MK Kembali Tolak Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden
Utama

MK Kembali Tolak Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden

MK merujuk pada putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan aturan ambang presiden merupakan open legal policy pembentuk UU.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Mahkamah berpendapat ketentuan persentase tertentu perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik sebagai syarat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden bukanlah suatu bentuk pembohongan dan manipulasi suara rakyat pemilih.

 

“Dengan sendirinya dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila menjadi kehilangan landasan rasionalitasnya. Karenanya, dalil para Pemohon perihal pertentangan Pasal 222 UU Pemilu didasarkan pada argumentasi Pasal 222 UU Pemilu merupakan pembohongan dan manipulasi suara pemilih, tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pertimbangan putusan.

 

Menyayangkan

Putusan ini tentu membuat para pemohon merasa kecewa diantara Busyro Muqoddas dkk yang diwakili Denny Indrayana termasuk Pakar Komunikasi Politik Effendy Gazali. Kuasa Hukum M. Busyro Muqodas dkk, Denny Indrayana satu sisi menghormati putusan MK ini. Namun, sisi lain menyayangkan sikap MK yang tidak mengambil kesempatan untuk memutus perkara ini sebelum pendaftaran pasangan capres dan cawapres kemarin.

 

“Kita menyayangkan kenapa isu sangat penting dan ditunggu-tunggu banyak kalangan ini tidak segera diputuskan sebelum masa pendaftaran pasangan capres-cawapres?” kata Denny mempertanyakan.     

 

“MK juga tidak lebih aktif menangkap aspirasi publik untuk memberi solusi bagi persoalan urgent sisten ketatanegaraan dalam hal pilpres ini? Malah MK tetap mengacu pada putusan sebelumnya yang menyatakan Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945.”

 

Sementara, Effendy Gazali sudah memperkirakan permohonan ini bakal ditolak. Menurutnya, putusan penolakan terhadap pengujian ambang batas presiden ini bisa membuat para hakim MK sepanjang hidupnya akan dikejar-kejar kebohongan politik karena tidak mampu menjawab sejumlah pertanyaan para pemohon dalam hal konstitusionalitas aturan ini.  

 

“Adakah negara demokratis yang melaknakan pemilu serentak, tetapi memakai presidential threshold yang diambil dari hasil pemilu legislatif (2014) 5 tahun lalu? Hakim MK pun tidak bisa menjawab hal ini. Analogi yang digunakan itu keliru total walaupun putusannya final dan mengikat. Ini lebih berbahaya dari sekedar kebohongan operasi plastik,” sindir Effendy.

Tags:

Berita Terkait