MK Kembali Tolak Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden
Utama

MK Kembali Tolak Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden

MK merujuk pada putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan aturan ambang presiden merupakan open legal policy pembentuk UU.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Dia mengakui dirinyalah yang mengajukan uji materi hingga diputuskan MK menjadi pemilu serentak. Namun, dirinya kecewa karena munculnya aturan presidential threshold yang dibuat pembentuk UU pemilu yang kemudian dipertahankan oleh hakim MK. “Nantinya, Pemilu 2019 ialah pemilu yang paling kacau,” sebutnya.

 

Padahal, dia berharap Pemilu 2019 dikembalikan seperti dahulu yakni pemilu legislatif terlebih dahulu, baru dilaksanakan pemilihan presiden. “Memang praktek pemilu yang dulu bukan pemilu yang baik, tapi pemilu serentak memakai aturan presidential threshold tidak lebih baik dan paling menyesatkan. Sekali lagi, Hakim MK turut merusak sistem pemilu Indonesia dengan pembohongan publik dan sontoloyo. Saya pun siap disomasi,” katanya.

 

Seperti diketahui, dalam putusan MK No.53/PUU-XV/2017, MK menolak pengujian Pasal 222 UU Pemilu ini. MK juga mengacu pada putusan MK sebelumnya bernomor 51-52-53/PUU-VI/2008 tentang uji materi Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden yang dianggap tetap relevan. MK menilai ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). Baca Juga: Menanti Ketegasan Konstitusionalitas Ambang Batas Pencalonan Presiden

 

Mahkamah beralasan ambang batas pengusulan calon presiden dan wakil presiden sama sekali tidak berkaitan dengan keberadaan norma UU yang mengatur dipisahkannya penyelenggaraan pemilu legislatif dan pilpres. Justru, disatukannya keduanya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang ideal. Adanya ambang batas pencalonan presiden ini dinilai sudah mencerminkan legitimasi sosio-politik, representasi masyarakat yang berbhineka. Karenanya, Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak bersifat diskriminasi.

 

Namun, putusan pengujian Pasal 222 UU Pemilu ini diwarnai dissenting opinion dari dua hakim MK, Saldi Isra dan Suhartoyo. Keduanya menilai ambang batas pencalonan presiden menimbulkan ketidakadilan bagi parpol baru yang tidak bisa mengajukan calon presiden/wakil presiden serta menimbulkan kerancuan dalam sistem presidensial dan parlementer.

 

Baginya, ketentuan ambang batas presiden seberar 20 persen itu bertentangan dengan Pasal 22E, Pasal 27, dan 28 UUD 1945 yang semestinya menjamin hak yang sama kepada setiap parpol peserta pemilu untuk mengajukan capres dan cawapres. Menurutnya, penggunaan hasil Pemilu Legislatif sebelumnya untuk menentukan ambang batas pencalonan Presiden dan Wapres akan merusak logika sistem presidensial.

 

Sebab, dalam sistem presidensial mandat rakyat diberikan secara terpisah, masing-masing kepada legislatif dan eksekutif. Sementara jika menggunakan hasil pemilu legislatif untuk menentukan ambang batas di pemilu eksekutif bentuk pemerintahan yang memiliki (corak) sistem parlementer. Artinya, mempertahankan ambang batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif jelas memaksakan logika dari sistem parlementer ke presidensial.

Tags:

Berita Terkait