MK Batalkan Aturan Peralihan Pengelolaan Dana Pensiun dari PT Taspen ke BPJS
Utama

MK Batalkan Aturan Peralihan Pengelolaan Dana Pensiun dari PT Taspen ke BPJS

Dalil para pemohon mengenai norma pengalihan PT Taspen (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029 bertentangan dengan hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan berlakunya Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) terkait rencana pemerintah bakal mengalihkan pengelolaan dana pensiun dari PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT Taspen) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029. Melalui Putusan MK No.72/PUU-XVII/2019 yang dibacakan Rabu (30/9/2021), MK menyatakan kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.    

Permohonan ini diajukan mantan Wakil Ketua MA Prof Mohammad Saleh bersama 14 pensiunan pejabat PNS dan PNS aktif. Ke-15 pemohon ini adalah peserta program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua di PT Taspen. Aturan itu dinilai menimbulkan potensi kerugian hak konstitusional para pemohon dan ketidakpastian mendapatkan jaminan sosial yang dijamin Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945. 

Sebab, para pemohon selama ini telah menikmati pelayanan prima dan keuntungan yang diberikan PT Taspen. Menurutnya, kebijakan atau politik hukum pemerintah menganut keterpisahan manajemen (tata kelola) penyelenggaraan jaminan sosial antara pegawai pemerintahan dengan pekerja/pegawai nonpemerintahan (swasta). Sebab, PNS, pejabat negara, dan penerima pensiunan PNS merupakan pegawai pemerintah yang memiliki spesial karakter dan menghindari timbulnya risiko finansial yang sangat fundamental.

Apabila terjadi risiko finansial terjadi (defisit BPJS) bisa berakibat ketenangan, semangat, daya kreativitas, loyalitas PNS dan pejabat negara menurun dalam mengemban amanah sebagai abdi negara termasuk menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu, para pemohon meminta agar program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua pensiunan pejabat negara, PNS atau PNS aktif tetap dikelola PT Taspen. Karena itu, Pasal 57 huruf (f) dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat mengubah desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial yang telah berjalan dengan likuidasi atau penggabungan menjadi satu badan (PT Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan, red) akan berakibat pada munculnya ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang telah memilih untuk mengikuti program jaminan hari tua dan dana pensiun pada lembaga yang telah berjalan. (Baca Juga: Peralihan PT Taspen ke BPJS Dipersoalkan, Ini Tanggapan Pemerintah)

Meskipun UU 40/2004 mengharuskan lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaminan sosial bertransformasi menjadi badan penyelenggara jaminan sosial, namun tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model badan lain yang memiliki karakter berbeda. “Transformasi cukup dilakukan terhadap bentuk badan hukumnya dengan penyesuaian dan memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang,” demikian pertimbangan Mahkamah dalam putusannya.

Mahkamah menilai ketika pembentuk undang-undang mengalihkan persero dengan cara menggabungkannya dengan persero lain yang berbeda karakter, akan berpotensi pula pada kerugian hak-hak peserta program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun yang telah dilakukan oleh persero sebelum dialihkan. Sebab, ketika penggabungan terjadi sangat mungkin terjadi pula penyeragaman standar layanan dan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian bagi semua peserta.

“Sekalipun pilihan melakukan transformasi dari PT Taspen (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun transformasi harus dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga. Sehingga tetap mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial warga negara yang tergabung dalam PT Taspen,” kata Saldi.

Tidak bisa disamakan

Menurut Mahkamah, berkenaan dengan prinsip kegotongroyongan dalam konteks jaminan sosial, UU 24/2011 telah mendefinisikan sebagai prinsip kebersamaan antarpeserta dengan menanggung beban biaya jaminan sosial melalui iuran yang dibayarkan sesuai tingkat gaji, upah, atau penghasilan. Sementara program jaminan hari tua dan program pembayaran pensiun PNS telah diatur tersendiri dalam Pasal 1 UU No.11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (UU 11/1969). Dan diatur lebih lanjut dalam PP No.20 Tahun 2013 tentang Asuransi Sosial PNS dan PP No.70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi ASN.

Pada kasus konkret yang dialami para pemohon atas desain BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program dana pensiun dan program jaminan hari tua bagi seluruh lapisan masyarakat sebagai perwujudan prinsip kegotongroyongan tidak bisa dijadikan dasar pembenar. Meski BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sama-sama memungut iuran kepada pesertanya, namun tidak dapat dipandang sebagai konsep yang sama dengan iuran PNS.

“Menurut Mahkamah, menjadi tidak adil jika pensiunan PNS yang selalu mengiur tiap bulan dengan harapan dapat menikmati tabungan yang sudah dikumpulkannya pada masa tuanya nanti harus berbagi kepada orang lain atas nama kegotongroyongan. Meskipun Mahkamah sangat mendukung prinsip kegotongroyongan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, namun dalam konteks program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun, tidak tepat jika prinsip kegotongroyongan ini diberlakukan terhadap PNS untuk masa tuanya.”

Guna pemenuhan prinsip gotong royong dengan penggabungan lembaga penyelenggaraan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan, Mahkamah memberikan arahan agar desain kelembagaan yang dipilih adalah kelembagaan majemuk dan bukan kelembagaan tunggal. Tidak pula menjadikan semua persero penyelenggara jaminan sosial bidang ketenagakerjaan menjadi satu badan. Sebab, transformasi desain yang demikian justru mengandung ketidakpastian baik akibat ketidakkonsistenan pilihan desain kelembagaan yang diambil, maupun ketidakpastian atas nasib peserta yang ada di dalamnya.

“Dengan demikian, dalil para pemohon mengenai pengalihan PT Taspen (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029 sebagaimana dimaksudkan dalam pasal a quo bertentangan dengan hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum,” simpulnya.

Tags:

Berita Terkait