MK Diminta Tegas Putuskan Konstitusionalitas Wadah Tunggal
Utama

MK Diminta Tegas Putuskan Konstitusionalitas Wadah Tunggal

Tapi dalam konteks historis pembentukan UU Advokat sudah menunjukan konsepsi wadah tunggal yang bisa dilihat dalam Pasal 1 butir 4, Pasal 28, Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 33 UU Advokat.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Untuk kesekian kalinya, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno uji materi frasa “organisasi advokat” dalam Pasal 20 UU No. 18  Tahun 2003 tentang Advokat terkait wadah tunggal organisasi advokat. Agenda sidang kali ini mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pihak terkait yakni Zainal Arifin Mochtar, Aminuddin Ilmar dan Agustin Teras sebagai saksi.

 

Dalam keterangannya, Zainal Arifin Mochtar yang dikenal dosen Fakultas Hukum UGM ini,  mengatakan MK seharusnya bisa tegas memutuskan persoalan wadah tunggal advokat ini. Caranya, hal ini tidak hanya mencantumkan di bagian pertimbangan, tetapi juga mencantumkan di bagian amar putusan. Sebab, selama ini putusan MK terkait pengujian UU Advokat sebelumnya hanya mencantumkan dalam pertimbangan telah menimbulkan ketidakpatuhan atas putusan.

 

“MK mesti tegas memutuskan konstitusionalitas wadah tunggal organisasi advokat ini. Atau jika tidak ingin memutuskan sesuai keinginan pemohon dapat mendorong lembaga teknis agar wadah tunggal advokat dapat terwujud,” kata Zainal di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (23/1/2019).

 

Ia menjelaskan MK selama ini telah memutus konsep dan pernyataan tentang wadah tunggal organisasi advokat dalam ratio decidendi, bukan pada amar putusan. Ini memberi tafsiran norma atas UU Advokat tersebut dalam Putusan MK dibiarkan mengambang yang terus menimbulkan perdebatan mengenai bentuk organisasi advokat, apakah wadah tunggal atau bukan.

 

“Tapi dalam konteks historis pembentukan UU Advokat sudah menunjukan konsepsi wadah tunggal yang bisa dilihat dalam Pasal 1 butir 4, Pasal 28, Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 33 UU Advokat,” ujarnya menjelaskan.

 

Menurutnya, MK telah berkali-kali membuat putusan dengan objek pengujian yang kurang lebih isinya berupa pengakuan wadah tunggal organisasi. Hal ini bisa dilihat dalam putusan MK No. 14/PUU-IV/2006 yang mengakui Peradi sebagai organ negara dalam arti luas menjalankan fungsi negara. Hal ini juga termuat dalam putusan MK No. 66/PUU-II/2004, putusan MK No. 101/PUU-VII/2009.

 

“Dalam pertimbangan beberapa putusan MK diulang berkali-kali dengan perspektif constitutional adjudication. Jadi, jelas konstitusionalitas wadah tunggal tidak terbantahkan,” tegasnya.

 

Karena itu, bukan saatnya lagi organisasi advokat yang ada duduk bersama membicarakan wadah tunggal karena tak akan menyelesaikan masalah. “MK saat ini perlu menjadi penyelamat atas berlarut-larutnya problem ini. Mengambil posisi penyelamat atas tegaknya hukum dan tentu saja masa depan penegakkan hukum itu sendiri,” ujarnya. (Baca Juga: Wadah Tunggal Organisasi Advokat untuk Kepentingan Pencari Keadilan)

 

Senada, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar berpandangan norma yang terbangun dalam UU Advokat jelas menyebut dan menggambarkan adanya keharusan membentuk sebuah wadah tunggal (single bar) organisasi advokat sesuai bunyi Pasal 28 dan 28J ayat (2) UUD Tahun 1945.

 

“Dengan adanya wadah tunggal profesi advokat diharapkan adanya kejelasan kewenangan organisasi advokat. Tak hanya melakukan pengangkatan sumpah advokat, tetapi juga pembinaan, pengawasan, pendidikan advokat, penyusunan kode etik, dan pemberian sanksi bilamana terjadi pelanggaran kode etik (majelis kehormatan advokat),” kata dia.

 

“Hingga saat ini inisiatif perubahan UU Advokat belum dilakukan. Untuk itu, MK mesti  menyelesaikan perbedaan tafsir dalam aturan ini,” sarannya. (Baca Juga: MK Diminta Mengakhiri Sifat Multitafsir Wadah Organisasi Advokat

 

Namun menurutnya, jika wadah tunggal organisasi profesi advokat diputuskan MK akan memberi kepastian hukum. Tak hanya bagi profesi advokat sendiri, tetapi juga bagi pencari keadilan yang terlindungi dari penyimpangan hukum. “MK dapat menegaskan bahwa satu-satunya wadah profesi advokat adalah organisasi advokat yang sejalan dengan UU Advokat itu sendiri,” katanya.

 

Permohonan ini diajukan Bahrul Ilmi Yakup, Shalih Mangara Sitompul, Gunadi Handoko, Rynaldo P. Batubara, Ismail Nganggon yang merupakan para advokat yang tergabung Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Iwan Kurniawan yang merupakan calon advokat. Mereka meminta organisasi advokat yang menjalankan kewenangan dalam UU Advokat seharusnya hanya satu organisasi advokat agar ada kepastian hukum, dalam hal ini Peradi.

 

Para pemohon mempersoalkan frasa “organisasi advokat” dalam Pasal 1 ayat (4); Pasal 2 ayat (1); Pasal 3 ayat (1) huruf f; Pasal 4 ayat (3); Pasal 7 ayat (2); Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 9 ayat (1); Pasal 10 ayat (1) huruf c; Pasal 11; Pasal 12 ayat (1); Pasal 13 ayat (1) dan (3); Pasal 23 ayat (2); Pasal 26 ayat (1) hingga ayat (7); Pasal 27 ayat (1), (3) dan (5); Pasal 28 ayat (1), (2) dan (3); Pasal 29 ayat (1), (2),(4) dan (5); Pasal 30 ayat (1); Pasal 32 ayat (3) dan (4); Pasal 33; dan penjelasan Pasal 3 huruf f dan Pasal 5 ayat (2) UU Advokat.  

 

Para Pemohon menilai frasa “organisasi advokat” telah dimanipulasi oleh berbagai pihak. Hal ini memungkinkan munculnya berbagai organisasi advokat yang mengklaim seolah-olah sah dan berwenang menjalankan organisasi advokat sesuai UU Advokat. Seperti menyelenggarakan pendidikan calon advokat, mengangkat advokat, permohonan pengambilan sumpah advokat, merekrut anggota, pengawasan, dan menjatuhkan sanksi etik kepada advokat. Hal ini jelas tidak benar dan tidak berdasar secara konstitusional.

 

Karenanya, Mahkamah diminta mengabulkan permohonan ini dengan menyatakan frasa “organisasi advokat” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai Peradi merupakan satu-satunya organisasi profesi advokat yang berwenang melaksanakan UU Advokat. Namun, organisasi advokat yang tidak melaksanakan wewenang dalam UU Advokat, boleh banyak.  

Tags:

Berita Terkait