MK Diminta Kawal RUU Pengadilan Tipikor
Utama

MK Diminta Kawal RUU Pengadilan Tipikor

MK diminta melakukan constitusional activism menyurati DPR dan Presiden agar segera menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor. Alternatifnya, Presiden bisa saja mengeluarkan Perpu untuk mempercepat proses.

Ali/Mon/Rzk
Bacaan 2 Menit
MK Diminta Kawal RUU Pengadilan Tipikor
Hukumonline

  

Presiden dan DPR bisa dianggap melecehkan MK jika tidak segera mengesahkan RUU Pengadilan Tipikor, tegas Irman.

  

Sebagai catatan, sejumlah kalangan memang khawatir bila RUU Pengadilan Tipikor ini batal dibentuk. Bila hal ini terjadi, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) menyatakan dampaknya adalah perkara korupsi kembali diadili oleh pengadilan umum. KPK akan kehilangan salah satu kakinya (Pengadilan Tipikor,-red), tulis KRHN dalam siaran persnya. Apalagi, menurut Teten, selama ini mafia peradilan masih marak di pengadilan umum. 

 

Menanggapi desakan ini, Hakim Konstitusi Mahfud MD mengatakan constitutional activism sebenarnya tidak ada dasar hukumnya. Namun begitu, Mahfud menilai langkah ini bukannya hal yang mustahil. Bisa dilakukan tetapi bukan kewajiban, imbuhnya. Dalam konteks sebagai solusi alternatif mempercepat pembentukan UU Pengadilan Tipikor, Guru Besar HTN Universitas Islam Indonesia ini menyatakan dukungannya atas gagasan ini.

 

Namun, Mahfud mengaku ragu terhadap efektivitas langkah ini. Karena tidak ada dasar hukumnya, dia pun khawatir surat MK tidak akan terlalu diperhatikan oleh legislator. Saya rasa tidak punya kekuatan mengikat karena sifatnya hanya mengingatkan saja, tukasnya.

 

Mantan Anggota Komisi III ini justru heran dan bertanya-tanya faktor apa sebenarnya yang menyebabkan pembahasan RUU ini begitu lamban. Padahal, putusan MK sudah jelas bahwa yang bermasalah sebenarnya hanya terkait dasar hukum Pengadilan Tipikor. Kalau lambat begini justru memunculkan kecurigaan ada apa-apa, ujarnya lagi.

      

Presiden Buat Perpu

Selain menuntut keaktifan MK, Irman juga menegaskan Presiden bisa saja berbuat banyak untuk menyelamatkan eksistensi pengadilan tipikor. Untuk mempersingkat waktu, Presiden seharusnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu). Langkah ini bisa mendorong DPR untuk serius menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor. Kalau Perpu keluar malam ini, maka pada sidang selanjutnya, DPR mau tak mau harus membahas itu, jelasnya.

  

Ketentuan UUD 1945 memang memberi prioritas bagi Perpu untuk segera dibahas oleh DPR. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menyatakan Perpu itu harus mendapat persetujuan dari DPR pada sidang berikutnya. Bila tak mendapat persetujuan, maka Perpu itu harus dicabut. Irman menilai bila DPR menolak Perpu itu, maka tugas Presiden sudah selesai. Minimal Presiden lepas bebannya, ujarnya.

  

Irman mengakui penerbitan Perpu memang sering menimbulkan pro dan kontra. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 mensyaratkan Perpu harus dibentuk ketika ada kondisi kegentingan yang memaksa. Ia mengatakan frase ‘kegentingan yang memaksa' ini berpulang kepada subjektifitas Presiden.

  

MK dalam putusannya pernah menyatakan ‘kegentingan yang memaksa' itu hak subjektif presiden. Apakah alasan itu benar atau tidak? Nanti DPR yang menentukan dengan tetap memberlakukan Perpu itu menjadi UU atau menolaknya, jelas Irman.

  

Irman mengatakan semua ini memang tergantung inisiatif presiden. Lagipula, dalam praktek, Presiden sering mengeluarkan Perpu yang lolos dari hadangan DPR. Perpu yang dikeluarkan Presiden biasanya terkait ekonomi. Tapi tak ada yang ditolak DPR. Mungkin karena terkait kepentingan kapitalis, sindir Irman.

Siapa yang berbuat, dialah yang bertanggung jawab. Ungkapan itu tampaknya tepat bila ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor). Putusan MK No. 012-016-019 PUU/IV/2006 menyatakan pembentuk undang-undang harus segera membentuk UU Pengadilan Tipikor. Disisipkannya Pengadilan Tipikor dalam UU KPK dinilai inskonstitusional. Seharusnya, Pengadilan Tipikor diatur dalam UU tersendiri, sesuai dengan amanat UUD 1945.

  

Dalam putusannya, MK memang memberi waktu tiga tahun bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor. Namun, waktu sudah beranjak hampir dua tahun, nasib RUU itu pun belum kunjung jelas. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki menilai DPR dan Pemerintah terkesan tidak serius menyelesaikan RUU ini.

  

Selain DPR dan Pemerintah, MK perlu dimintai pertanggungjawabannya atas dampak yang dimunculkan oleh putusannya. MK bisa melakukan constitutional activism, ujar Pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Irman Putra Siddin. Bentuknya adalah dengan menyurati DPR dan Presiden agar serius menyelesaikan RUU itu. Dengan begitu, MK juga ikut serta mengawal RUU Pengadilan Tipikor. MK juga harus mengawal putusannya, ujar mantan Koordinator Staf Ahli MK ini.

  

Proses surat-menyurat oleh MK kepada lembaga negara, lanjut Irman, bukanlah hal yang baru. Kita punya presedennya, tuturnya. Irman menunjuk kasus surat Ketua MK Jimly Asshiddiqie kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. Kala itu, SBY menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2005. Uniknya, konsideran Perpres itu masih mendasarkan sejumlah Pasal dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang telah dibatalkan oleh MK.

Halaman Selanjutnya:
Tags: