MK Hapus Pasal Kriminalisasi Jaksa dalam UU SPPA
Utama

MK Hapus Pasal Kriminalisasi Jaksa dalam UU SPPA

Kini, jaksa tidak takut lagi atas ancaman dijatuhi sanksi pidana atau dikriminalisasi bila menangani perkara pidana anak.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sejumlah jaksa nampak lega usai mendengar putusan dikabulkannya pengujian Pasal 99 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terkait pemidanaan bagi jaksa ketika menangani anak. Dalam putusannya, MK menghapus berlakunya Pasal 99 UU SPPA karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Dengan begitu, kini jaksa tidak dapat lagi dijatuhi sanksi pidana hanya karena tidak melepaskan tahanan anak demi hukum.        

 

“Mengabulkan permohonan para pemohon dan menyatakan Pasal 99 UU SPPA bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tutur Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan No. 68/PUU-XV/2012 di Gedung MK, Jakarta, Rabu (23/5/2018). (Baca Juga: Terancam Dikriminalisasi, Jaksa Uji UU Sistem Peradilan Pidana Anak ke MK)

 

Pasal 99 UU SPPA berbunyi, “Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.” Pasal 34 ayat (3) berbunyi, “Dalam hal jangka waktu (penahanan maksimal 10 hari) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.”

 

Sebelumnya, sejumlah jaksa yang juga anggota Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) yakni  Noor Rochmad, Setia Untung Arimuladi, Febrie Ardiansyah, Yudi Kristiana yang dikuasakan kepada Ichsan Zikry.

 

Permohonan ini dilatarbelakangi jaksa yang seharusnya melepas tersangka (anak) dari tahanan, tetapi masih dilakukan penahanan sehingga jaksa dapat dikenai sanksi pidana penjara. Meski sampai sekarang belum ada jaksa yang ditahan gara-gara hal tersebut, tetapi ketentuan ini tekanan bagi jaksa dalam melaksanakan proses peradilan anak.

 

Bagi para pemohon Pasal 99 UU SPPA merupakan ancaman kriminalisasi dan bentuk intervensi terhadap penuntut umum selaku bagian dari pelaksanan kekuasaan kehakiman. Selain itu, pasal itu tak sejalan dengan independensi pejabat khusus terkai penuntut umum dan penyidik anak dan dapat berdampak negatif berupa ketakutan dan kekhawatiran melaksanakan tugas menuntut perkara. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945.

 

Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengurai perbedaan antara indepedensi hakim, penuntut umum dan penyidik secara universal yang tertuang dalam putusan MK No. 110/PUU-X/2012. Sebab, tidak dapat dipisahkan antara putusan ini dengan permohonan pemohon. Misalnya, independensi kekuasaan kehakiman yang melekat pada negara hukum dan berperan sebagai penyeimbang dan pengontrol dua cabang kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif.

 

Penegasan ini penting, bila dikaitkan permohonan para pemohon. Hanya saja, menurut Mahkamah perspektif independensi pejabat selain hakim (jaksa, penyidik) hakikatnya tidak memiliki prinsip independensi yang sama. Terutama ketika sedang menjalankan fungsi penuntutan dan penyidikan. Sebab, saat penuntut umum dan penyidik menjalankan fungsi yudisial tidak serta merta diberi perlindungan atas dasar prinsip independensi yang dimiliki hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.

 

Bila dicermati substansi uji materi ini hakikatnya menyangkut tugas administratif yang secara natural menjadi tugas jaksa sebagai penunutut umum dalam melaksanakan penetapan hakim. “Karena itu, sudah kewajiban jaksa atau penuntut umum seharusnya melaksanakan penetapan hakim dalam melaksanakan putusan tindakan memasukkan atau mengeluarkan tahanan yang dalam uji materi ini ialah tindakan penahanan terhadap anak,” ujarnya.

 

UU SPPA memberi penekanan terhadap tindakan penahanan terhadap anak, bahwa sejauh mungkin tindakan penahanan terhadap anak tersebut haruslah dihindari. Namun, kata Maria, bila anak yang diduga melakukan tindak pidana dan diharuskan dilakukan tindakan penahanan haruslah menjadi pilihan terakhir setelah dilakukan diversi atau restorative justice tidak tercapai.

 

“Secara filosofis pemberian sanksi pidana bagi para pejabat atau jaksa atau penuntut umum yang dengan sengaja melaksanakan tindakan penahanan yang dapat merugikan hak-hak anak. Perlu kecermatan dan kehati-hatian pejabat melaksanakan tindakan penahanan benar-benar dikedepankan,” kata Maria.

 

Meski begitu, Maria beranggapan pertimbangan ini tidak terlepas adanya keharusan sinergitas seluruh kompenen penegakan hukum dalam SPPA yang bersifat khusus. Tetapi, bukan berarti Mahkamah membenarkan alasan independensi dalam pengertian universal dalam dalil para pemohon.

 

Dengan demikian, Mahkamah menyatakan Pasal 99 UU SPPA inkonstitusional. Namun hal ini tidak berarti memperbolehkan pejabat bertugas mengeluarkan tahanan anak dari rutan melanggar batas waktu yang telah ditentukan. Sebab, ini sama halnya dengan sengaja merampas kemerdekaan seseorang.

 

“Kesengajaan tidak mengeluarkan tahanan anak pada waktunya tidak menghilangkan hak setiap orang yang dirugikan atas adanya tindakan yang disengaja oleh setiap pejabat termasuk didalamnya penegak hukum atas adanya perampasan kemerdekaan sesuai Pasal 333 ayat (1) KUHP.”

 

Salah satu anggota PJI dan juga Kepala Kejari Salatiga, Yudi Kristiana menyambut baik putusan yang membatalkan Pasal 99 UU SPPA ini. Kini, kata dia, jaksa tidak takut lagi ancaman dijatuhi sanksi pidana atau dikriminalisasi bila menangani perkara pidana anak. “Putusan ini tidak akan menurunkan perlindungan terhadap anak dalam menangani perkara anak. Justru, kita akan lebih memberi perlindungan kepada anak,” katanya.   

Tags:

Berita Terkait