MK Batalkan Beberapa Pasal UU MK
Utama

MK Batalkan Beberapa Pasal UU MK

MK tetap tidak mau diawasi KY.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Konstitusi batalkan beberapa pasal UU MK. Foto: SGP
Mahkamah Konstitusi batalkan beberapa pasal UU MK. Foto: SGP

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan sepuluh pasal dalam putusan perkara pengujian UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No 24 Tahun 2003 tentang MK. Perkara ini diajukan sejumlah akademisi di antaranya Prof Saldi Isra, Prof Arief  Hidayat, Zainal Daulay, Zaenal Arifin Mochtar, Moh Ali Syafa'at, Prof Yuliandri, dan Feri Amsari. Putusan ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Hakim Konstitusi Harjono.  

 

“Menyatakan Pasal 4 ayat (4 f-h), Pasal 10, Pasal 15 ayat (2h) sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2c-e), (3), (4), (5), (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua Majelis Moh Mahfud MD di ruang sidang MK, Selasa (18/10).

 

Sementara, dalam pengujian Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2a) yang mengatur larangan MK memutus ultra petita (melebihi apa yang dimohonkan, red) dinyatakan nebis in idem (objek pasal yang sama telah diputus). Sebab, dalam perkara lain yang dimohonkan Fauzan, pasal itu telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat alias dibatalkan.

 

Sebagaimana diketahui, Fauzan juga menguji Pasal 45A jo Pasal 57 UU No 8 Tahun 2011 dan Pasal 112 ayat (1) dan 127 ayat (1a) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ia telah divonis lima tahun penjara karena melanggar Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika di Pengadilan Negeri Surabaya.

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat Pasal 4 ayat (4 f-h) tentang pemilihan ketua dan wakil ketua MK dalam satu kali rapat dan satu paket akan menimbulkan kebuntuan hukum atau kekosongan salah satu pimpinan MK jika diterapkan. Hal ini juga tidak terpenuhi asas mayoritas sederhana ketika ada dua atau lebih calon memperoleh jumlah suara calon urutan kedua terbanyak. Misalnya, untuk menduduki jabatan wakil Ketua MK, 5:2:2 suara atau 3:2:2:2, maka pemilihan harus diulang untuk memilih pimpinan lagi.

 

“Pasal itu berpotensi menghambat kinerja MK, sehingga merugikan hak konstitusional warga negara yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 10 UU MK juga telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam Pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 tidak dinyatakan dicabut yang mengakibatkan UU MK memiliki dua Pasal 10,” kata Hakim Konstitusi M Akil Mochtar. 

 

Frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat (2h) tidak memberikan kriteria yang jelas. Sebab, tidak semua orang yang pernah menjadi pejabat negara memenuhi syarat untuk menjadi hakim konstitusi. Sebaliknya, banyak orang yang belum pernah menjadi pejabat negara, tetapi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.

 

Norma Pasal 26 ayat (5) dinilai menimbulkan ketidakadilan bagi seorang yang terpilih sebagai hakim konstitusi jika hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikan. Jika pasal itu diterapkan akan bertentangan dengan Pasal 22 UU MK yang menyatakan masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

 

“Pasal 22 UU MK tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali lima tahun baik yang diangkat secara bersamaan maupun bagi hakim konstitusi yang menggantikan hakim konstitusi yang berhenti sebelum masa jabatan berakhir,” kata Akil.

 

Komposisi MKH

Menurut Mahkamah, Pasal 27A ayat (2c-e) yang mengatur komposisi majelis kehormatan hakim MK dengan memasukkan unsur DPR, pemerintah, MA, KY secara permanen justru akan mengancam dan mengganggu kemandirian hakim MK. “Adanya keempat unsur itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena mereka dapat menjadi pihak yang berperkara di MK,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

 

Khusus KY, mengacu pada putusan MK No 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa hakim konstitusi bukan objek pengawasan KY. Mahkamah menegaskan adanya unsur DPR, pemerintah, MA, dan KY tidak memberi jaminan kemandirian. Sebab, ada kemungkinan orang yang mengisi anggota MKH sarat dengan kepentingan sektoral.

 

“Untuk menjaga independensi dan imparsialitas Mahkamah, maka MK perlu menyusun kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi dimana anggota MKH terdiri dari unsur MK dan unsur lain yang independen dan nonpartisan,” katanya.

 

Pasal 59 ayat (2) UU MK juga dinilai tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena DPR dan presiden hanya akan menindaklanjuti putusan MK jika diperlukan saja. Padahal, putusan MK bersifat final dan mengikat yang harus ditindaklajuti DPR dan presiden. “Pasal 59 ayat (2) mengandung kekeliruan khususnya frasa  ‘DPR atau Presiden’ karena bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945,” kata Sodiki.           

 

Mahkamah juga berpendapat Pasal 87 UU MK yang memuat aturan peralihan selain menimbulkan ketidakpastian hukum juga menimbulkan ketidaksamaan perlakuan. Sebab, ada pasal yang langsung berlaku dan dilaksanakan. Namun, ada pasal yang tidak langsung berlaku.

 

“Pemberlakuan dua undang-undang bentuk pembedaan perlakuan terhadap hakim konstitusi yang sedang menjalankan tugas dan hakim yang akan diangkat kemudian. Ini merugikan hak konstitusional bagi pihak yang terkena dampak perubahan itu. Karena itu, permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.”

 

Saldi Isra Dkk menguji Pasal 4 ayat (4 f, g, h), Pasal 10, Pasal 15 ayat (2d, h), Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2c, d, e), Pasal 45A, Pasal 50A, Pasal 57 ayat (1), (2), (2a), Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU MK. Mereka menilai sejumlah pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 karena berpotensi merusak dan melemahkan MK. Karenanya, mereka meminta MK membatalkan pasal-pasal itu.

Tags: