MK Legowo Sambut UU Baru
Berita

MK Legowo Sambut UU Baru

UU MK yang lama diubah, untuk diarahkan kembali dengan menambah, mengubah/menghapus sesuai yang digariskan UUD 1945

Rzk
Bacaan 2 Menit

 

Pemerintah, kata Patrialis, sangat menyadari posisi strategis MK dalam menegakkan prinsip-prinsip negara. Namun, dalam praktiknya, MK beberapa kali dinilai bertindak “kurang tepat”. Sebagai contoh, Patrialis menyebut tindakan MK yang terkadang putusannya membatalkan undang-undang, padahal yang dimohonkan oleh pemohon adalah pembatalan pasal.

 

Patrialis juga mengkritik tindakan MK yang beberapa kali seolah-olah memposisikan dirinya sebagai positive legislator yakni dengan mengadakan norma baru. Dia mengingatkan bahwa hakikatnya fungsi MK adalah negative legislator dengan menyatakan satu atau beberapa pasal tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

 

“Terkadang, MK juga seolah-olah berada di atas lembaga lain, misalnya ketika membatalkan hasil pemilukada yang seharusnya menjadi kewenangan KPU,” tambah Patrialis. “Makanya, UU MK yang lama diubah, untuk diarahkan kembali dengan menambah, mengubah/menghapus sesuai yang digariskan UUD 1945.”

 

Khusus untuk permohonan pengujian undang-undang, Patrialis memaparkan sejumlah rambu-rambu yang harus ditaati MK. Diatur dalam Pasal 57 ayat (2a), putusan MK dilarang memuat tiga hal. Pertama, amar lain selain menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau menyatakan pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Kedua, perintah kepada pembuat undang-undang. Ketiga, rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. “MK juga tidak boleh menggunakan undang-undang lain sebagai batu uji, hanya boleh menggunakan UUD 1945,” papar Patrialis lagi.

 

Jika MK terkesan tenang menyikapi pengesahan RUU MK, sejumlah kalangan justru melancarkan protes. Beberapa pimpinan fakultas hukum di Indonesia menilai pengesahan RUU MK terlalu terburu-buru. DPR dianggap terlalu memaksakan RUU MK disahkan, padahal substansinya masih bermasalah. Mereka bahkan curiga DPR sengaja memangkas kewenangan MK karena merasa “terancam”, khususnya terkait kewenangan MK menguji undang-undang.

Tags:

Berita Terkait