MK Diminta Pertegas Korupsi dalam Bencana Alam Dijatuhi Hukuman Mati
Berita

MK Diminta Pertegas Korupsi dalam Bencana Alam Dijatuhi Hukuman Mati

Kata “Nasional” setelah frasa “Bencana Alam” pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menjadi hambatan untuk diterapkannya hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Kuasa hukum pemohon saat mendaftarkan uji materi di gedung MK. Foto: AID
Kuasa hukum pemohon saat mendaftarkan uji materi di gedung MK. Foto: AID

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 terkait hukuman pidana mati bagi pelaku korupsi diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sebab, di dalam aturan ini tindak pidana korupsi yang dilakukan ketika dalam keadaan bencana alam nasional yang hanya dapat dijatuhkan hukuman mati. Namun, seharusnya ketika korupsi dilakukan ketika bencana alam saja tanpa ada kata “nasional” tetap dapat dijatuhkan hukuman mati.

 

Hal ini disampaikan oleh Kuasa Hukum Pemohon, Viktor Santoso Tandiansa setelah melakukan registrasi uji materi di MK. “Pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam seharusnya sudah dapat dijatuhkan hukuman mati. Sebab, telah menginjak-injak asas kemanusiaan dan keadilan,” kata Viktor di Gedung MK di Jakarta, Senin (07/01).

 

Permohonan ini diajukan oleh Jupri seorang dosen, Ade Putri Lestari, Oktav Dila Livia seorang mahasiswa yang merasa dirugikan sebagai warga negara akibat adanya aturan ini. Viktor menjelaskan frasa “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, serta dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ ialah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana ini dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter serta penanggulangan tindak pidana korupsi.

 

Pasal 2 ayat (2):

“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

 

Penjelasan Pasal 2 ayat (2):

“yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”

 

Namun, lanjutnya, ketentuan ini dalam Putusan MK No. 44/PUU-XII/2014 tidak mampu menjangkau tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara pada pos pendapatan negara. Sehingga, pelaku tindak pidana korupsi terhadap pendapatan negara tidak dapat dipidana mati.

 

Menurutnya, permohonan ini berbeda dengan Putusan MK tersebut, permohonan ini bukan ingin meminta MK membuat rumusan jenis perbuatan dan sanksi pidana dalam UU Tipikor. Akan tetapi, kata “Nasional” setelah frasa “Bencana Alam” menjadi hambatan untuk diterapkannya hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana. Padahal, tindakan kejahatan tersebut adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan “crime against humanity” yang seharusnya sudah tidak dapat ditoleransikan lagi.

 

“Jadi, sudah sepantasnya pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alan dikenakan hukuman mati, tujuannya memberikan balasan atas kejahatan terhadap kemanusiaan juga memberikan efek jera dan ketakutan bagi orang lain,” tuturnya.

 

Baca:

 

Ia juga mengatakan, aturan ini menyebabkan para pelaku korupsi tidak khawatir untuk melakukan korupsi saat mengetahui status bencana alam yang terjadi bukan status bencana alam nasional, karena sanksi maksimal hanya pidana penjara. “Artinya, aturan ini tidak memberikan perlindungan bagi para korban bencana dan kepastian hukum bagi para pemohon,” tambahnya.

 

Contohnya, lanjut Viktor, kasus bencana alam tsunami yang terjadi di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah oleh pemerintah pusat cq Presiden tidak ditetapkan sebagai bencana alam nasional. Padahal, menurut Pasal 7 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2007, sudah sesuai indikatornya sebagai bencana alam nasional. Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, bencana alam tersebut tidak ditetapkan sebagai bencana alam nasional karena pemerintahan daerah wilayah Sulawesi Tengah masih berjalan tidak seperti bencana alam di Aceh tahun 2004.

 

Beberapa waktu kemudian, lanjutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan pipa HDPE (High density polyethylene) terjadi di sejumlah proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) di daerah bencana Palu dan Donggala. KPK menangkap Kepala Satuan Kerja SPAM yang diduga menerima uang Rp2,9 Miliar. (Baca juga: Melihat Potensi Hukuman Mati Pelaku Korupsi Bencana Alam)

 

“Maka, dengan tidak ditetapkan status bencana alam nasional dalam kasus bencala alam di Donggala, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak dapat diterapkan,” Viktor menyayangkan.

 

Berarti, kata dia, status bencana alam nasional oleh pembentuk UU digunakan untuk penentuan sanksi hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Akibatnya, hal ini terkesan menjadi pelindung bagi para pelaku kejahatan tanpa terbebas dari rasa takut melakukan korupsi di wilayah bencana alam, sepanjang tidak mendapatkan status sebagai bencana alam nasional.

 

Oleh karena itu, Viktor meminta kepada Mahkamah agar Penjelasan Pasal 2 ayat (2) terhadap kata “Nasional” setelah frasa “Bencana Alam” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Tags:

Berita Terkait