MK Diminta Tafsirkan Kata ‘Segera’ dalam KUHAP
Berita

MK Diminta Tafsirkan Kata ‘Segera’ dalam KUHAP

Majelis MK menilai permohonan ini bukan persoalan konstitusionalitas norma.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK Jakarta. Foto: ilustrasi (Sgp)
Gedung MK Jakarta. Foto: ilustrasi (Sgp)

Suami dari tersangka pengedar narkoba mengajukan permohonan uji materi Pasal 18 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adalah Hendry Batoarung Ma’dika yang meminta MK memaknai kata “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP.

“Dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak mengatur tentang pemaknaan berapa lama kata ‘segera’, sehingga waktunya tidak pasti dan tidak merata bagi warga negara Indonesia dalam setiap kasusnya,” kata kuasa hukum pemohon, Duin Palungkun dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Senin (21/1).

Pasal 18 ayat 3 UU KUHAP menyebutkan tembusan surat penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Ditegaskan Duin, tidak adanya pemaknaan kata “segera” tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi pemohon sebagai warga negara Indonesia yang berhak diperlakukan sama di depan hukum.

“Penerapan kata ‘segera’ dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP itu ada yang dilakukan beberapa jam setelah penangkapan, ada yang diterapkan satu hari, dua hari, hingga satu minggu setelah penangkapan dilakukan,” bebernya.

Menurut Duin, kata “segera” telah dimaknai selama 24 hari setelah penangkapan istrinya. Keluarga pemohon tidak pernah diberi kesempatan untuk mengetahui secara sah tentang tindak pidana apa yang disangkakan terhadap istrinya.

“Tidak dapat mengupayakan pendampingan dari pengacara selama penyidikan dilakukan sehingga selama 24 hari, hak istri pemohon telah dibatasi oleh penyidik,” ungkapnya.

Oleh karena itu, pemohon meminta MK memaknai kata “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP, tidak lebih dari tiga hari setelah penangkapan. Surat tembusan perintah penangkapan harus disampaikan kepada keluarga yang tinggal dalam satu wilayah atau kabupaten/kota yang sama.

“Atau tidak lebih dari satu minggu untuk keluarga yang tinggal di luar kabupaten/kota agar persamaan hak di depan hukum dapat dijamin dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” pinta Duin.

Untuk diketahui, Irmania Bachtiar alias Mama Nio merupakan istri dari pemohon Hendry Batoarung Ma'dika alias Papa Nio ditangkap oleh Kepolisian Resort Tana Toraja pada 28 September 2012 karena diduga mengedarkan narkoba. Pada saat penggeledahan, polisi menemukan satu plastik kosong bekas menyimpan sabu-sabu.

Pihak keluarga baru mengetahui kalau Mama Nio ditetapkan menjadi tersangka dan telah ditahan pada 22 Oktober 2012 (24 hari setelah ditangkap). Dengan alasan keterlambatan pemberitahuan itulah upaya praperadilan yang diajukan oleh keluarga tersangka kemudian ditolak oleh Pengadilan Negeri Makale, Sulawesi Selatan.

Di persidangan, Ketua Majelis Panel, Maria Farida Indrati mengatakan permohonan ini sebenarnya hanya persoalan teknis pemberitahuan penangkapan seseorang terhadap keluargannya. “Ini hanya persoalan teknis surat pemberitahuan,” kata Maria mengingatkan.

Karena itu, lanjut Maria, permohonan ini tidak terkait dengan persoalan konstitusionalitas norma yang diuji. “Ini sebenarnya bukan persoalan konstitusionalitas, tetapi lebih persoalan penerapan norma atau kasus konkret. Sebaiknya saudara memperbaiki permohonan ini yang dikaitkan kerugian konstitusional pemohon,” ujarnya menyarankan.

Tags: