MK Diminta Putuskan Peradi sebagai Wadah Tunggal
Pojok PERADI

MK Diminta Putuskan Peradi sebagai Wadah Tunggal

Namun, organisasi advokat yang tidak menjalankan wewenang dalam UU Advokat boleh banyak.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS

Ketentuan wadah tunggal organisasi advokat dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat kembali dipersoalkan oleh sejumlah advokat ke Mahkamah Konstitisi (MK). Pemohonnya, Bahrul Ilmi Yakup, Shalih Mangara Sitompul, Gunadi Handoko, Rynaldo P. Batubara, Ismail Nganggon yang merupakan para advokat yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Iwan Kurniawan yang merupakan calon advokat.

 

Mereka mempersoalkan frasa “organisasi advokat” dalam Pasal 1 ayat (4); Pasal 2 ayat (1); Pasal 3 ayat (1) huruf f; Pasal 4 ayat (3); Pasal 7 ayat (2); Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 9 ayat (1); Pasal 10 ayat (1) huruf c; Pasal 11; Pasal 12 ayat (1); Pasal 13 ayat (1) dan (3); Pasal 23 ayat (2); Pasal 26 ayat (1) hingga ayat (7); Pasal 27 ayat (1), (3) dan (5); Pasal 28 ayat (1), (2) dan (3); Pasal 29 ayat (1), (2),(4) dan (5); Pasal 30 ayat (1); Pasal 32 ayat (3) dan (4); Pasal 33; dan penjelasan Pasal 3 huruf f dan Pasal 5 ayat (2).    

 

“Para pemohon berpendapat organisasi profesi advokat yang tidak menjalankan wewenang sesuai amanat UU Advokat boleh banyak. Tetapi, organisasi advokat yang menjalankan kewenangan dalam UU Advokat harusnya hanya satu agar ada kepastian hukum,” ujar salah satu pemohon, Bahrul Ilmi Yakub dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Rabu (9/5/2018).

 

Sidang perdana ini ditangani Majelis Panel yang diketuai Suhartoyo dan didampingi dua anggota Majelis Panel Saldi Isra dan Manahan Sitompul. (Baca Juga: Tiga Kubu PERADI ‘Bersatu’ Menjaga Marwah Profesi Advokat)

 

Bahrul menilai frasa “organisasi advokat” yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut dapat memuat lebih dari satu pengertian, sehingga bersifat ambigu atau multitafsir. “Jadi, norma frasa ‘organisasi advokat’tidak memenuhi syarat norma hukum yang baik dan memiliki tiga karakter yakni jelas, padat, dan lengkap atau utuh,” kata Bahrul.

 

Baginya, faktanya frasa “organisasi advokat” telah dimanipulasi oleh berbagai pihak. Hal ini memungkinkan munculnya berbagai organisasi advokat yang mengklain dirinya seolah-olah sah dan berwenang menjalankan organisasi advokat yang diatur UU Advokat. Seperti, Persatuan Advokat Indonesia Indonesia (Peradin), Perhimpunan Advokat Republik Indonesia (Peradri), Kongres Advokat Indonesia Indonesia (KAI), dan lain-lain.

 

Dia mencontohkan KAI yang telah mengklaim dirinya seolah-olah sah dan berwenang melaksanakan wewenang dalam UU Advokat, seperti menyelenggarakan pendidikan calon advokat, mengangkat advokat, permohonan pengambilan sumpah advokat ke pengadilan tingi, merekrut anggota, pengawasan dan menjatuhkan sanksi etik kepada advokat. “Hal ini jelas tidak benar dan tidak berdasar secara konstitusional,” kata dia.

 

Menurutnya, akibat frasa “organisasi advokat” multitafsir, memungkinkan pihak-pihak tertentu seperti Peradin, Perardi, KAI termasuk Ketua Mahkamah Agung (MA) memberi tafsir berbeda-beda yang tidak sesuai dengan original intent atau maksud pembentukan norma frasa “organisasi advokat” dalam UU Advokat tersebut.  

 

Melalui Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) No. 073/KMA/HK.01/XI/2015 tertanggal 25 September 2015, menurut Bahrul semua organisasi advokat seolah-olah berwenang menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat, mengangkat advokat, menyelenggarakan ujian advokat, dan mengajukan pemintaah penyumpahan advokat kepada ketua pengadilan tinggi. “SK KMA ini jelas telah salah atau keliru memahami makna frasa ‘organisasi advokat’ yang termuat dalam UU Advokat,” sebutnya.

 

Padahal, organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan UU Advokat. Bahrul berpendapat seharusnya Peradi merupakan satu-satunya organisasi profesi yang mewadahi semua Advokat Indonesia. Karena itu, secara konstitusional harus ada penegasan bahwa organisasi profesi advokat menurut UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat ialah Peradi.

 

Karena itu, para pemohon meminta kepada Mahkamah agar mengabulkan permohonannya dengan menyatakan frasa “organisasi advokat” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai Peradi merupakan satu-satunya organisasi profesi advokat yang berwenang melaksanakan wewenang yang diatur UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.  

 

“Jadi, kita minta organisasi profesi advokat itu hanya satu (Peradi) yang melaksanakan wewenang delegasi dari negara melalui amanat UU Advokat. Kalau yang tidak melaksanakan wewenang dalam UU Advokat boleh banyak,” tegasnya.    

 

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Saldi Isra menilai struktur permohonan sudah cukup baik. Hanya saja, kata dia, permohonan ini perlu memasukkan beberapa putusan MK yang terkait dengan permohonan ini.

 

“UU Advokat ini kan sudah diuji sekitar 18 atau 19 kali. Karena itu, permohonan ini harus mencari alasan yang berbeda dengan permohonan sebelumnya. Jika tidak ada perbedaan, permohonan ini nanti bisa nebis in idem,” kata Saldi.

 

Menurut Saldi, terkesan dalam permohonan ini, para pemohon menghendaki wadah tunggal organisasi advokat ditetapkan bernama Peradi. “Ini kan implisit menghendaki wadah organisasi tunggal atau memberi penegasan dan makna lagi. Sebenarnya itu menjadi wilayah pemohon,” katanya.

Tags:

Berita Terkait