undang dikatakan berlaku surut jika keberlakuan efektifnya dinyatakan mundur ke belakang. Artinya, undang-undang tersebut mengatur suatu perbuatan yang dilakukan seseorang sebelum undang-undang itu diundangkan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka UU No.16/2003 yang memberlakukan UU No.15/2003 yang diundangkan pada 18 Oktober 2002 terhadap peristiwa peledakan Bom Bali merupakan undang-undang yang berlaku surut.

Majelis menambahkan, meski saat ini masih terjadi pro dan kontra terhadap pembenaran terhadap pemberlakuan surut suatu undang-undang. Namun, pemberlakuan surut terhadap undang-undang tetap merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan standar perikemanusian sebagaimana dinyatakan oleh World Organization Againts Torture, USA.

Dalam pertimbangannya majelis juga menegaskan bahwa pada dasarnya hukum itu harus berlaku ke depan (prospectively). Sehingga, lanjut majelis, tidaklah fair jika seseorang dihukum karena perbuatan yang pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah.

Selain itu, asas non retroaktif mengacu pada filosofi pemidanaan di negara kita atas dasar pembalasan. Padahal, di mata majelis, asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistem pemidanaan di negara kita yang lebih merujuk kepada asas preventif dan edukatif.

Sehingga sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pengesampingan asas non-retroaktif membuka peluang bagi rezim penguasa tertentu untuk menggunakan hukum sebagai sarana balas dendam (revenge) terhadap lawan-lawan politik sebelumnya.  Balas dendam semacam ini tidak boleh terjadi, oleh karena itu harus dihindari pemberian peluang sekecil apapun yang dapat memberikan kesempatan ke arah itu, papar majelis dalam pertimbangannya.

Dissenting opinion

Sementara dalam dissenting opinion-nya, empat majelis yang tidak setuju dengan permohonan judicial review UU No. No. 16 tahun 2003 menyatakan, sebenarnya Pasal 28 i ayat 1 UUD 1945  yang menyinggung asas retroaktif tidaklah bersifat mutlak dan ada pengecualian. Hal ini menurut mereka, dalam rangka memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.

Keempat anggota majelis menandaskan, tafsiran atas Pasal 28 i UUD 1945 haruslah memperhatikan kenyataan bahwa UUD hanya sebagian dari hukum dasar negara. Untuk itu, mereka menjadi tugas Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melakukan interpretasi atas ketentuan UUD apabila terdapat hal yang tidak jelas karena adanya kontradiksi antara satu pasal dengan pasal lain.

Dalam pendapatnya setebal sembilan halaman, mereka juga mengungkapkan bahwa penerapan asas non retroaktif haruslah juga diperkirakan apakah dengan menerapkan secara kaku demikian akan menimbulkan ketidakadilan, merongrong nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.

Satu titik keseimbangan harus ditemukan antara kepastian hukum dan keadilan. Dengan mencoba memahami arti Pasal 28 i ayat 1 UUD 1945 dengan tidak hanya mendasarkan pada teksnya saja, akan tetapi juga mempelajari pengertian azas tersebut dari sejarahnya, praktek dan tafsiran secara komparatif, papar empat anggota majelis MK dalam dissenting opinion-nya.

Sementara itu, Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Depkeh dan HAM Abdul Gani Abdullah, menyatakan bahwa keputusan MK ini final dan mengikat. Namun begitu, ia menegaskan bahwa putusan MK atas UU No. 16 tahun 2003 ini hanya berlaku ke depan dan tidak berlaku surut, atau retroaktif.

Dihubungi secara terpisah, Romli Atmasasmita, anggota tim perumus Perpu Terorisme, menyatakan kekecewaannya terhadap MK. Menurut Romli, seharusnya MK tidak hanya mempertimbangkan Pasal 28 i ayat(1) UUD 1945, melainkan juga memperhatikan pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28 j UUD 1945. Menurut Romli, Pasal 28 j memungkinkan negara untuk dapat membatasi hak azazi seseorang jika diperintahkan berdasarkan undang-undang dan untuk kepentingan yang lebih luas.

Kalau hanya melihat pasal per pasal bukan Mahkamah Konstitusi. Harus dilihat secara keseluruhan dalam konteks yang lebih luas. Bukan hanya pasal 28 i (yang diperhatikan), termasuk juga Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 untuk menciptakan kesejahteraan, ikut menertibkan perdamaian dan kedamaian dunia. Bagaimanapun konstitusi harus melindungi (rakyat Indonesia) yang 200 juta ini yang sewaktu-waktu akan menjadi sasaran bom, kata Romli kepada hukumonline.

judicial reviewPenetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-undang (UU No.16/2003).

Namun, putusan MK ini tidak dicapai dengan suara bulat (lihat file attachment untuk putusan MK selengkapnya). Lima hakim MK mengabulkan permohonan judicial review yang diajukan oleh Masykur Abdul Kadir—salah seorang terdakwa kasus peledakan Bom Bali. Sementara, empat anggota majelis menyatakan menolak permohonan tersebut dan mengeluarkan pendapat yang berbeda (dissenting opinion).

Halaman Selanjutnya:
Tags: