MK Diminta Mengakhiri Sifat Multitafsir Wadah Organisasi Advokat
Pojok PERADI

MK Diminta Mengakhiri Sifat Multitafsir Wadah Organisasi Advokat

Perbedaan tafsir tentang keberadaan organisasi profesi, sesungguhnya juga terjadi pada UU Jabatan Notaris.

RED
Bacaan 2 Menit
Yusril Ihza Mahendra saat menjadi ahli di sidang MK. Foto: Dokumen Humas Peradi
Yusril Ihza Mahendra saat menjadi ahli di sidang MK. Foto: Dokumen Humas Peradi

Sidang uji materi terkait frasa “Organisasi Advokat” yang termuat di 20 pasal UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat kembali digelar di Mahkamah Konstitusi. Kali ini, sidang menghadirkan pakar hukum tata Negara, Yusril Ihza Mahendra yang diajukan oleh Pemohon sebagai ahli.

 

Dalam keterangannya, Yusril merupakan salah satu saksi sejarah dan pelaku dalam perumusan RUU Advokat belasan tahun silam. Kala itu, kebijakan pembentukan hukum nasional yang dianut pemerintah sejak awal reformasi memberikan seluas-luasnya bagi rakyat untuk berserikat dan berkumpul sebagai pelaksanaan salah satu hak asasi manusia yang diatur UUD 1945.

 

Namun terhadap organisasi profesi, demi menjaga standar, kualitas dan profesionalitas, pemerintah menganut kebijakan untuk membentuk hanya satu organisasi dalam profesi tertentu. Hal ini berlaku antara lain pada profesi jabatan notaris, dokter, tenaga kesehatan, insinyur dan advokat. “Pembatasan seperti itu hanya dimungkinkan dilakukan dengan undang-undang,” tulis Yusril sebagaimana siaran pers yang dikirimkan DPN Peradi kepada Hukumonline, Selasa (18/12).

 

Arti frasa “Organisasi Advokat”, pada norma Pasal 28 ayat (1) UU Advokat menegaskan bahwa huruf besar di frasa tersebut merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan UU ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Hal ini sesuai dengan frasa “Organisasi Notaris” dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

 

Sementara pembentukan Organisasi Advokat itu telah diatur dalam Pasal 32 UU Advokat, bahwa untuk sementara waktu sebelum terbentuknya Organisasi Advokat, maka tugas dan wewenangnya dijalankan bersama oleh delapan organisasi advokat yang ada pada waktu itu dan disebutkan satu persatu namanya di dalam undang-undang ini. Sedangkan Organisasi   Advokat yang dimaksud itu pembentukannya dibatasi secara limitatif oleh undang-undang yakni "paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi   Advokat telah terbentuk". Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan norma Pasal 32  ayat (3) dan (4) hanyalah Peradi, sementara organisasi advokat lainnya yang kemudian bermunculan, tidaklah dibentuk sesuai norma Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat.

 

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-IV/2006 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga menjalankan fungsi negara (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-II/2004). Peradi yang dimaksud adalah Peradi yang didirikan oleh 8 Organisasi Advokat dalam kurun waktu 2 tahun sejak berlakunya UU Advokat.

 

Baca:

 

Pendapat yang sama juga dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Nomor 66/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 103/PUU-XI/2013, demikian pula dalam putusan-putusan lainnya dalam pengujian konstitusionalitas norma UU Advokat. Pertimbangan hukum  Mahkamah Konstitusi sebenarnya  telah memperjelas penafsiran makna Organisasi   Advokat dan keberadaan Peradi sebagai Organisasi Advokat yang dibentuk berdasarkan norma Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat.

 

Perbedaan tafsir tentang keberadaan organisasi profesi, sesungguhnya juga terjadi pada UU Jabatan Notaris. Pada waktu, saat Yusril menjabat Menteri Kehakiman dan HAM dan mewakili Presiden RI Megawati Sukarnoputri dalam membahas RUU Jabatan Notaris dengan DPR RI, muncul perbedaan tafsir. Rumusan tentang Organisasi Notaris lebih kurang sama dengan rumusan Organisasi Advokat dalam UU Advokat. Pasal 82 ayat (1) UU Jabatan Notaris mengatakan bahwa "Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris" yang   tugas dan kewenangannya antara lain adalah untuk menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris. “Maksud kami sebagai pembentuk UU Jabatan Notaris dalam merumuskan norma ini, adalah menghendaki hanya ada satu Organisasi Notaris saja”.

 

Namun kenyataannya, rumusan Pasal 82 UU Jabatan Notaris ini ditafsirkan dengan berbagai penafsiran yang pada akhirnya melahirkan lebih dari satu Organisasi Notaris. Menghadapi kenyataan ini, Pemerintah mengambil inisitaif untuk melakukan perubahan terhadap norma Pasal 82 UU Jabatan Notaris dengan menambahkan norma baru, yakni ayat (2) yang mengatakan "Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia".

 

Kemudian ayat (3) ditambahkan norma baru yang mengatakan Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu-satunya wadah profesi Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi jabatan Notaris". Dengan adanya perubahan atas inisiatif Pemerintah melalui UU No. 2 Tahun 2014 yang menambahkan norma baru dalam ayat 2 dan 3, maka multitafsir terhadap norma Pasal 82 ayat (1) menjadi berakhir.

 

Namun hal berbeda terhadap UU Advokat, Pemerintah maupun DPR tidak berinisiatif mengubah atau menambah norma sebagaimana UU Jabatan Notaris sehingga sifat multitafsir terus berlangsung. Sifat multitafsir itu kemudian mendasari berdirinya berbagai organisasi advokat sampai sekarang ini.

 

“Oleh karena inisiatif Pemerintah dan DPR tidak kunjung ada untuk mengakhiri sifat multitafsir ini, maka kami berpendapat alangkah baiknya jika Mahkamah Konstitusi yang salah satu tugasnya adalah menjaga tegaknya negara hukum yang konstitusional berdasarkan UUD 1945 untuk mengambil keputusan guna mengakhiri sifat multitafsir terhadap frasa kata Organisasi Advokat dalam UU Advokat ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait