MK ‘Luruskan’ Posisi DPD dalam Pembahasan RUU
Utama

MK ‘Luruskan’ Posisi DPD dalam Pembahasan RUU

DPD harus diikutsertakan dari awal hingga akhir pembahasan RUU.

AGUS SAHBANI/ RFQ/ IHW
Bacaan 2 Menit
Ketua DPD Irman Gusman di sidang putusan pengujian UU MD3 dan UU PPP di Mahkamah Konstitusi. Foto: SGP
Ketua DPD Irman Gusman di sidang putusan pengujian UU MD3 dan UU PPP di Mahkamah Konstitusi. Foto: SGP

Sejumlah pimpinan DPD nampak terlihat senang usai menyaksikan pembacaan putusan di Gedung MK, Rabu (27/3). Soalnya, majelis MK mengabulkan sebagian sejumlah pasal dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian…….” kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusannya di Gedung MK, Rabu (27/3).    

Dalam amar putusannya, MK memberi tafsir konstitusional bersyarat dan membatalkan sejumlah pasal, ayat atau frasa di kedua undang-undang itu. Pasal-pasal yang diberi tafsir dan dibatalkan itu menyangkut ketentuan yang mengurangi kewenangan DPD dalam proses penyusunan rancangan undang-undang (RUU) yang dikehendaki UUD 1945.

MK menyatakan DPD bersama DPR dan Presiden berhak turut serta mengajukan, menyusun prolegnas, hingga membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan daerah. Misalnya, terkait RUU otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai amanat Pasal 22D ayat (1), (2) UUD 1945.

Ditegaskan Mahkamah, DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU terkait daerah. Menempatkan RUU dari DPD sebagai usul DPD, kemudian dibahas Baleg DPR dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mengurangi kewenangan DPD.

Menurut Mahkamah setiap pembahasan RUU tertentu harus melibatkan DPD sejak pembahasan tingkat I oleh komisi atau Pansus DPR. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna DPR sebelum tahap persetujuan. Namun, Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 tidak memberi kewenangan bagi DPD untuk ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi UU.

“Karena itu, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Misalnya, RUU dari Presiden, Presiden diberi kesempatan memberi penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberi pandangan atau sebaliknya,” lanjut Akil.        

Selain itu, Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2) UU PPP telah meniadakan kewenangan DPD mengajukan RUU baik di dalam maupun di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). “Ketentuan yang tidak melibatkan DPD dalam penyusunan Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan UUD 1945,” tegas Akil.     

Ketua DPD Irman Gusman menyambut baik putusan ini yang ia anggap sebagai putusan yang revolusioner. Sejak putusan MK ini, pihaknya berharap DPR dan Presiden akan selalu mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU yang terkait dengan daerah. Sehingga, DPD bisa melakukan koreksi terhadap setiap RUU yang diusulkan pemerintah atau DPR karena DPD memang berhak terlibat dalam pembahasan RUU.

Sebagai pimpinan DPD, Irman berjanji akan bertemu dengan pimpinan DPR dan Presiden untuk menindaklanjuti putusan MK ini. “Jadi, tindak lanjut dari putusan MK ini, nanti kita akan mengadakan pertemuan konsultasi,” janjinya saat jumpa pers di luar persidangan. 

Kuasa hukum pemohon, Todung Mulya Lubis juga menyambut baik putusan yang diambil dengan suara bulat ini. Dia tegaskan putusan MK ini meluruskan kembali makna konstitusi yang memberikan kewenangan kepada DPD untuk mengajukan dan ikut membahas RUU itu dari awal hingga akhir.

Terpisah, anggota DPR dari Fraksi PKS, Indra memandang putusan ini memberikan dukungan kepada DPD agar lebih proaktif terlibat dalam memperjuangkan kepentingan daerah. “Tinggal bagaimana DPD mengambil peluang penegasan norma ini?” kata Indra kepada hukumonline lewat telepon, Rabu (27/3).

Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri berpendapat senada. Ia berharap DPD secara kelembagaan dapat memainkan peran yang lebih strategis pascaputusan MK ini.

Ronald menilai sejauh ini DPD kurang berperan ketika ada pembahasan yang menyangkut isu daerah. Ia mencontohkan minimnya kontribusi DPD dalam pembahasan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan dan RUU Pemda.

Namun begitu Ronald melihat sejumlah tantangan dalam pelaksanaan putusan MK ini. Pertama adalah revisi UU MD3, tata tertib DPR dan UU PPP. “Khusus untuk UU PPP, waktunya sangat terbatas,” kata Ronald kepada hukumonline lewat telepon.

Tantangan lain adalah mengubah skema pembahasan RUU. Skema yang ada saat ini saja sudah cukup panjang. “Pembahasan di tingkat I itu juga panjang dan berjenjang lho.” 

Bila mekanisme pembahasan RUU masih dengan pola lama yaitu dengan membahas daftar inventaris masalah (DIM), Ronald menduga pembahasan suatu RUU akan menjadi lebih panjang dengan putusan MK ini.

Sebagai alternatif, Ronald mengusulkan mekanisme pembahasan diganti menjadi sistem pengelompokkan isu (cluster). “Dengan sistem cluster, aktualisasi DPR, DPD dan pemerintah dalam membahas suatu RUU akan lebih optimal,” tutupnya.

Untuk diketahui, 18 anggota DPD dan beberapa warga negara memohon pengujian sejumlah pasal dalam UU MD3 dan UU PPP terkait kewenangan DPD dalam proses penyusunan rancangan undang-undang. Mereka berdalih kedua undang-undang itu telah mereduksi kewenangan DPD tanpa melibatkan DPD mulai dari pengajuan RUU hingga persetujuan RUU.

Padahal, RUU yang dibahas itu menyangkut kewenangan DPD. Mulai dari otonomi daerah, hubungan pemerintahan pusat dan daerah, pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam hingga pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Kewenangan DPD itu dijamin Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Karenanya, DPD meminta MK mempertegas penafsiran kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah di pusat.

Tags: