Secara khusus ketentuan yang disasar Pasal 376 ayat (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9) dan Pasal 377 ayat (2), (3) UU MD3 yang mengatur mekanisme pemilihan jabatan pimpinan DPRD yang didasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD. Para pemohon merasa dirugikan atas berlakunya pasal-pasal karena tidak dapat menjadi pihak yang berhak menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pimpinan DPRD.
“Kita minta agar pasal-pasal dinyatakan bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar kuasa hukum pemohon, Arif Sahudi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Kamis (18/9).
Misalnya, Pasal 376 ayat (2) menyebutkan “Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota.” Ayat (3)-nya menyebutkan, “Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperolah kursi terbanyak pertama di DPRD kabupaten/kota.”
Arif menilai meski UU MD3 itu telah menjelaskan tugas antara DPR dan DPRD kabupaten/kota adalah sama. Akan tetapi, seharusnya saat pemilihan pimpinan DPRD kabupaten/kota dipilih berdasarkan masukan anggota DPRD, bukan dari sistem perolehan suara partai secara berjenjang.
Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Patrialis Akbar mengatakan intinya permohonan ini meminta agar pemilihan pimpinan DPRD dari dan oleh anggota DPRD sendiri. “Ini bertolak belakang dengan permintaan yang sudah ada (PDIP) yang meminta pemilihan pimpinan DPR didasarkan parpol pemenang pemilu, bukan dipilih anggota DPR,” kata Patralis.
Anggota Panel Anwar Usman juga mempertanyakan apakah permohonan ini menyangkut persoalan konstitusionalitas norma? “Apakah ini konstitusionalitas norma atau kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang?” ujar Anwar mempertanyakan.
“Kalau pasal-pasal itu dinyatakan inkonstitusional, bagaimana mekanisme pemilihan anggota DPRD? apa sebaiknya pasal itu perlu dimaknai (inkonstitusional bersyarat)? Para pemohon harus mampu memberi jalan keluar jika permohonan ini dikabulkan,” sarannya.
Panel lainnya, Aswanto menyarankan agar bagian posita perlu dielaborasi lebih jauh norma yang diuji dihubungkan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945, sehingga lebih nampak kerugian konstitusional pemohon atau potensial dirugikan. Sebab, persyaratan pengajuan permohonan ini harus ada kerugian konstitusional.
“Ini yang harus Anda elaborasi sedemikian rupa pada bagian posita dan nanti disinkronkan pada bagian petitum,” sarannya.