MK Diminta Tafsirkan Kewenangan DPR Pilih Hakim Agung
Berita

MK Diminta Tafsirkan Kewenangan DPR Pilih Hakim Agung

Majelis menyarankan agar permohonan diuraikan dengan bahasa yang sederhana.

ASH
Bacaan 2 Menit
MK Diminta Tafsirkan Kewenangan DPR Pilih Hakim Agung
Hukumonline

Aturan kewenangan DPR memilih calon hakim agung (CHA) lagi-lagi dipersoalkan melalui uji materi UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang KY. Kali ini, permohonannya diajukan tiga calon hakim agung (CHA) yakni Made Dharma Weda, RM. Panggabean, dan St. Laksanto Utomo yang pernah seleksi CHA pada 2012, tetapi tidak lolos ketika fit and proper test di DPR.

Mereka memohon pengujian Pasal 8 ayat (2), (3), (4) dan (5) dalam UU MA dan Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1) UU KY. Mereka menganggap keberadaan pasal-pasal tersebut berpotensi melanggar hak konstitusionalnya untuk menjadi hakim agung. Pasalnya, sudah jelas dalam UUD 1945 disebutkan kalau kewenangan DPR hanya sebatas menyetujui, bukan memilih hakim agung.    

“Ketentuan itu berpotensi merugikan hak konstitusional pemohon. Kalau sudah lolos seleksi di KY, untuk apa lagi DPR melakukan hal yang sama?” kata Yuherman, selaku kuasa hukum para pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Selasa (19/3).

Pasal 8 UU MA


(1)  Hakim agung ditetapkan oleh Presiden dari nama calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)  Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
(3)  Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan.
(4)  Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
(5)  Pengajuan calon hakim agung oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang terhitung sejak tanggalnama calon disetujui dalam Rapat Paripurna.

Dia menganggap kewenangan DPR memilih hakim agung dapat menganggu indepedensi hakim dalam menjalankan tugasnya. Lagipula, kalau mengacu Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa DPR hanya menyetujui CHA yang diajukan oleh KY, bukan memilih.  

“Dalam UU MA dan KY bicara lain, malah menyebutkan DPR memilih CHA yang diajukan KY, inikan bertentangan dengan UUD 1945,” tegas Yuherman.

Sama halnya dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) tentang porsi 3 banding 1, dimana KY harus mengajukan tiga kali kebutuhan hakim agung ke DPR. Ketentuan ini juga jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 24A yat (3) UUD 1945. “Kenapa KY harus mengajukan 3 CHA, itu sudah jelas-jelas memilih. Seharusnya kirim saja satu kalau memang DPR tidak menyetujui, ya diajukan lagi oleh KY,” lanjutnya.

Untuk itu, mereka meminta MK untuk memberikan tafsir bersyarat terkait kewenangan DPR memilih calon hakim agung dalam kedua pasal itu. Artinya, kedua pasal itu tetap konstitusional sepanjang dimaknai calon hakim agung ditetapkan presiden setelah mendapat persetujuan dari DPR.

“Jadi kami meminta MK untuk memberikan tafsir kata memilih itu sebagai menyetujui sesuai dengan  Pasal 24A ayat (3)  UUD 1945. Jadi, kami minta DPR itu hanya menyetujui calon hakim agung, seperti pejabat publik lainnya,” tegasnya.

Anggota Majelis Panel, Ahmad Fadlil Sumadi mengatakan belum melihat secara jelas bagian frasa apa yang minta untuk ditafsirkan MK. “Kalau memang minta ditafsirkan, disebutkan apa yang diminta, apakah semuanya atau yang mana, ini mesti diperjelas,” saran Fadlil Sumadi.

Tak hanya itu, Majelis sempat mengkritik permohonan yang terkesan berbelit-belit dalam menjelaskan duduk permohonan. “Uraikan saja secara sederhana, ini kan masalahnya simpel jadi tidak usah dipersulit penguraiannya,” saran Ketua Majelis Panel, Hamdan Zoelva menambahkan.

Sebelumnya, sejumlah LSM dan seorang CHA Syafrinaldi juga telah mempersoalkan kewenangan DPR untuk memilih seleksi calon hakim agung seperti termuat dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY. Menurutnya, makna “pemilihan” dalam pasal-pasal itu tidak sejalan dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang rumusannya berbunyi ‘DPR memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan KY.’

Tags: