MK Buka 2 Pintu Masuk Syarat Usia Capres-Cawapres Pemilu 2024
Utama

MK Buka 2 Pintu Masuk Syarat Usia Capres-Cawapres Pemilu 2024

Syarat batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden (capres-cawapres) pada pemilu 2024 antara lain berusia 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Suasana pembacaan putusan pengujian UU Pemilu terkait syarat usia minimal capres-cawapres di ruang sidang MK, Senin (16/10/2023). Foto: RES
Suasana pembacaan putusan pengujian UU Pemilu terkait syarat usia minimal capres-cawapres di ruang sidang MK, Senin (16/10/2023). Foto: RES

Proses persiapan penyelenggaraan pemilu 2024 masuk babak baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023 mengubah norma Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang pemilu. Sebelumnya ketentuan itu mengatur syarat menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) yakni berusia paling rendah 40 tahun.

Tapi melalui putusan 90/PUU-XXI/2023, MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk kepala daerah”.

Dalam pertimbangan putusan Mahkamah, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mengatakan ada 2 ‘pintu masuk’ dari segi syarat usia pada norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yaitu berusia 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu.

“Pemenuhan terhadap salah satu dari dua syarat tersebut adalah valid dan konstitusional,” katanya membacakan sebagian pertimbangan putusan No.90/PUU-XXI/2023 itu di Gedung MK, Senin (16/10/2023).

Baca juga:

Guntur menegaskan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana putusan tersebut mulai berlaku pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 dan seterusnya. Hal itu dianggap penting ditegaskan MK agar tak timbul keraguan mengenai penerapan pasal tersebut dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal capres-cawapres sebagaimana rumusan dalam amar putusan.

Putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023 berbeda dengan perkara sebelumnya yakni Putusan No.29/PUU-XXI/2023, No.51/PUU-XXI/2023, dan No.55/PUU-XXI/2023 yang intinya MK menolak permohonan pengujian materil terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 karena menilai soal batas usia capres-cawapres merupakan ranah pembuat UU. Sementara perkara No.90/PUU-XXI/2023 putusannya berbeda walau pasal yang dimohonkan untuk diuji konstitusionalitasnya sama yakni Pasal 169 huruf q UU 7/2017.

Terhadap hal tersebut, Mahkamah menjelaskan pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, penting untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama. Namun karena petitum yang tidak sama dengan beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo, berdampak pada amar putusan yang tidak sama, sehingga yang berlaku adalah putusan yang terbaru.

“Artinya, putusan a quo serta-merta mengesampingkan putusan sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori,” ujarnya.

Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum, Mahkamah menegaskan norma Pasal 169 huruf q UU 17/2017 menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Karena itu, norma ketentuan itu harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak memenuhi pemaknaan yang akan dituangkan dalam amar putusan. Pemaknaan MK itu tak sepenuhnya mengabulkan permohonan pemohon secara keseluruhan, sehingga permohonan pemohon dinilai beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Ketua MK Anwar Usman membacakan konklusi putusan meliputi Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; dan permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. “Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” begitu kutipan amar putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Almas Tsaqibbirru Re A yang berstatus sebagai mahasiswa.

Amar putusan itu mengubah Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan itu diwarna alasan berbeda (concurring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion). Alasan berbeda disampaikan hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh. Sementara pendapat berbeda diberikan 4 hakim konstitusi yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Tags:

Berita Terkait