MK Kandaskan Pengujian Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Baru
Terbaru

MK Kandaskan Pengujian Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Baru

MK menilai KUHP baru akan berlaku tiga tahun lagi yakni pada 2 Januari 2026, sehingga pasal-pasal KUHP yang digugat belum menimbulkan kerugian konstitusional baik kerugian secara potensial maupun aktual.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MK Jakarta. Foto: RES
Gedung MK Jakarta. Foto: RES

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak menerima pengujian Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap presiden/wakil presiden dan lembaga negara/kekuasaan umum, termasuk dengan sarana teknologi informasi.  

"Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan bernomor 7/PUU-XXI/2023 yang dipantau dari kanal YouTube Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (28/2/2023).

Permohonan ini diajukan oleh Fernando Manullang (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Pemohon I); Dina Listiorini (Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta/Pemohon II); Eriko Fahri Ginting (Content Creator/Pemohon III); dan Sultan Fadillah Effendi (Mahasiswa/Pemohon IV).

Baca Juga:

Pasal 218 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pasal 240 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Dalam pertimbangannya, MK menilai KUHP tersebut baru akan berlaku tiga tahun lagi yakni pada 2 Januari 2026, sehingga pasal-pasal KUHP yang digugat para pemohon belum berdampak atau menimbulkan kerugian konstitusional baik kerugian secara potensial (di masa depan) maupun aktual (saat ini).

Penilaian itu berdasarkan anggapan kerugian konstitusional yang dimaksud dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007. Anggapan tersebut membuat Majelis MK memutuskan tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan.

"Para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun para pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, pokok permohonan para pemohon adalah prematur," demikian bunyi salah satu pertimbangan Mahkamah.  

Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar Selasa (24/1/2023) lalu, Kuasa Hukum Para Pemohon Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menyebutkan sebagai pihak yang menjalankan keberlangsungan negara, Pemerintah tidak jarang menerima berbagai macam kritik maupun saran dari warga negara.

Namun terkadang dalam penyampaian kritik tersebut tidak sesuai dengan etika yang pada akhirnya berujung pada penghinaan maupun pencemaran nama baik. Karena itu, sudah sepantasnya Pemerintah juga dilindungi dari tindakan penghinaan maupun pencemaran nama baik. Namun, bukan berarti Pemerintah dapat dibuatkan pasal khusus terkait larangan tindakan penghinaan bagi Pemerintah tersebut.

“Patut menjadi pertanyaan mengapa bagi setiap orang yang melakukan tindakan penghinaan terhadap Presiden atau Pemerintahan dibuatkan pasal khusus? Padahal dalam KUHP sudah terdapat pengaturan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik yang berlaku dan dapat diterapkan bagi semua orang tak terkecuali Pemerintah,” ujar Zico dalam sidang panel dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo beranggotakan Arief Hidayat dan Daniel Yusmic P. Foekh. seperti dikutip laman MK.   

Menurutnya, adanya pengaturan khusus terkait penghinaan terhadap Pemerintah tersebut sejatinya telah melanggar konstitusi dan prinsip Equality Before The Law sebagaimana termanifestasi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Adanya pengaturan khusus terkait penghinaan terhadap Pemerintah, maka secara tidak langsung hal demikian telah mencederai Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

“Oleh karena itu, para pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petitum dalam permohonannya.

Tags:

Berita Terkait